DENPASAR, Balipolitika.com– Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Maret 2025, sejatinya Provinsi Bali memiliki catatan pendidikan yang baik.
Catatan pendidikan yang baik untuk di Provinsi Bali ini mengacu sejumlah indikator, yakni rata-rata lama sekolah (RLS), harapan lama sekolah (HLS), angka kesiapan sekolah (AKS), dan angka partisipasi sekolah (APS) di mana seluruhnya di atas rata-rata nasional.
Rata-rata lama sekolah (RLS) di Provinsi Bali adalah 9,87 tahun berbanding 9,22 tahun untuk rata-rata nasional.
Harapan lama sekolah (HLS) di Provinsi Bali adalah 13,62 tahun berbanding 12,21 tahun untuk rata-rata nasional.
Angka kesiapan sekolah (AKS) di Provinsi Bali adalah 82,80 persen jauh di atas rata-rata nasional yakni 77,47 persen.
Terakhir, angka partisipasi sekolah (APS) di Provinsi Bali adalah 98,79 persen; juga jauh di atas rata-rata nasional, yaitu 96.17 persen.
Sayangnya, di tengah gemerlap capaian statistik tersebut, ternyata kualitas peserta didik di Bali bikin geleng-geleng kepala.
Baru-baru ini, masyarakat Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dikejutkan oleh fakta banyaknya pelajar SMP di daerah tersebut tidak bisa membaca.
Kondisi sebanyak 400-an siswa SMP di Buleleng dilaporkan tidak lancar membaca ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, Gede Harja Astawa, mengaku miris dan prihatin dengan kondisi ini yang menurutnya sangat tidak sejalan dengan citra Singaraja sebagai Kota Pelajar.
“Ini merupakan tamparan yang sangat memalukan. Kita harus segera mencari solusi dan mengevaluasi apa penyebabnya,” ujar Gede Harja Astawa, Rabu, 7 Mei 2025.
Anggota DPRD Bali dari Dapil Buleleng itu menduga ada sejumlah penyebab yang mendasari masalah ini, salah satunya adalah kebijakan pendidikan yang memungkinkan siswa naik kelas meskipun tidak lancar membaca.
Menurutnya, sistem ini berbeda dengan masa lalu, di mana siswa kelas 1 SD harus sudah bisa membaca dan jika tidak, maka mereka tidak bisa melanjutkan ke kelas berikutnya.
“Dulu, saya ketika menjadi siswa SD, jika tidak bisa membaca, kami akan mendapatkan hukuman yang mendidik. Ini berbeda dengan sekarang, di mana siswa yang tidak lancar membaca tetap naik kelas,” keluh Gede Harja Astawa.
Ia juga menyoroti pembatasan yang dirasakan oleh para guru dalam mendidik.
Salah satu contohnya adalah larangan memberikan hukuman fisik, yang kini sering berujung pada pelaporan hukum terhadap sang pendidik.
Gede Harja Astawa menegaskan pentingnya memberi kebebasan kepada guru untuk mendidik siswa dengan cara yang efektif.
“Berikan guru kebebasan dalam mendidik. Pendidikan itu bukan hanya mengajar, tapi juga bagaimana mendidik siswa agar mereka lebih menghormati guru dan orang tua,” jelasnya.
Gede Harja Astawa yang sebelumnya menjabat Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng dua periode itu mengungkapkan keheranannya terhadap fenomena ini.
Ia mengajak para pendidik, orang tua, dan masyarakat untuk bekerja sama demi keberhasilan pendidikan di Bali, khususnya Kabupaten Buleleng yang kini tercoreng lantaran menyandang predikat sebagai “Kota Pendidikan”.
Gede Harja Astawa kembali menegaskan bahwa guru harus dibebaskan dari tugas administratif yang mengganggu tugas utama mereka sebagai pendidik.
“Tugas guru itu sudah berat. Jangan ditambah dengan tugas administratif seperti sertifikasi dan urusan administrasi lainnya. Itu seharusnya menjadi tugas tata usaha,” tegasnya.
Lebih penting lagi, Gede Harja Astawa mengingatkan bahwa pemerintah juga harus memberikan dukungan yang lebih besar terhadap dunia pendidikan.
“Pemerintah harus bertanggung jawab dan memberikan dukungan yang maksimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Bali,” tutupnya. (bp/ken)