USIANYA kisaran 50 tahunan, memiliki rambut panjang sepunggung yang seluruhnya memutih, dan tak terawat. Aryati dulunya dikenal sebagai seorang guru sekolah dasar. Namun, semenjak berpisah dengan suaminya, ia didiagnosis mengidap skizofrenia, insomnia akut, dan akhirnya perlahan-lahan dianggap gila.
Sekilas, ia tidak memiliki kendala untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ia masih sanggup berbicara dengan lancar seperti orang pada umumnya. Namun yang jadi masalah adalah ia sering berbicara sendiri, entah mengobrol dengan siapa. Apalagi ketika menjelang tengah malam, keributan obrolan ditambah sumpah serapah yang keluar dari mulutnya semakin kerap mengisi malam-malam di komplek perumahan itu. Dan tentu saja itu sangat mengganggu orang-orang yang sedang tidur.
Di hari-hari pertama untuk menjadi gelandangan tentu saja tidak mudah. Dia harus menyesuaikan dirinya, beradaptasi dengan cepat dengan lingkungannya yang baru. Dia mendapat sepetak tempat tinggal dari seseorang yang kasihan melihatnya, sebuah teras luar berukuran 1×1 meter. Aryati memilih untuk tinggal di halaman depan rumah itu tanpa mau masuk ke dalamnya
Untuk menyambung hidup setiap hari ia memulung botol bekas dan barang rongsok, ia tak mau hidupnya dikasihani orang lain. Ia tak akan menerima makanan atau barang apapun kecuali uang. Pada satu waktu, di tengah malam yang lengang, Aryati akan menggumam tentang apa saja. Dari mulai mengajar anak-anak di kelas, debat dengan seseorang yang berada di dunia lain, atau tiba-tiba saja ia ngamuk dan muntah mengeluarkan makian, kata-kata cabul dan kotor untuk melampiaskan kemarahannya. Ia seperti sedang bermonolog dalam beberapa babak.
***
Suami Aryati tukang mabuk, pecandu narkoba, dan penggila wanita. Aryati masih bisa memaafkan suami pemabuk dan seorang pecandu. Namun tukang selingkuh adalah satu-satunya hal yang paling dibenci Aryati, sehingga pada suatu hari Aryati memberanikan diri untuk menegur suaminya yang pemarah. Lalu terjadilah pertengkaran besar di antara mereka. Setelah pertengkaran hebat yang dipenuhi sumpah serapah itu. Semua harta Aryati dibawa lari oleh mantan suaminya, beserta anak-anaknya, lalu mereka bercerai. Aryati hidup sebatang kara, semua yang dimilikinya telah raib, apa-apa yang pernah dimilikinya dan melekat pada dirinya telah hilang. Karena tak kuat menerima keadaan, Aryati akhirnya berhenti menjadi seorang guru dan memilih untuk hidup menjadi seorang gelandangan.
Sampai kemudian kehadiran Beti sang pelacur dengan tubuh sintal dan dandanan seronok melengkapi kehidupan Aryati. Betapa tidak kini Aryati memiliki teman berbincang. Setiap malam sebelum melayani pelanggannya, Beti akan mendengar dulu ceracauan Aryati. Setelah racauan Aryati selesai, Beti mendekat. Kemudian duduk di samping Aryati yang sedang berbaring malas.
“Jadi pelacur enak Nek, tinggal ngangkang dapat uang.” Kata Beti, Aryati mendengar itu hanya diam, dia mendengarkan Beti berbicara. Aryati bisa mencium bau alkohol dari mulut Beti. Bau parfum murahan yang menyengat di tubuh Beti ditambah dengan bau alkohol di mulut Beti membuat Aryati ingin muntah. Tapi Aryati menahannya, ia masih menghormati pelacur di dekatnya itu.
“Tapi meskipun kerjanya cuma ngangkang bukan berarti itu gampang Nek, aku juga harus profesional dalam menghadapi dan melayani pelanggan yang berbeda-beda dan banyak maunya itu” Beti masih melanjutkan lanturannya. Aryati hanya menyimak
“Aku tahu dalam hati kecilmu kau ingin berhenti melacur kan? Kalau mau berhenti melacur berhentilah. Jika ingin setia menjadi pelacur disiplinlah, sesederhana itu sebenarnya. Paling-paling kelak kau akan berurusan dengan Tuhan atas semua pilihanmu” Aryati menyahut.
“Tapi aku sudah lama tidak mempercayai Tuhan, Nek”
“Lalu apa yang kau percayai?”
“Dada & selangkanganku sendiri, ia memberiku begitu banyak uang dan kenikmatan hidup”
“Hahahaha Kau terlihat waras, ceria, dan cantik di luar, tapi bukankah di dalam batinmu kau merasakan kesepian, kosong, hancur, ringkih, jijik dan begitu tak berdaya. Aku tahu kau masih bisa merasakan cinta, itu artinya kau masih memiliki potensi untuk kembali menjadi seorang manusia seutuhnya”
Beti terkesiap. Ia mengambil bungkusan rokok di dalam tasnya. Lalu menyulut satu batang rokok, dan mengisapnya, menelan asap rokok sebentar di tenggorokannya, lalu mengembuskan asap rokok dari mulutnya dengan nikmat. Seperti ada beban yang baru saja dilepaskan.
“Jadi apa yang sebenarnya harus aku lakukan Nek?”
“Mana kutahu apa yang harus kau lakukan, lakukanlah semua yang kau inginkan. Kusarankan kau berhubungan dengan Tuhan, katamu kau sudah lama tak percaya pada-Nya. Ya sekarang tanyalah hatimu, dan itu pun jika kau masih punya hati”
Beti tersentak mendengar kalimat itu meluncur begitu mulus, tajam, dan menukik bak air terjun yang menghantam hatinya dengan debaman yang keras. Beti tak menyangka kata-kata itu muncul dari mulut seorang nenek tua yang dianggap setengah gila. Mungkin saja benar, beberapa jalan keluar untuk menghadapi suatu permasalahan rumit, Tuhan titipkan pada lidah orang yang dianggap kurang waras. Setelah sedikit mendapatkan pencerahan dari Aryati, Beti bangkit dari duduknya, lalu menaiki taksi dan pergi untuk bekerja ke tempat Tante Lina.
Beti menjadi gamang setelah mendengar ucapan Aryati. Iya tak tahu apa tujuan hidupnya yang sebenarnya. Malam itu ia melamun dan terus memikirkan kata-kata Aryati dalam desahan melayani 8 pria secara bergiliran. Kenikmatan yang dulu ia dapatkan dari berhubungan seks berkali-kali kini sudah mulai menjadi kosong dan hambar. Bahkan Beti mulai merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dan ini sangat mempengaruhi kinerjanya.
Melihat gerak-gerik Beti yang mulai aneh, Tante Lina sebagai mucikari dalam binis pelacuran mengingatkan Beti. “Jika sedang bekerja kau harus terlihat tulus dan merangsang Bet, kau tahu pelanggan-pelanggan kita yang ke sini itu ada yang kurang kasih sayang, kurang puas dengan pasangannya, atau memang mereka dasarnya adalah bajingan. Tapi tak apa selama mereka membawa uang dan membayar dengan setimpal. Kita bisa terus melayani mereka dengan senang dan profesional”
“Tante, apa yang Tante tahu soal ketulusan? Bukankah dulu Tante mengajariku untuk hanya berpura-pura merasa nikmat saat bersenggama agar pelanggan tidak kecewa hatinya. Jika kita terbawa suasana dan perasaan maka habislah kita di ronde pertama, dan aku tidak akan mungkin sanggup melayani ke tujuh pria lainnya. Bukan begitu?”
Tante Lina tersenyum, “Ternyata kamu masih ingat”
“Tapi hari ini adalah hari terakhirku di sini Tante, aku ingin berhenti dari pekerjaan ini, aku ingin bertobat. Batinku sudah lelah, aku ingin kembali menjadi manusia yang merdeka dan seutuhnya” kata Beti mantap. Ia memberikan amplop cokelat tebal berisi uang, hasil kerjanya selama beberapa bulan. Semua uang diberikan kepada mucikarinya itu. “Terima kasih, sudah mengurusku selama ini” Beti tersenyum kepada Tante Lina, senyum yang begitu bersih, tulus, dan tanpa beban. Lalu memeluk Tante Lina, seperti memeluk saudara kandungnya sendiri.
Namun momen-momen mengharukan itu harus hancur seketika, saat Tante Lina tiba-tiba mengeluarkan sebuah belati dari balik punggungnya lalu menghujamkannya tepat ke perut Beti. Lalu menggeser belati itu secara horizontal dan membuyarkan usus Beti keluar.
Tante Lina menahan linangan air matanya dan menatap nanar tubuh Beti yang tergeletak di lantai bersimbah darah “Maaf, Aku tak ingin tinggal di neraka sendirian, Bet”
Bengkel Idiotlogis, 2024
Biodata
Juli Prasetya adalah seorang penulis muda asal Banyumas. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. FB : Juli Prasetya Alkamzy.