DENPASAR, Balipolitika.com- Terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta menegaskan bahwa dirinya sudah melakukan perawatan terbaik sesuai prosedur saat datang ke rumah pasien atas nama Jamie Irena Rayer-Keet untuk melakukan pemeriksaan on call; bahkan membawa ambulans lengkap dengan peralatan medis.
Hal tersebut tersaji dalam sidang perkara pidana yang dipimpin oleh I Putu Agus Adi Antara, S.H., M.H, dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, 18 Februari 2025.
Terdakwa dr. Shillea Olimpia Melyta didampingi kuasa hukumnya dari Gendo Law Office, yakni I Wayan “Gendo” Suardana, S.H., M.H, I Wayan Adi Sumiarta, S.H., M.Kn, dan I Kadek Ari Pebriarta, S.H.
Perkara ini bermula pada hari Rabu, 14 Februari 2024 saat terdakwa bersama perawat membawa ambulans lengkap dengan peralatannya datang ke rumah korban Jamie Irena Rayer-Keet untuk melakukan pemeriksaan on call.
Terdakwa sudah menawarkan agar korban dirujuk ke rumah sakit dan melakukan lab tes, namun permintaan tersebut ditolak oleh korban karena ia mengerang kesakitan.
Terdakwa memberikan injeksi obat antrain dan injeksi tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pihak korban.
Usai diinjeksi obat, muncul alergi akibat dari pemberian obat tersebut dan langsung ditangani oleh terdakwa dengan memberikan injeksi obat anti alergi ke korban.
Setelah menginjeksikan obat alergi, terdakwa memastikan keadaan korban sehat dan baik-baik saja, baru terdakwa meninggalkan rumah korban.
Saat persidangan berlangsung, penuntut umum bertanya ke terdakwa, “Apakah dokter dalam penanganan korban bisa menuruti keinginan korban apabila mengetahui hal tersebut mengancam nyawanya?”
Terdakwa menjawab bahwa pasien menolak untuk dirujuk, tetapi tidak menolak untuk dirawat di rumah dengan kondisi seperti itu.
Terdakwa menegaskan bahwa sebagai dokter ia harus mengupayakan pengobatan yang terbaik untuk korban.
“Saya menjunjung tinggi etika dokter dan sumpah dokter untuk tetap menangani korban,” tegas terdakwa.
Atas pertanyaan dari penuntut umum tersebut, Gendo bertanya ke terdakwa, “Apakah kondisi saat terdakwa menangani korban, situasinya mengancam korban? Atau sebenarnya dampak resiko medis yang bisa ditanggulangi dan tidak mengancam nyawa?”
Terdakwa menjawab saat ia datang ke rumah korban, bukan merupakan kasus emergency.
Untuk kasus ini sama sekali tidak mengancam nyawa karena pasien bisa dirawat di rumah dan tidak harus dirawat inap.
Ketika ditinggal dan korban menolak rujuk ke rumah sakit, kondisinya stabil, bahkan usai melakukan pengobatan, terdakwa diantar oleh suami korban keluar dari rumah korban.
“Kasus ini tidak mengancam nyawa,” jelas terdakwa.
Selanjutnya, Gendo bertanya apakah pasien ini menolak dirujuk ke rumah sakit atau juga menolak terdakwa tangani?
Dijawab oleh terdakwa bahwa korban menolak dirujuk ke rumah sakit, namun korban tetap meminta dilakukan pengobatan di rumah, seperti meminta obat anti nyeri.
Selanjutnya, Gendo kembali melanjutkan pertanyaanya apakah pemberian antrain tersebut merupakan satu pengobatan yang berdasarkan analisis pengetahuan medis alias bukan sekedar menuruti keinginan pasien?
Ditegaskan oleh terdakwa bahwa selaku dokter ia sudah melakukan analisis terhadap korban sebelumnya dan semua yang dilakukan terdakwa adalah berdasarkan pengetahuan sebagai dokter.
Terdakwa juga membawa ambulans karena berdasarkan pengalamannya di beberapa kasus, kondisi seperti korban tersebut biasanya dirujuk ke rumah sakit.
“Kita membawa ambulans untuk berjaga-jaga seandainya pasien dirujuk,” jawab terdakwa.
Gendo kembali mempertegas pertanyaannya, “Apakah tindakan Saudari tersebut sudah sesuai standar pelayanan medis?”
Tegas dijawab terdakwa, “Sudah sesuai pelayanan medis.”
Atas keterangan tersebut, Gendo bertanya kepada terdakwa, apakah obat-obatan yang terdakwa injeksi semuanya sudah dijelaskan ke korban dak keluarganya?
Tegas dijawab sudah dan Gendo melanjutkan pertanyaan, “Apakah pernah perawat yang saudari ajak ke rumah korban tersebut memberikan estimasi biaya yang di dalam estimasi biaya tersebut ada penjelasan secara rinci mengenai obat-obat yang akan diinjeksi?”
Terdakwa menjawab bahwa benar ada estimasi biaya yang memuat secara rinci obat-obatan yang akan diinjeksi dan sebelum injeksi, estimasi biaya tersebut sudah dibaca dan ditandatangani oleh Alain David Dick-Keet selaku suami korban.
“Benar,” tegas terdakwa.
“Dari pemeriksaan terdakwa tersebut, senyatanya menunjukkan bahwa terdakwa sudah melakukan pengobatan terbaik kepada korban sesuai aturan, kode etik, dan sumpah profesinya sehingga tidak ada malpraktek yang dilakukan oleh terdakwa,” tegas Gendo dikonfirmasi seusai sidang berakhir. (bp/ken)