BALI, Balipolitika.com – Gubernur Bali, Wayan Koster, ikut mengomentari ihwal maraknya ormas khususnya di Bali.
Koster juga menyoroti aksi premanisme yang berselimut jubah organisasi kemasyarakatan (ormas).
Koster secara tegas menyatakan, Bali tidak membutuhkan ormas nakal alias preman yang meresahkan warga dan mencoreng wajah pariwisata Bali.
Di hadapan Kajati Bali, Bupati, dan para tokoh adat, Koster menggarisbawahi urgensi mengembalikan kekuatan penyelesaian masalah ke akar budaya yaitu Desa Adat.
“Bentuknya ormas, tapi kelakuannya preman. Ini tidak bisa,” tegas Koster dengan nada serius saat meresmikan Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice di Badung, Kamis (8/5).
“Badung adalah jantung pariwisata. Kita tak bisa membiarkan ruang publik rusak oleh perilaku liar berkedok organisasi,” tambahnya.
Gubernur asal Desa Sembiran ini menilai program Kejati Bali, sebagai langkah cerdas yang perlu perluasan.
Bale Paruman Adhyaksa, yang berbasis hukum adat, akan menjadi benteng baru yang sanggup menekan kriminalitas sosial tanpa harus menempuh jalur pengadilan. “Ini bukan hanya urusan hukum. Ini pertaruhan masa depan Bali,” kata Koster.
Secara tegas, ia juga menyinggung peran Sipandu Beradat, sistem keamanan terpadu desa adat yang melibatkan pecalang.
Menurutnya, jika lembaga adat dan pecalangnya kuat, Bali tak butuh ormas tambahan yang sering membawa agenda tersembunyi.
“Siapa pun yang menyalahgunakan nama organisasi untuk meresahkan masyarakat, akan berhadapan langsung dengan adat dan negara. Jangan anggap enteng kekuatan budaya Bali,” ujar Koster.
Hal senada juga oleh Kepala Kejati Bali, Ketut Sumedana. Ia menambahkan konsep Bale Paruman bukan sekadar simbol.
Ini adalah bentuk nyata revitalisasi hukum adat, yang sudah terbukti menyelesaikan konflik perdata dan sosial dengan cara damai.
“Kalau pidana, tentu ada batasan. Tapi konflik internal masyarakat bisa diselesaikan tanpa harus sampai ke penjara,” ujarnya.
Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa pun, tak menampik efektivitas pendekatan ini. Ia menyebut, dengan berjalan optimal, sistem ini bisa meredam potensi pelanggaran hukum sejak dini dan menekan angka penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). “Ini cermin Bali yang beradab dan dewasa menyikapi konflik,” katanya.
Sementara itu, penandatanganan prasasti Bale Paruman Adhyaksa kemarin menjadi sinyal keras dari Pemerintah Provinsi dan Kejaksaan Tinggi Bali.
Bali bukan tanah subur untuk preman berkedok ormas. Dengan memperkuat kearifan lokal, mereka bukan hanya menjaga ketertiban, tapi juga martabat budaya. (BP/OKA)