SEBUAH TUGU akan dibangun di tengah alun-alun Desa Jati Putih. Tugu untuk memperingati patriotisme almarhum Kasman, pemimpin perjuangan warga yang pada tahun empat puluhan menggerakkan penghadangan terhadap pasukan Belanda yang hendak membangun pos pertahanan di desa mereka. Banyak anak buah Kasman tewas. Ia sendiri tertembus peluru di paha dan perut kiri.
Penggagas pembangunan tugu tersebut adalah Indra, tokoh pemuda. Anak itu berhasil meyakinkan keluarga besar Kasman, pemerintah desa dan para warga tentang pentingnya pengabadian nama Kasman dan semangatnya, untuk menjadi teladan generasi-generasi mendatang. Ratih, cucu Kasman yang kaya pun menanggung seluruh biaya, dari pengadaan material, upah seniman perancang, tukang bangunan, hingga resepsi peresmiannya kelak. Uangnya dipegang oleh Indra sendiri, selaku manajer, yang ditunjuk oleh Ratih.
Hari ini hari kelima pengerjaan. Baru separuh pondasi. Dua tukang bangunan handal yang menanganinya, Hasan dan Amir, seperti biasa nampak sibuk.
Tapi di tengah kesibukannya memelester pasangan bata kali ini Hasan terganggu dengan kepalanya yang sejak kemarin tidak nyaman: pening, nyut-nyutan. Pagi ini semakin keras, semakin menjadi-jadi.
Sesekali lelaki empat puluh tahunan itu menekan-nekan ubun-ubun, memijit-mijit tengkuk, mencoba mengatasi masalah kepalanya, yang ia sadari pemicunya adalah emosi terpendamnya kepada Indra, yang berhari-hari terus berkecamuk dan tak bisa ditumpahkan. Pasalnya Indra telah memesan seluruh material kepada orang lain, yang bertolak belakang dari harapan Hasan.
Sesungguhnya kesediaan Hasan menukangi tugu tidak hanya karena mendapat upah, tapi juga karena bermaksud membuka jalan agar pasir milik Juna, keponakannya, yang seorang penambang, dipakai oleh proyek itu. Jika maksudnya tercapai, ia akan mendapat jatah pembagian keuntungan dari Juna, yang jumlahnya lebih besar dari upah pekerjaan pembagunan tugu. Sayangnya Indra menolak. Dengan tanpa beban Indra berdalih bahwa ia menginginkan pasir berkualitas bagus. Pasirnya Juna tidak bagus, sebab ditambang di sungai yang penuh endapan lumpur.
Hasan tidak bisa berbuat apa-apa selain kecewa. Pupus impiannya mendapat pembagian keuntungan dari Juna.
“Masih sakit kepalamu, Hasan?” tanya Amir prihatin melihat rekannya itu menghentikan kerja, duduk di atas tumpukan bata.
Yang ditanya hanya mengangguk. Mukanya meringis.
“Mungkin kau terlalu lelah. Baiknya kau pulang. Biar aku saja yang selesaikan pekerjaan hari ini,” saran sang rekan lagi. “Sekalian kau mampir ke rumah Indra, kau laporkan juga tentang hilangnya tiga sak semen di gudang.”
Darah Hasan berdesir mendengar Amir menyebut tentang semen. Lekas ia tundukkan muka untuk menyembunyikan raut yang berubah karena tahu diri telah berbuat jahat.
Hasan marah kepada Indra, tapi tak tahu harus berbuat apa. Maka tadi malam ia curi tiga sak semen dari tempat penyimpanan. Disembunyikannya di suatu tempat yang tak seorang pun tahu. Rencananya besok lusa akan dijual ke luar desa. Hasan puas, merasa telah bisa merugikan Indra.
“Ya, sepertinya lebih baik aku pulang dulu. Mungkin aku butuh istirahat.” Keputusan Hasan diikuti tubuhnya yang bergerak bangkit, berjalan ke tepi alun-alun tempat motornya diparkir. Di kejauhan ia melambaikan tangan, pamit pada Amir yang segera membalas dengan senyuman.
Karena kepalanya kian pening, kian nyut-nyutan, Hasan ingin lekas sampai rumah. Maka ia sedikit ngebut.
Dalam perjalanan, tak reda rasa tidak puasnya pada Indra. Bagaimana pun hendak dikendalikan, tetap saja ketidakpuasan itu, rasa kesal itu, amarah itu berpusar-pusar di rongga dada dan kepalanya. Akibatnya masalah di kepalanya pun ikut tak terkendali. Kini Hasan kliyengan pula, matanya kabur, berkeringat dingin, gemetar, dan mau jatuh!
Di simpangan, konsentrasinya buyar. Harusnya ia berhenti karena ada mobil yang meluncur dari arah sampingnya. Tapi tidak ia lakukan. Motornya terus melaju tepat di depan mobil yang datang dengan kecepatan tinggi. Tabrakan pun tak terhindarkan.
Ambulan tiba terlalu lama. Hasan menghembuskan nafas terakhir di atas genangan darahnya.
*
Duka mendalam dirasakan pula oleh keluarga besar Kasman. Bagi Ratih dan saudara-saudaranya, almarhum Hasan adalah seseorang yang patut diberi penghargaan, sebab ia meninggal dunia dalam kecelakaan setelah pulang dari kerjanya membangun tugu peringatan Kasman.
Anak isteri Hasan pun diberikan santunan uang dan barang-barang dengan nilai lumayan besar. Dalam penyampaian kata hati usai prosesi pemakaman Ratih berjanji bahwa dirinya dan seluruh keluarganya akan selalu memerhatikan keluarga yang ditinggalkan oleh sang tukang. Pekerjaan pondasi dihentikan selama tiga hari untuk memberi penghormatan pada Hasan.
Setelah habis masa penghormatan itu Amir mulai bekerja kembali, melanjutkan pemelesteran pasangan bata pondasi.
Untuk sementara ia sendirian sebab tukang bangunan pengganti almarhum Hasan belum tiba dari luar desa. Tidak masalah baginya. Ia senang menukangi tugu almarhum Kasman yang menurutnya hebat. Saat kecil, bapaknya Amir kerap menceritakan tentang keberanian pejuang itu, yang berkat dirinya Belanda tak jadi bercokol di Desa Jati Putih yang sesungguhnya sangat strategis untuk pertahanan dalam peta siasat Belanda. Warga desa pun aman dari kemungkinan diperlakukan semena-mena, termasuk dipaksa menjadi pekerja di tempat-tempat pembangunan fasilitas kolonial itu.
“Pak Amir.”
Amir terkejut mendapat sapaan tiba-tiba itu. Ia yang sedang jongkok mengaduk semen acian lekas menengok ke belakang. Ternyata Indra.
“Eh, Nak Indra,” ucap Amir dengan sopan seraya bangkit dan berdiri menghadap sang manajer. Tapi segera Amir merasa kurang enak melihat wajah Indra yang sepertinya memendam kesal.
“Kemana semen tiga sak di gudang itu, Pak Amir?” seru Indra tanpa basa basi, tanpa peduli lagi orang yang di depannya adalah orang tua yang terpaut puluhan tahun umur darinya.
Amir tertegun. Hendak diucapkannya kata ‘semen apa, Nak?’ andai tak segera ingat tentang semen yang hilang pada malam sebelum hari kecelakaan Hasan.
“O, semen itu, Nak Indra,” katanya polos. “Semen itu hilang pada malam sebelum hari kecelakaan Hasan, Nak.”
“Hilang? Pada malam sebelum hari kecelakaan Pak Hasan?” sentak Indra lagi. Nampaknya pemuda itu benar-benar kesal atas raibnya semen, salah satu material yang menjadi tanggung jawabnya. “Kenapa tidak dilaporkan kepada saya? Seandainya pagi ini saya tidak memeriksa tempat penyimpanan berarti saya tidak akan tahu perihal raibnya semen itu, Pak?”
Amir menyeringai risih karena sadar telah melakukan kesalahan. Tapi sungguh hal itu tidak ia sengaja. Ia benar-benar lupa!
“Sebenarnya saya tidak tahu perihal hilangnya semen itu seandainya tidak diberitahu Hasan. Setelah diberitahu pun saya tidak ke gudang karena sibuk di sini. Sebenarnya pula sebelum meninggal Hasan bermaksud akan mampir ke rumah Nak Indra untuk melapor. Tapi begitulah, ia lebih dulu mengalami kecelakaan.”
Indra terkekeh mendengar kalimat tukang tua itu. Ada ekspresi sinis di sudut bibirnya. “Benar semen itu hilang, Pak?” tanyanya dengan nada tak percaya.
Hati Amir makin tidak nyaman.
“Maksud Nak Indra?”
Indra terkekeh lagi. “Saya sudah memeriksa gembok dan seluruh bagian gudang. Tapi tak ada sedikit pun tanda-tanda buka paksa atau perusakan. Artinya, semen itu diambil dengan cara baik-baik, dengan membuka gembok, dengan kuncinya. Dan yang saya tahu, kunci gembok itu ada pada Pak Hasan sebelum beliau meninggal, dan sekarang sudah dipegang oleh Pak Amir.”
“Jadi maksudnya Nak Indra ndak percaya bahwa semen itu dicuri? Nak Indra berpikir bahwa Hasan atau saya yang mengambilnya?” Langsung saja Amir mencecar Indra dengan pertanyaan berlatar getaran emosi. Ia yakin pemuda itu sedang menuduh!
“Bukan saya menuduh,” elak Indra. “Saya hanya bicara fakta, Pak.”
Panas dada Amir. Mukanya memerah karena marah. Ia benar-benar tersinggung dengan ucapan-ucapan orang kepercayaan Ratih itu.
“Demi Allah saya tidak tahu apa-apa tentang hilangnya semen itu, Indra!” sergahnya. Tak lagi ia menyebut ‘Nak’ pada Indra. “Saya juga tidak terlalu ambil pusing sebab saat hilangnya semen itu, kunci dipegang oleh Hasan. Artinya dia yang bertanggung jawab atas material di gudang, dan dia yang harusnya ditanyai!”
“Oh, sayang ya, sekarang saya tidak tahu lagi kemana harus bertanya, karena Pak Hasan sudah meninggal.” Nada mengejek semakin kentara dalam ucapan Indra. “Baiklah, baiklah, Pak. Sekarang yang perlu Bapak camkan, apapun yang Bapak katakan, saya hanya tahu bahwa terkait hilangnya semen itu tidak ada kerusakan sedikit pun pada gembok atau bagian lain di gudang. Lalu kunci gembok itu ada pada Pak Hasan, yang kemudian berpindah ke tangan Bapak. Nah, sekarang Pak Hasan sudah tiada. Artinya, saya tidak tahu lagi harus menanyai siapa, atau harus menyalahkan siapa, atau harus menuduh siapa, selain Pak Amir!”
Rentetan kalimat yang meluncur dari mulut Indra adalah ledakan-ledakan petir di telinga Pak Amir. Lelaki tua itu gemetar oleh amarah. Hendak ditamparnya pemuda kurang ajar yang berdiri dengan senyuman sinis di depannya itu. Ingin sekali, andai tak terlintas wajah Ani, cucunya yang sedang sakit keras, yang membutuhkan biaya pengobatan, dan salah satu sumber biayanya adalah dari upah yang nanti akan diterima Amir seusai pembangunan tugu. Ia tidak boleh mengasari manajer itu, atau akan dipecat.
Indra pergi meninggalkan Amir yang terpaku dengan wajah membesi, yang kemudian menjatuhkan pantatnya di atas tumpukan bata.
“Ya, Allah,” keluhnya. “Kenapa aku harus menghadapi fitnah seperti ini? Seumur-umur aku tak pernah mencuri.”
Amir menggeleng-geleng, kembali menyalahkan diri sendiri yang begitu pelupa, yang sampai tidak ingat untuk melaporkan perihal hilangnya semen itu setelah Hasan meninggal.
Mendadak ia tertegun, memikirkan sesuatu. “Duh, teledornya aku!” seru hatinya. “Saat Hasan memberitahuku tentang hilangnya semen, aku asal-asalan mendengarnya, tak pergi melihat sendiri keadaan gudang, tak mengecek gembok dan bagian-bagian lain tempat penyimpanan semen itu. Seandainya aku lakukan, aku langsung tahu kebenarannya, apakah memang dicuri orang, atau…”
Terhenti seruan hati Amir.
“O, ya, benar juga kata Indra. Kalau tidak ada kerusakan pada gembok dan bagian lain gudang, berarti semen itu diambil secara baik-baik, oleh orang yang memegang kunci saat itu. Yang memegang kunci adalah Hasan. Artinya, oh, apakah mungkin, apakah mungkin Hasan sendiri pencurinya? Apakah mungkin dia hanya bersandiwara padaku?” lanjutnya kembali.
Amir menggeleng-geleng lagi, berusaha mengusir prasangka buruknya pada Hasan.
Ponsel di kantong celana tukang itu berdering. Lekas ia ambil.
Nak Indra, itu nama pemanggil yang terpampang di layar.
Hendak dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam kantong karena enggan menjawab. Tapi ia harus mengalah demi mengingat kembali cucunya. Terlebih deringnya tak berhenti, tanda pemanggilnya ingin panggilannya ditanggapi.
“Ya, kenapa?” sentak Amir.
“Pak Amir dipecat!”
Melebar mata lelaki tua itu karena sangat terkejut. Mulutnya bergerak-gerak hendak bicara, tapi tak bisa. Dadanya tiba-tiba sesak. Pandangannya berkunang-kunang. Dunia seperti berputar.
Amir jatuh menelungkup di depan pondasi tugu. Tak bergerak lagi.
**
“Maaf, Indra, saya sudah mengambil keputusan. Mohon kamu mengerti.”
Serius wajah Ratih saat mengucapkan kalimat itu, meyakinkan Indra bahwa kehendaknya tidak bisa dirubah lagi.
“Maaf, Bu, saya tidak mengerti kenapa pembangunan tugu itu harus Ibu hentikan hanya karena Pak Hasan dan Pak Amir meninggal?” Indra juga serius menyanggah.
Lekat tatapan pemuda itu ke wajah cucu Kasman yang duduk terpisah meja darinya. Sejenak ruang tamu rumah Ratih hening karena tak ada yang bersuara.
“Mungkin pikiranku tidak masuk akal, atau kolot,” ucap Ratih beberapa saat kemudian. “Tapi inilah keyakinanku saat ini, dan tak bisa kupungkiri. Aku cemas dengan kejadian beruntun meninggalnya dua orang tukang, jangan-jangan ini pertanda bahwa ada hal di luar nalar yang melarang tugu itu dibangun di tempat itu.”
Ada nada ragu dalam luncuran kalimat perempuan itu. Tapi ujungnya tetap memperdengarkan tekanan, yang menyiratkan ia memaksakan kemantapan pendiriannya.
Indra menyeringai. Ekspresinya menjelaskan bahwa ia menganggap lucu pemikiran Ratih.
“Jadi Ibu menganggap kematian kedua tukang itu akibat ulah makhluk halus penunggu alun-alun? Duh, kok bisa begitu pemikiran Ibu, ya?” Tawa singkat Indra mengiringi ucapannya.
Muka Ratih memerah, tersinggung. “Jangan tertawa begitu!” hentaknya. “Kalaupun aneh atau lucu, tak berarti kamu bisa menertawai pandanganku! Dan ingat, kamu harus menjaga sikapmu di depanku. Memangnya kamu itu siapa? Kamu itu suruhanku!”
Sekarang wajah Indra yang merah padam. Bentakan wanita kaya itu menghantam harga dirinya. Tapi ia tak berani juga untuk membalas. Kenyataannya memang benar bahwa sejauh ini dirinya adalah orang suruhan Ratih. Orang suruhan untuk mengendalikan proses pembangunan tugu. Orang suruhan yang diberi upah atas tugas dan tanggung jawabnya itu.
Ratih bangkit dari duduk dengan gerakan gegas, sebagai cara menunjukkan bahwa ia sangat tidak senang pada Indra.
“Kuharap sisa uang pembangunan tugu yang masih ada padamu segera kamu kembalikan.” Itu kata terakhirnya sebelum meninggalkan tamunya.
Indra tak punya pilihan selain meninggalkan rumah Ratih. Pikirannya kacau. Sungguh kacau!
Bagaimana tidak, menggagas pembangunan tugu itu adalah siasat yang ia buat demi mengambil hati keluarga besar Kasman. Ia hendak menunjukkan diri sebagai orang yang cerdas, yang memiliki ide cemerlang, yang bisa diandalkan oleh keluarga itu, yang kemudian akan membuatnya dimintai tolong melakukan lebih banyak hal lagi, yang menjadikan ia berjasa besar pada mereka. Ia berharap hal itu akan menjadi jalan membangun kedekatan dengan Ratih dan cucu-cucu lain almarhum Kasman. Lalu kedekatan itu bisa ia manfaatkan untuk mendapatkan dukungan atas rencana besarnya. Ya rencana besarnya, yang masih diam-diam: mencalonkan diri dalam pilkades tiga tahun yang akan datang.
Indra yakin dukungan kekuatan-kekuatan keluarga Kasman, pengaruhnya di tengah masyarakat serta kekayaan yang mereka miliki adalah potensi besar yang bisa membuatnya melangkah mulus menjadi kepala desa. Kini, dengan keputusan Ratih menghentikan pembangunan tugu berarti kandaslah rencana dan harapan Indra.
Pemuda itu melarikan motornya ke alun-alun. Sampai di sana jelang petang. Angin dingin segera menyergap. Indra duduk lesu di atas rumput, di sisi utara.
Ke tengah alun-alun matanya menumbuk pondasi tugu yang terbengkalai. Seekor anjing melompat ke atasnya dan santai membuang kotoran. Sosok Hasan, Amir dan Ratih melintas di matanya.
“Sial!” umpatnya pada sosok-sosok itu.
Ia marah, marah kepada Hasan dan Amir yang harus mati dan menjadi pangkal persoalan yang kini ia hadapi. Marah pula ia pada Ratih yang kolot, yang karena mempertahankan kekolotan menjadi egois menghancurkan mimpi dirinya.
“Orang desa bodoh, yang tak sadar pikirannya telah dipermainkan tahayul! Apa hubungannya maut dengan jin, dengan hantu?” seru hati Indra membara.
Ingin ia teriak, teriak memanggil hantu-hantu penunggu alun-alun itu. Ingin dilihatnya, agar bisa membuktikan sendiri bahwa hantu itu ada, bahwa penunggu-penunggu khayalan Ratih itu benar-benar bercokol di tempat pembangunan tugu.
“Ah, dasar orang desa tidak sekolah!” gumamnya dengan batin digerayangi rasa putus asa. “Kalau saja sekolah tinggi ia tidak akan percaya kebohongan-kebohongan macam ini.”
Sarjana ilmu komunikasi jebolan universitas di kota propinsi itu meremas-remas rambutnya. Kepalanya pusing memikirkan langkah yang harus ia ambil untuk membuat pembangunan tugu itu tidak dihentikan, agar Ratih, atau cucu-cucu Kasman yang lain berubah pikiran.
Terang sinar lampu pinggir alun-alun menampakkan raut wajahnya yang menyimpan beban sangat berat.
Ia bangkit, berjalan gontai ke arah motor dan siap pergi, dengan kepala yang terus berputar, merancang-rancang rencana agar bisa mempengaruhi kembali Ratih. Ia tahu watak perempuan itu, yang tidak mungkin diajak kompromi jika hanya dengan cara-cara biasa.
Mesin motor ia nyalakan dan melihat ke depan. Detik itu pandangannya menumbuk sebuah rumah semi permanen bercat kuning di tepi selatan alun-alun.
Tak jadi ia menarik gas. Ia dan motornya diam di tempat. Pandangannya terus tertuju ke arah rumah itu, rumah Syamsun, seseorang yang beberapa tahun lalu menjadi buah bibir warga karena mengaku bermimpi mendapat cahaya dari langit, lalu tiba-tiba ia merasa mampu melakukan banyak hal yang bersifat metafisik. Banyak orang mendatanginya saat itu, untuk berbagai keperluan, seperti pengobatan, penerawangan nasib, menangani jodoh dan sebagainya. Sekarang sudah sepi pelanggan.
Indra memerhatikan sekitar. Lengang. Karena masih dalam suasana magrib maka tak ada orang yang keluar rumah.
Indra menyalakan mesin motornya dan menarik gasnya pelan-pelan. Diarahkannya ke rumah itu.
Tiba-tiba ia merasa lega.
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.