Samaya
Waktu memilih kita menjadi dua
Satu kekekalan
Satu kebinasaan
Kita terbentang sejauh apapun itu
Dan kita menyadari kepahitan di ujung jalan berliku
Kepala kita memaksa
Selalu berkutat di dalam banyaknya tanda tanya
Kita adalah beragam kesalahan yang disengaja
Atau
Semua ini hanyalah praduga?
Kesedihan menjadi panjang
Kegagalan menjadi akar
Lalu inilah kita sekarang
Ratapanmu menguat tajam
Aku menyelinap di bawah mimpimu
Kapanpun aku mau
Aku membangunkanmu
Aku tak lagi di situ
Tapi setiap kau melangkah pergi
Tangisku ada di tiap pejam matamu
Kau membawa aku ke mana-mana
Sebagai apa
Siapa
Monokrom
Kita mengepak sayap yang pecah ditebar
Di kaki langit yang luas itu, berhambur semua riak tersamar
Tiang jalan adalah sahabat para gedung tua, membentuk kotak pandora
Mencari sahabatmu, sahabatku
Untuk apa
Untuk siapa
Di mana ada titik terkecil dalam gambar
Ada langit yang berubah mendekam dalam hunian
Kau dan aku
Kau denganku
Kita belajar mendengar lalu membisu
Lampu neon berbentuk bulan menyabit
Di ujung telingamu, kalimat mengucap menderu
Utarakan
Utarakan
Sebuah tapak akan bermuara
Terletak di mana
Aku Menunggu
aku menunggu kunjunganmu pada diam alam-malam
sedangkan kau di sana lebih suka berpura-pura menuliskan alpa
satu ─ dua teguk (doa membredel ingatan)
pening mampir sebentar menuju kesenantiasaan
katamu, aku terlalu takut berlebih pada kehilangan
nyatanya, kau terlalu pandir dalam pertemuan
dua kepala mengawang-awang di udara
sedangkan tiga celah neraka menghisap jumlah dosa
kau datang mendadak tanpa aba-aba; di telingaku ─ setidaknya itu yang aku tahu
jika katamu, surga beralaskan buku-buku
sedang ujung kematian itu mengantarkanku
kepada padu-padan kulit berwarna coklat
entah berbentuk serbuk maupun batangan yang bisa dijilat
lalu diludahi
sambil dinikmati kembali
Pasar Loak 1
Mimpi, tembok bersekat, dan jalanan yang berserakan
Bersama hiruk-pikuk dan semua yang ada di selokan
Huruf-huruf berjajar tak mampu lagi rapi seperti sungai mengaliri
Perlahan memberkati kepala seolah membanjiri
Bacaan yang berakhir di ingatan, lusuh tergilas surat kabar
Bertumpuk seperti sumpah serapah kehidupan
Berhentilah sejenak
Tak seluruh yang bekas selalu berakhir di tempat sampah
Pasar Loak 2
Ada hari dimana jejak berkumpul menyatu
Di pembuangan ─ lonceng pertapa, patung sepatu,
Halaman tak selesai terbaca, sudut tatap mata,
Kepala rusa dan arloji penanda
Kertas berhamburan di pojok, bersandar kepada lampu gantung
Kaset tak lagi memekik suara ─ di gagang telepon,
Di gang kendaraan bermotor
Di sela-sela keraguan (yang entah milik siapa)
Bekas – kembali – terkepul – menyatu – bersama
Ada hari dimana kesibukan tak hanya berhenti di satu muara
Barang satu berarti sejarah
Kemarin: adalah waktu yang terlewat begitu saja
Topi santa, pelindung kepala
Manik-manik berjajar membentuk pemantik
Garpu ukir: terkikis, musik-musik: montase
Pemilik baru mewarisi kenangan yang tak lekang usia
Cincin logam dan bebatuan ─ tak ada yang peduli
Berebut pembeli, berebut terbeli
BIODATA
Via Firdhayanti, lahir di Malang pada 1 November 1997. Pernah mengikuti beberapa lomba puisi nasional, meraih beberapa sertifikat dan karya-karyanya dimuat dalam sejumlah buku.