SEBUAH bendungan membelah sungai lebar nan panjang di samping pusat kota yang sarat dengan kecongkakan. Di atas bendungan adalah jalan raya yang difungsikan sebagai penghubung warga yang akan merangkak ke kota. Sejatinya, cerita ini bukan tentang hiruk pikuk kekejaman kota yang merajam warga di pinggiran sungai. Mula kisah ini justru lahir di antara kecokelatan air, tumpukan bambu, ranting pohon, plastik chiki-chiki, botol minuman plastik, puluhan popok sampai alat kontrasepsi, serta ‘maaf’ kotoran manusia yang mengambang. Dengan siraman air keruh dari turbin yang terbuka, semua lanskap sampah itu seumpama perhiasan yang berkerumun di leher bawah bendungan.
Adalah Pak Prehatin yang berperawakan kurus dengan kaos oblong putih kumal dan mengenakan topi temuannya yang terlihat berjemur ria di tengah sengat surya yang membakar. Kedua tangan legamnya erat mendorong tiang bambu yang sebentar-sebentar menghujam melajukan sampan. Bersama putranya yang masih SMP, Kinong kadang menggerutu kala mendampingi sang bapak dalam menerebas meteran sampah yang mengapung di air pasang sekitaran bendungan.
“Orang lain bekerja ke kota. Kita mulung, gengsi dikit, Pak” celetuknya yang memang berdasar.
“Kau sangka tetangga kita yang ke sana juga nggak mulung? Sama saja, bukan? Lagian Nong, profesi ini lebih menjanjikan dari mereka yang utamakan gengsi.”
Kinong yang berkulit kurang lebih dengan bapaknya mencoba menutup alis dengan tangan. Kebiasaannya yang enggan bertopi dibayar lunas oleh matahari siang ini.
“Kinong malu, Pak. Di mana-mana selalu jadi bahan ejekan.”
Sampan menyusur pelan. Merasa tempat yang diperkirakan, mata Pak Prehatin mulai menjalar dan merabai setiap celah dalam hamparan sampah. Sekarang semua bau menjadi satu. Mulailah Pak Prehatin dan putranya menarik baju membungkus lubang hidung.
“Yang pantas malu itu orang yang pake jasa Bapak, Nong. Nah itu!!!..” tunjuk Pak Prehatin menemukan apa yang dicari.
Kinong tertarik. Dia yang semula lemas dan posisi duduk sekejab berdiri. Bau mulai kurang manakala sebentar lagi akan tergantikan dengan wangi lembar upahan.
“Siapkan tali agar tak hanyut lagi, Nong.”
Permintaan sang ayah segera dipenuhi. Pak Prehatin mulai mengarak-arik tumpukan bambu dan plastik. Membuat jalan, itu yang sedang dipikirkan.
Kinong di belakang menatap objek temuan itu dengan tak lekang. Puluhan mungkin hal begini telah mereka lewati. Awalnya canggung dan jijik. Selepasnya hanya malu yang belum bisa pergi. Sementara ketakutan? Akhh..!!Sudah musnah dalam pikiran.
Pak Prehatin menceburkan diri tanpa ragu. Berserak sampah itu menciptakan ruang lingkar akibat bobot yang dijatuhkan lalu segera merapat dan mengurung. Pak Prehatin hampir hanyut karena arus liar. Belum lagi kadang kakinya serasa ditarik sebuah pusaran. Bertahan dia dengan jejakan kuat dan dorongan lengan seumpama sayap. Dalam posisi mengapung dihimpit aneka kotoran, plastik, dan dedaunan; Pak Prehatin yang yakin dengan kestabilannya lalu beri aba-aba untuk putranya.
“Ku ikat dulu kayak biasa. Baru kau tarik, Nong.”
“Ya, Pak” tanggap Kinong memperhatikan objek beku yang mengambang dengan rupa wajah menatap langit. Perempuan, masih muda. Usia kisaran 20 tahun; matanya mendelik dengan mulut menganga. Duh Gusti, batin Kinong tak mengerti.
***
Semburat jingga dari cakrawala senja membayang menyapih di permukaan sungai. Duduk bersila di sebuah kursi dari potongan bambu; Kinong meremang memandangi arus kali yang bertambah pasang itu. Bunyi lantunan pengajian radio menggema melalui langgar. Kinong ingat manakala masih umur 6 tahun, almarhumah sang ibu sering membawanya untuk bersiap salat magrib jika situasi begini. Tidak sekarang, ketiadaan ibunya yang meninggal karena tenggelam di sungai itu menyisakan deretan kasih yang terputus. Sementara rekam kenangan hanya kerap berujung pada hangatnya air mata. Kinong mengusapnya.
Derap kaki mendekat. Kinong merasakan itu, matanya lalu beralih ke samping di area jalan semen cor dengan luas hanya setengah meter. Bapak pulang, pikirnya penuh harap.
“Bukan seperti yang kau tunggu, Nong.”
Suara Junay, terpaut 3 tahun. Dia sekarang SMA kelas XI. Junay lewat dengan dua rekannya.
“Tiap magrib kau melamun begitu di tepian sungai. Ibumu sekarang damai. Tak usah lebai berlarut begitu.”
Mendadak uap panas mengasap dari tubuh Kinong. Wajahnya yang semula sendu kini gelap merah dengan aura kusumat yang meradang.
“Ibuku tenggelam tanpa pertolongan dari warga sini. Gaya antisimpatik pakai di dalam kota sana, bukan di kampung ini!”
Junay yang kaget dengan sentakan itu lalu menepis dan balik menghardik.
“Nong! Damkar dan Tim Sar saja nggak pernah berani menjamah arus sungai itu. Orang gila mana yang mau terjun ke air deras dengan pusaran begitu, hah! Lagian memang ibumu saja yang gak bisa dibilangi. Aku jadi saksi saat itu. Warga sini sudah beritahu kalau sungai itu tak stabil bahkan kerap berombak. Belum lagi sungai itu berpenunggu! Ibumu saja yang masih nekat mulung!”
“Sekian tahun aku dan bapakku nyebur di sana! Dasar kalian saja yang nggak punya hati!”
“Itu karena kalian nggak waras, Nong!” ejek yang lain. Tawa mencuat menjadi buli dari masa lalu sampai ke pekerjaan.
“Setidaknya Bapakku bukan pengemis atau penodong seperti sekian dari warga sini!”
Beberapa warga usia dewasa tertarik dan membuka pintu karena mendengar suara nyaring dari Kinong.
“Kalau anak tidak diajar tata krama memang begitu!”
“Iya. Kebanyakan makan duit bangkai!”
“Mengapa juga masih tinggal di sini! Heran? Sampai sekarang RT nggak ngusir dia dan bapaknya.”
Ledekan dan cemoohan kompak mengisi keseharian Kinong dan Bapaknya. Jika sudah begitu, Kinong hanya melipat tangan, merendam kepala dalam sela dua lututnya yang ditekuk.
“Hentikan! Hentikan!” sergah Pak Prehatin yang baru datang.
“Nah. Makin jelas bukan? Anakmu nggak tau diadap! Itulah kalau keluarga ngeyel dan terus meras orang! Sial terus seumaran!” timpal seorang tetangga.
Pak Prehatin tak menggubris. Ia hanya mendekati Kinong, menariknya untuk bangun.
“Lelaki jangan cengeng. Panjang perjalananmu! Sekarang ayo masuk.”
Dengan diteriaki “Huuuuuu!!!” Ayah dan anak tersebut melangkah kaki ke dalam rumah.
Di dalam rumah yang mayoritas berbahan kayu itu sang ayah duduk bersila. Sambil menaruh satu bungkus bakso pada sebuah mangkok, mata Pak Prehatin sekejap memperhatikan lantai di tengah ruangan yang bisa dibuka tanpa paku. Di bawahnya air pasang dan tampak kisaran setengah lengan saja. Perlu perbaikan, pikirnya.
“Kalau hari-hari kamu isi dengan kesedihan tanpa mau mencari kedamaian itu rugi, Nong. Hidup memang begitu. Ledekan dan makian itu yang buat kita kuat. Nih makan, bapak beri banyak cabe biar kamu semangat.”
Kinong yang semula muram mendadak antusias karena tergiur aroma kuah bakso. Ia pun meraih satu sendok dan mencicipi kaldunya. Terasa langsung menjalar dan menghangatkan setiap otot dalam tubuhnya.
“Bagaimana kali ini, Pak?”
Pak Prehatin beralih duduk dan memilih menyandar dinding lalu menyalakan rokok. Asap putih kebiruan mengudara lalu pecah diterpa angin dari jendela yang terbuka.
“Cukup untuk tabunganmu. Sekolah yang pintar dan tinggi. Bapak akan dukung kamu. Jangan turuni nasib Bapak.”
Kinong mengunyah bakso suapan pertamanya. Telinga dan pikirannya tampak fokus menyimak petuah itu. Usai mengunyah dan menelan, Kinong menukas “Junay bilang bahwa sungai itu berpenunggu. Hanya orang tak waras yang berenang di sana. Orang sini selalu menganggap kita meras orang susah. Sebuah pekerjaan yang memalukan sekaligus mengerikan.”
“Nong. Pada masanya kamu pasti akan paham bahwa kengerian sebenarnya itu bukan dari setan atau jin. Yang paling menakutkan itu manusia yang tak pernah peduli dengan sesamanya, Nong!”
“Maksudnya, Pak?”
“Orang bilang kita meras. Padahal jika mau mereka menggunakan otaknya untuk menyingkirkan sentimen, mereka akan ketemu sendiri jawabannya. Manusia seperti apa yang sering berpasrah tanpa berusaha. Ada anggota keluarga yang tenggelam, bukan bahu membahu menolong malah nunggu sampai jasadnya busuk dan ke pinggir. Itu melebihi setan, Nong”.
“Mayat perempuan tadi?”
“Bapak ibunya sibuk kerja. Sementara putrinya malah terjerat obat hingga sakau lalu menceburkan diri.”
“Seperti musibah ibu?”
Pak Prehatin mengulum luka. Pikirannya melayang manakala saat sang istri tenggelam dan hanyut, dirinya hanya seorang diri mencebur ke sungai. Mencari berjam sampai berhari-hari. Hal yang paling menyebalkan ialah bahwa manusia pada zaman ini telah mengalami degradasi simpati. Alasan ketakutan kematian dan tuntutan membuat manusia itu hanya terbengong sambil sigap memvideo lalu diviralkan. Tak jarang cara itu digunakan demi mencari nasi.
“Jadilah tega untuk orang tak berperasaan dan jadilah dermawan untuk orang yang berakhlak. Orang yang melantangkan hujatan itu seharusnya malu. Tapi karena dia bukan orang maka itu menjadi hal yang harus kita maklumi. Ingat, Nong. Pantang gonggongan dari mulut mereka untuk masuk dalam deretan agenda hidup kita.”
Kinong menyelesaikan makan malamnya dan tanpa diduga dari arah bendungan .
“Dooooorrrrr!!!!!!!! Byuuuuuurrrrrrrrrr!!!”
“Apa Nong!!!?” sergah Pak Prehatin kaget. Telinga sang ayah tajam mendengar seolah bunyi petasan dan diikuti suara sebuah beban berat jatuh. Pak Prehatin mengintip dari jendela disusul Kinong yang memeluk karena ketakutan.
Siluet 4 orang tampak berdiri di atas bendungan. Sorot lampu senter berpendar ke segala arah mengindikasikan suatu hal busuk yang tengah disembunyikan. Pak Prehatin terus amati; rumah-rumah tetangga bisu tanpa rasa ingin tahu. Begitulah manakala gaya kota salah tempat. Kembali fokus. Dari pengalaman yang ia lakoni, batinnya menebak dengan yakin bahwa beban yang jatuh itu adalah manusia.
***
Tebakan Pak Prehatin beralasan manakala keesokan paginya sekitar pukul 9, sebanyak 3 orang berpakaian rapi khas orang kaya berjalan menuju arah rumahnya. Sudah seperti yang lalu-lalu, Pak Prehatin yang merokok di emperan tanpa baju itu pun sangat mahfum dengan hal beginian.
“Sepuluh juta semoga cukup ya, Pak?” kata satu orang perempuan berwajah dingin berkacamata hitam. Di belakangnya, dua pria muda yang Pak Prehatin yakini merupakan anak dari perempuan itu tampak gagah dengan setelan hem hitam.
Perempuan itu lalu memperlihatkan derai air mata yang mengurai turun. Mengenakan kaos tangan lateks hitam, perempuan itu menyeka tangisnya. Dua orang di belakang dengan segera menempelkan satu tangan yang juga bersarung hitam itu untuk menenangkan sang bunda. Dari pandangan Pak Prehatin semakin yakinlah bahwa orang kaya di depannya itu sungguh menjaga wibawanya. Mungkin tak sudi bagi mereka untuk terjangkit penyakit atau kotoran lingkungan sekitar. Mau risih juga susah melihat tingkah mereka yang sedikit sinis dalam membaca keadaan kekumuhan ini.
“Kalau boleh tahu mengapa suami Anda nekad begitu?”
“Depresi karena kebangkrutan perusahaan, Pak?” timpal salah satu pria.
Si pria muda segera membuka koper. Tampak deretan rapih dan wangi lembaran ratusan ribu. Bergepok-gepok malahan.
“Saya tidak bermaksud lancang. Tapi alangkah baiknya bapak cek di dalam saja. Apakah uang ini kurang atau cukup.”
Melihat gesture ketiganya yang benar-benar alergi dengan debu dan udara sekitar sini sungguh konyol jika malah makin dalam memamerkan kemiskinan Pak Prehatin.
“Cukup, Mas. Saya percaya. Taruh di dalam saja. Maaf, ruangannya berantakan.”
Pria muda tersenyum kecil lalu masuk ke dalam rumah untuk menaruh koper.
Pak Prehatin kemudian mengucapkan terima kasih beriring dengan langkah pergi ketiga tamu spesialnya. Sesuai janjinya, siang ini Pak Prehatin akan langsung menyisir sungai untuk menemukan jasad Pak Birma, suami dari perempuan yang menangis tersebut.
Merambat siang sambil melajukan sampan, Pak Prehatin memikirkan Kinong yang belum pulang. Mungkin dia bermain bola saat ini, gumamnya. Melarung sejenak dalam khayalan, uang banyak itu tentunya mampu untuk membuat Kinong beli sepeda baru. Yah selama ini putranya itu hanya berjalan saja saat ke sekolah. Tak lama pikirannya malah digelayuti kembali oleh kejadian malam tadi. Perkelahian antar kelompok kerap juga Pak Prehatin temui. Pengejaran polisi atas pelaku copet juga pernah. Memang intinya bendungan ini seolah menjadi medan magnit dan sungai di sini adalah penari pemikatnya untuk solusi dari perselisihan batin atau antar sesama. Sementara malam tadi walau tak pernah, Pak Prehatin yakin itu suara tembakan. Belum selesai dia membuat deduksi-deduksi recehnya tiba-tiba sampannya malah membentur sesuatu. Matanya yang semula terhanyut kosong ke depan coba ia turunkan pandang. Pak Prehatin setengah berjingkat.
Sesosok mayat pria cukup tambun yang masih mengenakan pakaian safari dengan warna kulit pucat menyembul tenggelam dan membenturi sampan. Pak Prehatin memperhatikan dengan saksama, pelipis kirinya tampak berlubang dengan diameter seukuran kelereng. Ciri lain ia cocokkan dengan keterangan si wanita. Benar, ini jasad Pak Birma, batin Pak Prehatin yakin. Merasa mayat itu yang dimaksudkan, segera ia ambil tali dan mengikatnya pada bagian dada. Sampan lalu mengarah ke pinggiran. Merasa di tepi adalah tempat yang terjangkau untuk jejakan dalam menaikkan mayat ke sampan, Pak Prehatin cepat terjun. Beginilah jika tidak ada Kinong. Beda sekali. Mengangkut beginian sudah pasti bisa di depan bendungan dengan bantuannya.
Bersusah payah Pak Prehatin berenang dan lebih tampak berdansa dengan jenazah. Pak Prehatin merangkul punggung mayat itu. Sebuah jeroan otak tiba-tiba melongsor turun dan menyirami wajahnya.
Sialan, umpatnya menahan anyir dan muntah. Pak Prehatin perhatikan ternyata kepala bagian belakang mayat tampak rongga besar seukuran bola kasti. Pasti ini hasil putaran proyektil.
Cuuhh!!!! Pak Prehatin membuang ludah berharap sisa kelenjar otak itu keluar dari mulutnya. Pada akhirnya dengan lenguhan berat, mayat itu berhasil naik ke sampan.
***
Sesuai permintaan keluarga, Pak Prehatin telah meletakkan mayat itu di dalam rumahnya. Yah, begitulah semua menyesuaikan saja. Ada dari keluarga minta diantar ke rumah duka, puskesmas, ada yang minta ditepikan, dan kali ini ada dititipkan di rumah Pak Prehatin untuk dijemput. Hal itu lumrah bagi Pak Prehatin karena menyesuaikan dengan bayarannya juga. Sementara untuk puluhan pasang mata warga yang menatapnya dengan sinis dan jijik, bagi Pak Prehatin itu hanya bagian dari rasa iri dan gengsi saja.
Pria kurus itu menunggu di emperan sambil merokok seperti biasa. Sesekali ia menengok jam. Sudah pukul tiga sore tapi putranya belum pulang. Benar-benar bocah itu keasyikan main, batinnya.
Tak lama tampak tiga orang muncul dari tanggul jalan. Pak Prehatin menguraikan senyum melihat kerabat dari jenazah ini sudah datang. Dia berdiri bersiap menyalami kerabat yang mulai merapat itu. Istri alm. Pak Birma tampak masih sedih dan menangis lagi. Satu anak kandung alm. Pak Birma meraih telepon dan berbicara singkat.
Manakala Pak Prehatin telah keluar emperan, sekonyong-konyong sebuah teriakan muncul.
“Diam di tempat! Angkat tangan! Jangan bergerak!!!!”
Suara tinggi lantang itu disusul dengan derap kaki beberapa pria berbadan tegap yang keluar lalu menerjang dari samping rumah Pak Prehatin.
Satu pria berpakaian urakan langsung menjegal tubuh kurus Pak Prehatin dan memitingnya hingga pipinya menempel coran jalan.
“Ampun, Pak! Ada apa ini! Salah saya apa, Pak!”
“Jangan bohong!!!” hardik istri alm. Pak Birma yang seolah hendak mencengkram. Dua anak di belakangnya berusaha menahan dengan wajah gusar dan cemas. “Perampok mana yang mau ngaku, hah!!! Biadap!!!Bangun!!!!!”
Petugas berpakaian preman itu lantas menegakkan tubuh Pak Prihatin. Polisi itu memborgolnya sementara petugas lain langsung masuk dalam rumah.
“Perampok? Ibu saya nggak pernah didik saya untuk jadi itu. Perempuan ini fitnah saya Pak Polisi!” protes Pak Prehatin heran bercampur marah. Tanpa ia sadari juga puluhan pasang mata warga yang menatapnya berubah pandang. Kali ini pandangan itu kian gila dengan rutukan tajam sumpah serapah.
“Bawa saja orang gila itu Pak Polisi!”
“Penjarakan saja!”
“Kami sudah muak dengannya!”
Hati Pak Prehatin hancur luluh lantak karena ujaran menyakitkan itu. Sampai demikian kebencian mereka yang jelas-jelas bahwa dirinya belum tentu bersalah.
“Komandan Surya!” panggil satu petugas kepada pria berpakaian preman yang mengunci kedua lengan Pak Prehatin, “dari dalam kami temukan koper berisikan uang cukup banyak dan sepucuk pistol jenis colt di samping tv.”
Mimik Pak Prehatin tambah tercekat saat mendengar ada senjata api di rumahnya. Ia berontak dengan sangat.
“Sumpah, Pak. Bukan saya! Sumpah pistol itu saya tak tahu! Ampuni saya, Pak!”
“Jelaskan di kantor, Pak”
“Tapi benar, Pak. Saya bukan pelakunya. Duh gusti, ampuni saya, Pak. Saya mohon!!! Saya mohon!!!!! Tolong, Pak!” ucap Pak Prehatin menggelijang dan menangis. Tidak lain dan bukan sekarang yang ada dalam pikiran Pak Prehatin hanyalah nasib Kinong.
“Jangan dengarkan, Pak. Pembunuh!!! Cepat cek sidik jarinya, pasti cocok dengan pistol dan koper itu! Dialah yang merampok suami saya saat pulang kerja! Saya yakin jika tidak dapat info dari warga tentang lokasinya sekarang, jasad suami saya pasti bakal dipotong-potong untuk hilangkan jejak, Pak!” urai istri alm. Pak Birma tersengal-sengal.
“Tapi sungguh bukan saayy…”
“Halah!!!….Dugggg!!!!!!” sebuah sapuan kaki terukur dari satu anak alm. Pak Birma itu tepat mengenai rahang Pak Prehatin. Dia pun terhentak ke pinggir dan merasakan ngilu berat yang sangat dalam.
“Cukup! Jangan main hakim sendiri!” sergah Komandan Surya yang langsung cepat mengamankan Pak Prehatin.
Dengan diborgol dan dikawal, Polisi menggiring Pak Prehatin menuju pinggir jalan raya untuk masuk ke mobil tahanan. Sementara itu keluarga alm. Pak Birma juga mengekor di belakang dengan menyembunyikan mata dan senyum penuh intrik dan skandal.
Berjalan menepi dan berkelok, Pak Prehatin hanya menatap aliran sungai. Seolah sungai itu berbisik kepadanya, mata Pak Prehatin sembab hangat mengingat kenangan kelam di sungai itu. Langkah mereka mendekati undakan bendungan dan berusaha naik menuju jalan raya.
“Bapak!!!!!!!!!” teriak Kinong dari siletan jalan dengan tangan kanan melingkari bola.
Pak Prehatin menyeretkan langkah hingga berhenti total. Dia mendengar panggilan itu dan menangkap wajah memelas putranya. Kinong berlari mendekat.
Pak Prehatin tak tahan lagi. Dengan kuda-kuda pasti dia gasak satu petugas di kiri tangannya untuk ciptakan ruang. Satu kuncian kendur. Petugas lain segera terbang dari belakang untuk lakukan kekangan leher. Namun Pak Prehatin mendorong cepat kepala belakangnya hingga hantam pelipis kanan si petugas. Polisi itu pun rubuh sesaat. Komandan Surya segera bergerak kilat, ia cepat todongkan pistol dengan teriakan perintah yang wajib diikuti.
Tapi mata Pak Prehatin nyalang tanpa keraguan. Sekujur tubuhnya ia tabrakkan ke badan Komandan Surya. Sedikit terdorong ke belakang, ruang kecil itupun dimanfaatkan Pak Prehatin dengan memutar setengah badan lalu terjun ke sungai yang berarus pasang.
Dor!!!! Dor!!!! Dorr!!!!Dorr!!!
Tiga tembakan menuju arah ceburan berdesing memekak bercampur teriakan kecewa keluarga Pak Birma dan raungan tangis Kinong.
Sesaat pada satu titik tembakan, cairan merah tiba-tiba menyembul ke permukaan. Suasana keruh, namun isak tangis Kinonglah yang mendominasi.
***
Azan magrib usai berkumandang sepuluh menitan yang lalu, dengan terisak-isak Kinong duduk di kursi emperan memandang sungai dan jalan berharap kemukjizatan datang. Warga sekitar yang seperti patung pada akhirnya menatap itu dengan rasa bercampur juga. Kediaman mereka kali ini tentu hasil dari gelayutan kemarahan atau kebersalahan sikap. Sekitar rumah Pak Prihatin, dua sampai tiga polisi berpatroli. Kinong menunggu hingga tak terasa Isa telah tiba. Pada akhirnya anak laki-laki itu muak dengan harapan. Kinong mulai menggerutu Tuhan tentang arti keadilan. Tangisannya kian serak dan lirih. Dengan hati hancur lebur dan putus asa, langkah kecil kakinya mengantar Kinong ke dalam rumah. Pintu ia banting saat menutup lalu tubuhnya sekejab amblas tersungkur di lantai. Semua badannya menggigil dan sukmanya panas teriris-iris. Mencoba menahan itu dia duduk melipat kaki dan mengalunginya dengan lengan. Dia tatap arah dapur yang sunyi dengan bersandar pintu. Di lantai tengah ruangan, mata Kinong yang sudah bengkak tiba-tiba tertarik pada satu bungkusan plastik hitam. Segera ia merangkak mendekati bungkusan itu. Dengan kibasan ke arah mata dan hidung yang berair, jemari Kinong mulai memeriksa dan membuka. Sedikit basah tapi terasa hangat mewangi. Matanya lalu membesar menyaksikan kaldu bakso bercampur merahnya gilingan sambal.
BIODATA
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat diberbagai media cetak dan online.