BUKAN hanya kabar burung. Gaya kepala dinas baru mengenai kebiasaan yang dilakoninya. Desas desus para staf di ruang rapat pagi ini menjadi heboh. Pak Soni belum genap satu bulan menjabat Kepala Dinas. Satu-satunya kepala dinas yang biasa menggunakan mobil mewah ke kantor, sontak saja menjadi buah bibir. Bukan tanpa alasan, Mang Ohim yang menjadi Office Boy (OB) di dinas pariwisata puluhan tahun, dibuat angkat jidat dengan pesan Pak Soni, Kadis baru.
“Mang Ohim. Besok-besok jika ada makanan sisa, misalnya sisa rapat atau sisa menerima tamu, tolong dikumpulkan, mau saya bawa pulang.”
Mang Ohim yang akan menyimpan secangkir kopi di meja pak Kadis tampak bengong. Baru kali ini ada pejabat pangkat kepala dinas terlihat ‘peka’ hingga urusan urusan makanan, harus dibawa pulang. Mang Ohim hanya mengangguk menerima perintah pak Soni.
Karena Mang Ohim sering bolak balik menemui semua pegawai di dinas pariwisata, cerita mengenai keapikan kepala dinas baru menjadi perbincangan yang hangat. Bahkan sampai menjadi topik pembicaraan sejak kedatangan pak Soni.
***
Dalam sekejap semua yang ada di ruangan rapat terdiam ketika Pak Soni, memasuki ruangan. Langkahnya tegap dengan baju dinas yang rapi dan sepatu mengkilat. Kabarnya beliau adalah salah satu pejabat yang disegani karena pengalaman bekerja yang tak perlu diragukan lagi. Puluhan jabatan telah dia sesap dan lakoni. Terakhir menjabat Kabag di sekretariat daerah tersebut. Karena mutasi besar-besaran, beliau dipindahkan menjabat kepala dinas pariwisata. Siapa yang mengelak menjadi kepala dinas, apalagi pariwisata.
Setelah laptop dinyalakan di depan tempat duduknya. Pak Soni minta stafnya untuk menyambungkan ke proyektor yang akan membantu dalam presentasinya pagi ini. Beliau pernah dikenal juga sebagai camat yang bagus dalam public speaking-nya. Didukung dengan postur tubuhnya yang tinggi dan putih. Batang hidung yang bangir juga kilauan rambut yang klimis dengan gaya tiga dua satu ala ABRI. Kabarnya lulusan IPDN ini merupakan turunan keluarga yang kaya raya. Maka, tidak ada yang heran jika beliau selalu memakai kendaraan mewah ke kantornya.
“Baiklah semuanya. Rapat pagi ini dengan kepala dinas baru akan dimulai.”
Seseoranng yang ditunjuk menjadi pengatur rapat sudah memulai bahasan rapat. Di ruangan ber-AC kira-kira hanya ada delapan sampai sepuluh pejabat penting di dinas tersebut. Tampak Pak sekretaris dinas (sekdis), para kepala bidang (kabid), dan para kepala sub bagian (kasubag) hadir menyimak presentasi kepala dinas baru. Tak ketinggalan minuman dan makanann penunjang ikut nongkrong di atas meja masing-masing. Tentu saja berkelas, bukan makanan jajanan pasar. Selain itu buah-buahan turut menyempurnakan untuk rapat pagi itu.
***
“Mang?”
Mang Ohim yang sedang menyedu kopi tampak kaget mendengar namanya disebut secara tiba-tiba. Setengah kepalanya melirik ke arah pusat suara. Tampak Pak Umar yang tengah berdiri di samping pintu menuju ke ruang kasubag.
“Ada apa Pak Umar, mengagetkan saya saja? Kenapa engak ikut rapat dengan kepala dinas baru?
“Ah, karyawan seperti saya mana diajak rapat. Paling juga disuruh-suruh.”
“Loh, kok disuruh-suruh.”
“Ya iyalah. Lalu apa namanya. Saya hanya staf, tak pernah naik jabatan. Mungkin sekolah saya hanya sarjana biasa.”
“Lebih baik Pak Umar daripada saya. Saya hanya jadi OB seumur hidup.”
“Mending Mang Ohim, Gak pernah dapat semprot atasan. Paling salah bikin kopi atau salah pesan makanan. Coba jadi saya, hanya staf, jika salah ngerjain program dan keinginan para pejabat, selain dapat omelan, tunjangan juga ditahan, udah ditahan lama, dipotong lagi.”
“Tapi kan Pak Umar enak, jadi pegawai negeri. Gaji tiap bulan pasti turun. Lah, saya mana ada gaji bulanan tetap. Saya hanya dikasih bendahara seadanya saja. Tapi masih untung daripada jadi pengangguran.”
“Oya saya hanya mau tanya.”
“Tanya apa, Pak Umar?
“Itu perihal desas-desus yang lagi rame.”
“Apa?”
“Apa benar pesan dari kepala dinas baru itu?”
“O … mengenai sisa makanan?”
Pak Umar menganggukkan kepala dengan penuh penasaran. Sepertinya dia ingin tahu langsung dari sumber pembawa berita, biar tidak terjadi kesalahan.
“Iya, Pak Soni sejak awal datang ke dinas kita langsung menemui saya ke ruangan ini. Padahal puluhan tahun saya bekerja di dinas ini, baru ada kepala dinas yang menemui saya di ruangan belakang ini.”
“Apa katanya?”
“Mang Ohim, kalo ada makanan sisa rapat atau kegiatan apapun, tolong dibungkus dan berikan kepada saya. Saya sempat terdiam. Apakah saya tidak salah dengar. Padahal beliau sudah kaya. Ke kantor saja beliau selalu pake mobil mewah. Lebih sering pake Fortuner.”
“Dasar Pejabat! semakin kaya, semakin gila harta. Sampai hal remeh temeh saja diurusin. Harusnya sisa makanan rapat dibagikan saja untuk semua pegawai di sini.”
“Tapi, ada kabar. Katanya di tempat kerja sebelumnya. Pak Soni juga selalu begitu ke bawahannya. Minta dibungkus semua makanan sisa rapat. Katanya pernah ada satu stafnya ulang tahun di sebuah tempat. Ternyata pak Soni minta sisa makanan juga.”
Pak Umar geleng-geleng kepala mendegar penjelasan Mang Ohim. Dari wajahnya tampak gurat kekecewaan. Pak Umar menarikk napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, kemudian menyesap satu batang rokok yang diselipkan di antara jari jemarinya. Embusan asap rokok keluar dari batang hidungnya yang agak bengkok. Meski pak Umar sudah menginjak kepala lima, naman jabatannya tidak pernah naik. Paling tinggi menjadi kepala seksi. Auranya tampak geram mendapati berita ketamakan kepala dinas baru di kantornya.
“Harusnya, ya Mang Ohim. Kalau udah kaya seperti pak Soni, harus rajin berbagi. Apalagi dengan sesama pegawai dan bawahannya harus lebih bijak.”
Mang Ohim tidak menjawab, hanya diam sambil senyum-senyum. Sepertinya beliau sedang fokus pada pekerjaannya. Kedua tangannya sibuk menata beberapa cangkir yang diisi kopi hitam, capuchino, mocachino, dan lainnya sesuai pesanan yang sedang rapat.
“Kenapa pak Umar hari ini tidak kerja. Malah diam sama saya di sini.”
“Ah, kali-kali santailah Mang Ohim. Yang rapat juga tidak serius semuanya. Mereka datang karena cari muka aja dengan kepala dinas baru. Pegawai kayak saya tak perlu rajin bekerja. Kan gak bakal mengenyam jabatan tinggi. Gajinya juga kecil. Uang yang besar dan proyek yang bagus hanya buat para pejabat saja, buktinya sampai saat ini saya hanya mampu beli motor bebek. Itu pun hasil kredit tiga tahun. Jauh jika dibandingkan dengan pak Soni kepala dinas baru itu.”
Mang Ohim kini pensaran dengan pernyataan Pak Umar. Sepertinya pak Umar kesal dan tidak menerima takdir dari Tuhan. Padahal nasibnya jauh lebih baik dari dirinya. Sambil menyusun beberapa cangkir di atas nampan ukuran besar. Mang Ohim meninggalkan Pak Umar di ruang belakang menuju ruang rapat.
“Saya tinggal sebentar, ya pak Umar.”
Pak Umar tak menjawab. Hanya terus menyedot rokoknya. Di ruang sebelah, beberapa staf masih fokus dengan pekerjaan masing-masing. Hanya pak Umar yang tidak bekerja. Satu persatu gelas kopi dan minuman pesanan lainnya diatur apik oleh mang Ohim. Sesekali dari ujung matanya, Mang Ohim dibuat kagum dengan presentasi Pak Soni. Dalam hati Mang Ohim, ini kepala dinas yang super keren. Sudah ganteng meski sudah berumur, tampaknya beliau sangat pintar. Baru kali ini di ruangan rapat semua jajarannya fokus.
Tak butuh waktu lama bagi Mang Ohim untuk sekadar menyimpan gelas-gelas pesanan di meja masing-masing. Mang Ohim kembali ke ruang belakang. Pak Umar masih tampak di sana. Jari jemari tangannya sedang memutar-mutar batang rokok.
“Mang … sini?
Terpaksa Mang Ohim mendekati pak Umar dan duduk di kursi sebelahnya.
“Mang … mau bantu saya?”
“Bantu apa, Pak?”
“Nanti kalau pak Soni, pulang, gimana kalau kita ikuti dari belakang. Aku penasaran untuk apa sih sisa makanan itu?”
Sejenak Mang Ohim tampak berpikir, tapi ide pak Umar bagus juga. Sebenarnya dia juga penasaran. Mang ohim mengangguk tanda setuju. Secepat itu langkahnya meninggalkan pak Umar karena namanya dipanggil pak Soni
“Mang Ohim, ini rapatnya sudah selesai. Nah, semua makanan sisa yang tidak dimakan, tolong dibungkus dan masukan ke mobil saya.”
Mang Ohim hanya bisa menuruti perintah pak Soni. Satu persatu semua yang mengikuti rapat meninggalkan ruangan. Sisa makanan yang tidak dimakan dimasukan mang Ohim pada sebuah dus ukuran sedang. Buah-buahan yang tersisa pun ikut masuk ke dalamnya.
“Mang Ohim, aneh ya kepala dinas baru kita. Harusnya sisa makanan ini buat mang Ohim aja. Ini kok malah dibawa pulang.”
“Gak apa-apa Bu Kabid, namanya juga perintah.”
Bu Lela selaku Kabid pemberdayaan manusia hanya mengedikkan matanya lalu meninggalkan ruang rapat. Satu dus ukuran sedang sudah siap dibawa mang Ohim ke dalam mobil Fortuner. Mobil Fortuner putih yang gagah terparkir di halaman kantor.
“Buka saja, Mang. Pintunya tidak saya kunci,” ucap Pak Soni.
Mang Ohim meninggalkan mobil fortuner setelah menutup pintu mobil tersebut. Tidak lama kemudian Pak soni melajukan mobilnya meninggalkan area kantor. Mang Ohim setengah berlari menuju ruang belakang.
“Pak, pak. Pak Umar?”
Pak Umar tampak menyembulkan kepalanya dari ruang belakang.
“Ya, Mang Ohim”
“Itu, Pak Soni mobilnya sudah meninggalkan kantor.”
Rencananya mereka akan mengikuti pak Soni. Motor bebek pak Umar terdengar meraung-raung di halaman parkir.
“Pak Umar, mau ke mana? ini ada pekerjaan baru buat bapak.” Suara pak kabid Asep menyebut nama Pak Umar.
“Nanti saja, pak. Ada urusan penting.”
Motor bebek yang dikemudikan pak Umar melesat meninggalkan area parkir. Dari kejauhan fortuner putih berbelok ke arah kanan menuju medan yang lebih tinggi,
“Setahu saya ini bukan arah ke rumah pak Soni. Minggu lalu saya diajak ke rumahnya tapi jalannya bukan ke sini,”
“Kamu diam saja Ohim. Kita ikuti saja.”
Fortuner putih melambat karena jalanan mulai terjal ke daerah yang lebih tinggi lagi.
“Ini ‘kan ke tempat pembuangan sampah. Udah … kita menepi saja. Fortuner itu berhenti juga, kita jangan sampai ketahuan.”
Dari jarak lima puluh meter pak Soni tampak keluar dari mobilnya, lalu membawa dus yang tadi dimasukan Mang Ohim. Puluhan orang yang sedang menyingkap sampah mencari barang-barang yang masih dapat digunakan dan berharga bagi mereka. Mereka mencari apa saja yang dapat ditukar dengan rupiah. Begitu melihat kedatangan Pak Soni, mereka tampak mengerubungi bak semut mengerubungi gula.
“Sering-sering datang ke sini, Pak. Semoga bapak panjang umur dan selalu berbagi dengan kami.”
Mang Ohim dan pak Umar saling berpandangan melihat apa yang sedang dilakukan pak Soni.***
BIODATA
Lia Laeli Muniroh. Pegiat literasi dan penikmat sastra. Bergiat di komunitas menulis NIMU CLUB. Tiga buku terbarunya: Dari Lelah Hingga Berdusta (Kumcer, 2023) Warisan Cinta Penjerat Asa (Novel, 2022), dan Anak Rantau Jadi CEO (Memoar, 2022). Tulisan cerpennya tersebar di berbagai media Massa nasional. Domisili di kabupaten Garut, Jawa Barat. IG: @lialaelimuniroh