NUSA PENIDA, Balipolitika.com– Suasana mencekam mewarnai pengusiran sejumlah warga yang dikenai sanksi adat Kanorayang oleh warga Banjar Sental Kangin, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, pada 30 Maret 2025.
Made Sudiarta, salah satu warga yang terdampak Kanorayang, mengisahkan dirinya bersama warga lain dipaksa meninggalkan rumah.
Dirinya tak kuasa menahan desakan warga yang datang mengusir. Akhirnya, mereka diamankan pihak Polsek Nusa Penida ke kantor polisi setempat.
Situasi makin memilukan ketika anak-anak ketakutan melihat keributan saat pengusiran berlangsung.
“Sebab mereka mengusir dengan suara tinggi/teriakan dan menggunakan kata-kata kasar seperti bakar, bunuh,” katanya.
Made menyebut, beberapa warga yang mengusir turut membawa balok kayu dan benda tumpul.
“Melihat hal semacam itu, wajar anak-anak kami yang masih berusia 2-5 tahun menjerit ketakutan,” imbuhnya.
Dampak psikologis pun dialami anak-anak tersebut. “Inikan tidak baik dampak mental kepada anak-anak kami. Mereka mengalami trauma,” terangnya.
Total anak-anak yang terdampak peristiwa itu berjumlah enam orang.
“Kurang lebih 6 anak-anak,” sebut Made.
Tak hanya anak-anak, dua orang lanjut usia, masing-masing berumur 57 dan 76 tahun dalam kondisi sakit juga dipaksa keluar.
“Ambil, ajak pergi semuanya, termasuk yang sakit,” kata Putu Pioda, saksi di lokasi, menirukan teriakan warga saat itu.
Kedua lansia akhirnya dipindahkan ke Puskesmas Nusa Penida terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Pada 31 Maret 2025, warga yang terkena Kanorayang dipindahkan ke Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Banjarangkan, Klungkung.
Di tempat itu, mereka tinggal di bawah penjagaan ketat aparat keamanan.
Dampak sosial pun dirasakan. Anak-anak tak bisa sekolah di tempat semula, sementara para orang tua kesulitan bekerja.
“Ini yang sangat kami sayangkan selaku orang tua, anak-anak kami yang sekolah di Nusa Penida, dari TK-SD dari tanggal 30 Maret sampai 30 April 2025, tak bisa sekolah” kata Wayan Widi, salah satu wali murid.
Pemerintah melalui Dinas Sosial Klungkung sempat menawarkan opsi sekolah di sekitar SKB, namun anak-anak menolak.
“Namun anak-anak tidak mau. Mereka ngotot pengen sekolah yang dulu, di Nusa Penida,” lanjut Wayan.
Hingga kini, warga tersebut masih tinggal di SKB dan meskipun mulai 5 Mei 2025 mereka diperbolehkan kembali bekerja dan anak-anak kembali bersekolah, namun tetap tinggal di SKB sehingga korban anak-anak tak bersekolah.
“Kami berharap bisa kembali ke rumah,” harap Made Sudiarta mewakili seluruh warga yang terdampak. (tim)