DENPASAR, Balipolitika.com– Masa lalu kelam yang mencakup kecanduan dan gangguan kejiwaan menghadirkan hikmah sekaligus kekuatan bagi seniman multidisiplin asal Bali bernama I Wayan “Apel” Hendrawan.
“Hantu-hantu di dalam dirinya” ia jinakkan melalui praktik seni melukis yang sarat spiritualitas Hindu Bali.
Kini, di usia setengah abad, Apel Hendrawan sebagai pemilik karya-karya yang memadukan estetika romantis dan makna spiritual mendalam; menjadikannya suara otentik di tengah lanskap seni yang semakin terpolarisasi oleh pasar.
Penuh lika-liku hingga tertunda setahun, sosok seniman kelahiran 29 Mei 1974 asal Banjar Dangin Peken, Desa Intaran, Sanur itu dikupas Arif Bagus Prasetyo, Wayan Westa, Richard Horstman, dan Dian Dewi Reich dalam buku biografi berjudul “50 Years, A Journey. Apel Hendrawan”.
Biografi setebal 220 halaman yang dicetak terbatas ini bisa diperoleh dalam pameran bertajuk “50 Years, A Journey. The Golden Age of Apel Hendrawan” berkolaborasi dengan Sawidji Studio & Gallery yang dibuka di Titik Dua, Ubud, Jalan Cok Rai Pudak No.48, Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Rabu, 21 Mei 2025 pukul 17.30 Wita.
Pameran solo “50 Years, A Journey. The Golden Age of Apel Hendrawan” akan berlangsung mulai Kamis, 22 Mei 2025 hingga Rabu, 11 Juni 2025.
Dalam sesi jumpa pers, Sabtu, 17 Mei 2025 dijelaskan bahwa di dunia yang semakin menjadikan spiritualitas dan seni sebagai komoditas, Apel Hendrawan hadir sebagai perwujudan hidup dari kejujuran, ketangguhan, dan keaslian kreatif yang berakar kuat.
Merayakan 50 tahun kehidupannya, sebuah perjalanan yang diwarnai oleh kegelapan dan penebusan, pameran solo retrospektif ini bukan sekadar sebuah pameran seni dan peluncuran buku, melainkan adalah kesaksian atas jiwa yang telah berjalan melewati kegilaan, bangkit dari keputusasaan, dan muncul dengan suara yang ditempa dalam api ujian hidup.
Sebagai seniman multidisiplin—pelukis, seniman tato, aktivis lingkungan, dan pendeta Hindu Bali—kisah hidup Apel Hendrawan melampaui permukaan seni yang ditentukan oleh tren sesaat.
Lahir di tengah budaya yang kini tertekan oleh pariwisata dan fusi global, karya Apel membawa kita kembali pada sesuatu yang abadi dan relevan: seni yang lahir dari proses, penderitaan, dan perjalanan spiritual.
“Saya tidak pernah membayangkan masa lalunya bisa sekelam itu. Titik balik itu benar-benar merupakan suatu keajaiban,” tulis Man Butur Suantara, mengenang keterpurukan Apel akibat penyalahgunaan narkoba dan masa isolasinya di Rumah Sakit Jiwa Bangli.
Babak itu, alih-alih menjadi akhir, justru menjadi gerbang transformasi; Yang muncul setelahnya adalah pencarian penyembuhan yang jujur, dan terus-menerus melalui penciptaan karya seni.
Karya Apel Hendrawan membangkitkan nuansa sapuan kuas Turner: romantik namun penuh badai, dengan medium cat minyak di atas kanvas, sebuah pilihan yang jarang diambil seniman Bali karena tantangan iklim lembab.
Gaya ekspresifnya dipadukan dengan estetika klasik Eropa, menyatu secara unik dengan simbol-simbol sakral Bali, mitologi lokal, abu gunung berapi, dan modre—memberi setiap karyanya bobot spiritual dan emosional yang dalam.
Di tengah ekosistem seni Bali yang semakin marak oleh tuntutan pasar dan tren, karya Hendrawan hadir sebagai pengingat akan kekuatan proses dan keaslian. Karyanya bukan seni sekadar hiasan atau produksi untuk menyenangkan pasar, melainkan seni penyucian.
Ia berbicara tentang penderitaan dan transendensi, bayangan dan cahaya di mana kanvas bukan sekadar media, melainkan cermin jiwa.
Sawidji Founder Dian Dewi Reich, yang juga berkolaborasi dalam proyek ini mempertanyakan di antara banyaknya karya seni yang diciptakan—yang diulang, mengikuti tren, dan dimanjakan oleh pasar—berapa banyak yang benar-benar melewati proses yang berat?
“Karya Hendrawan berada di luar norma, merupakan perpaduan sejati antara disiplin estetika kontemporer dan spiritualitas Bali yang otentik,” ucapnya.
Lebih dari sekadar perayaan hidup, 50 Tahun, Sebuah Perjalanan juga menjadi momen peluncuran buku “50 Years, A Journey. Apel Hendrawan”—sebuah karya penting yang mendokumentasikan perjalanannya secara visual dan naratif.
Buku ini memuat refleksi pribadi, tulisan kuratorial, esai budaya, foto karya, serta perjalanan batin Apel yang mengubah luka menjadi sumber kekuatan.
Dalam dunia seni Bali yang ramai, peluncuran buku dan pameran ini menjadi undangan langka untuk menyaksikan proses penderitaan yang berubah menjadi seni yang sungguh murni.
50 Tahun, Sebuah Perjalanan adalah seruan untuk kembali menemukan esensi sejati dari kreativitas—yang tak berkompromi, jujur, dan menyentuh inti spiritual manusia. (bp/ken)