JAKARTA, Balipolitika.com- Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra membawa aspirasi ke Komisi III DPR RI, Selasa, 6 Mei 2025.
Aspirasi tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi III DPR RI terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mantan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) yang akrab disapa Gus Adhi itu hadir bersama Ketua Presidium DPP KAI Heru S Notonegoro dan Sekretaris Umum DPP KAI Ibrahim.
Mengemban amanah sebagai Presidium DPD KAI (Kongres Advokat Indonesia) DKI Jakarta, Gus Adhi menegaskan bahwa pihaknya memberikan aspirasi terkait pentingnya keselarasan dan keharmonisan dalam penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kehadiran kami di Komisi III DPR RI ini adalah memberikan aspirasi, bahwa pentingnya keselarasan dan keharmonisan dalam penegakan hukum di Indonesia,” ujar Gus Adhi usai RDPU di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Gus Adhi menitikberatkan amanat Undang-Undang Advokat di mana seorang advokat atau pengacara merupakan penegak hukum.
Sayangnya, dalam praktiknya di lapangan, tokoh asli Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung itu menilai seorang advokat seolah-olah tidak punya power sebagai penegak hukum.
“Oleh sebab itu, kehadiran kami ini memberikan aspirasi kepada Komisi III, bagaimana advokat bisa mempunyai kekuatan dalam memberikan garansi terhadap klien,” ucap Gus Adhi.
Kata kunci menciptakan kondisi keseimbangan dan keselarasan itu ungkap Gus Adhi adalah mengisi “kekosongan” norma dalam RUU KUHAP.
Gus Adhi mengingatkan kepada Komisi III DPR RI untuk memperjuangkan pasal-pasal untuk mempertegas posisi advokat sebagai penegak hukum.
Terlebih, dalam UU Advokat Pasal 5 jelas diatur, advokat adalah sebagai penegak hukum.
“Dengan demikian, keberadaan advokat dengan yang lainnya sama-sama berfungsi dan bertugas mewujudkan bagaimana Indonesia sebagai negara hukum,” tegasnya seraya memaparkan bahwa setiap insan di republik ini meski divonis bersalah, tetap harus dilindungi hak-hak hukumnya sebagai warga negara.
“Bukan membela yang salah menjadi benar, tetapi hak-hak hukumnya harus dilindungi dengan baik. Apalagi dengan masyarakat yang kurang memahami hukum, fungsi advokat memberi pandangan hukum sehingga bisa mewujudkan keadilan,” papar Gus Adhi.
Imbuhnya, dalam RDPU itu, KAI juga menyerahkan 80 DIM (Daftar Inventaris Masalah) sebagai masukan atau saran terkait RUU KUHAP kepada Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang didampingi Anggota Komisi III DPR RI Rikwanto.
“Karena kami menyerahkan DIM lengkap, hasil dari rapat dengan Komisi III barusan adalah meminta kami untuk audensi dengan semua fraksi yang ada. Kami akan lakukan itu dan segera kirim surat,” ucap Gus Adhi.
Di sisi lain, Ketua Presidium DPP KAI Heru S Notonegoro menyampaikan 80 poin yang mereka sampaikan merupakan evaluasi dari 346 pasal. Selain itu, ada usulan baru, mengubah beberapa subtansi maupun penyempurnaan.
“Secara prinsip Presidium DPP KAI mendorong substansi RUU KUHAP memperhatikan ketentuan yang terkait dengan tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) yaitu terhadap setiap tindakan upaya paksa yang akan diberikan kepada seseorang harus ada izin dan persetujuan dari pihak yang tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap perkara tersebut,” kata Heru.
KAI juga mengusulkan substansi baru yang sebelumnya tidak ada dalam RUU tersebut, yaitu Hak Penjaminan yang diberikan kepada advokat dalam hal adanya tindakan upaya paksa penangkapan, penahanan.
Substansi itu, mengacu pada prinsip “para pihak berlawanan secara berimbang” sebagaimana yang dikenal dengan sistem adversarial yang harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum, hak hakim dan atau hak atau kewenangan yang dimiliki tersangka atau terdakwa dan atau advokat dalam sistem peradilan pidana terpadu tanpa mengurangi kewenangan APH yang lain.
Usulan KAI lainnya adalah mengenai perekaman di mana hak advokat selaku penasihat hukum untuk melakukan perekaman kamera pengawas suara dalam rangka kepentingan pembelaan tersangka sebagai bentuk pemenuhan hak-hak sipil yang dimiliki oleh warga negara.
Lebih lanjut disebutkan bahwa KAI juga mengusulkan tentang perluasan dari objek praperadilan lantaran ada orang yang mengadu atau melapor sampai sekian tahun tidak diproses.
“Kami mau ini 90 hari. Selebihnya harus ada upaya hukum, kalau itu mau dilanjut atau tidak. Begitu juga kalau perkara itu didasarkan dari alat bukti yang diperoleh secara tidak sah,” kata Heru.
Heru menggarisbawahi hukum acara pidana pada prinsipnya mengatur hubungan negara dengan warga negara, sehingga konsekuensi logis dari pelaksanaan hukum acara pidana sejak proses sampai dengan pelaksanaan putusan secara tuntas mutlak menjadi beban keuangan negara. (bp/ken)