BALI, Balipolitika.com – Tradisi malukat atau pembersihan di Bali, sudah melekat sejak dahulu kala. Apalagi banyak sumber mata air suci di Bali dan berada di berbagai pura.
Salah satu pura tempat malukat unik dan sakral, adalah di Pura Telaga Waja, Tegalalang, Gianyar, Bali. Pura ini terbangun pada abad ke-10 Masehi.
Awalnya pura ini, adalah tempat pertapaan. Bahkan selama ratusan tahun, para petapa bertapa hingga mencapai moksa atau kelepasan. Moksa adalah menyatunya atman dengan Brahman (Tuhan).
Pada zaman kuno, dalam kitab Negarakertagama yang Mpu Prapanca tulis pada abad ke-13 Masehi. Tersebut bahwa pusat pertapaan Talaga Dhwaja.
Penahdanya (penanda) terdapat sebuah relief segel, dengan bentuk mirip huruf H. Naskah Negarakertagama sudah terkenal di nusantara, khususnya sejak zaman Majapahit.
Sehingga Pura Telaga Waja ini, merupakan tempat malukat yang sangat utama dan sakral. Bagi para pamedek yang datang, wajib tidak melanggar dresta (aturan) yang ada di pura ini.
Yaitu, tidak boleh mandi atau malukat ke kolam suci, yang di atasnya dan kini sudah terpagari. Tempat mandi dan malukat, adalah pancoran solas (Eka Dasa Tirtha), pada pelataran bawah.
Kemudian uniknya, jika malukat tidak mengenakan pakaian apapun alias telanjang bulat. Serta wanita haid dan warga yang cuntaka tidak boleh masuk.
Jika kalian ingin ke sembahyang dan malukat ke sini, membawa canang 20-25 buah lalu mebanten di area jembatan dan beberapa area yang ada canangnya baru ke area malukat.
Sementara saat Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, agar membawa pejati karena akan ada pemangku di pura.
Persiapkan fisik, karena ada ratusan tangga yang akan kita lewati. Serta jangan lupa membawa air dan pakaian ganti. Ikuti aturan dan tidak melakukan hal ceroboh di area suci.
Dan malukat mulai dari arah paling utara atau kiri baru ke selatan atau kanan dari pintu masuk tangga. (BP/OKA)