DENPASAR, Balipolitika.com- Sepak terjang PT Bali Turtle Island Development (BTID) di Pulau Serangan menarik perhatian banyak pihak.
Pihak-pihak tersebut antara lain Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali, Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali.
Penegasan ini disampaikan dalam diskusi yang digelar di Denpasar baru-baru ini oleh Made Krisna Bokis Dinata selaku Direktur Eksekutif Walhi Bali.
Ungkap Bokis pada bulan September 2023 dalam berbagai media santer diberitakan bahwa PT BTID Tengah melakukan pengajuan terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) di Perairan Serangan yang diklaim untuk pemeliharaan dan pengamanan pantai, sehingga dapat memadukan darat dan laut menjadi satu kesatuan yang kompak untuk kegiatan usaha pariwisata.
Pengajuan ini mendapat respons dan kekhawatiran dari masyarakat Serangan sebab selama ini akses masyarakat serta nelayan sangat dibatasi oleh PT BTID.
Tegas Bokis mengacu kepada pernyataan Jro Bendesa Desa Adat Serangan I Made Sedana pada saat pembahasan pengajuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari pihak PT BTID di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Selasa 12 September 2023 tercatat bahwa hingga saat waktu itu masyarakat masih dipersulit aksesnya menuju pantai di bagian lain Pulau Serangan yang dikuasai PT BTID.
Untuk mengakses masuk ke lahan KEK Kura Kura Bali tersebut warga dihadang di portal dan dimintai KTP.
“Selanjutnya informasi yang kami dapatkan dari media Nusa Bali tertanggal terbit 8 Oktober 2023 yang dikutip dari https://www.nusabali.com/berita/152118/pulau-serangan-dalam-sorotanaturan-pemanfaatan-pulau-pulau-kecil-di-indonesia terkait Peta pengajuan yang dilakukan oleh pihak PT BTID untuk mengajukan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kami menilai upaya pengajuan PKKPRL oleh PT BTID merupakan upaya pemblokiran perairan atau penguasaan perairan Serangan oleh PT BTID,” ungkap Bokis dalam diskusi di bilangan Kota Denpasar baru-baru ini.
Mengacu peta yang disalin kembali terkait Indikasi Pengajuan KKPRL oleh pihak PT BTID, Bokis menjabarkan terdapat perairan yang dibagi atas 4 blok yang dimohonkan oleh PT BTID kepada KKP terkait PKKPRL, di antaranya Blok A seluas 107,05 hektare, Blok B 40,77 hektare, Blok C 18,89 hektare, dan Blok D 78,30 hektare yang jika ditotal seluruhnya mencapai 245,1 hektare.
“Meski hal ini mendapat kritik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan, berdasarkan pemberitaan Nusa Bali tertanggal 8 Oktober 2023 menyebutkan bahwa Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP, Muhammad Yusuf menegaskan bahwa investor tak dapat menguasai satu pulau secara utuh. Hal ini tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019, Pasal 10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016. Padahal, sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil, paling sedikit 30 persen dari luas pulau dikuasai langsung oleh negara, paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan pelaku usaha, dan pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau. Menurut hemat kami, langkah konkret yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam melindungi akses nelayan terhadap perairan Serangan ialah dengan tidak menerbitkan PKKPRL yang diajukan oleh PT BTID,” tegas Bokis.
Sederhananya, PKKPRL merupakan sebuah izin yang diberikan untuk pemanfaatan ruang laut oleh kementerian kepada penanggung jawab usaha yang otomatis ruang-ruang laut tersebut akan dikelola oleh pengusaha yang mengajukan izin.
“Sehingga, apabila PT BTID telah mendapatkan izin pengelolaan berupa PKKPRL ini untuk dikelola menjadi suatu usaha, tentu PT BTID berhak melakukan upaya apa saja dalam mengelola maupun mengamankan wilayah yang terkonfirmasi atau yang tercantum dalam PKKPRL tersebut,” beber Bokis.
“Apabila PT BTID memiliki izin PKKPRL tentu akan menjadi legitimasi yang sah dan legal bagi PT BTID untuk melakukan privatisasi perairan di Serangan dan tak menutup kemungkinan dilakukan dengan bentuk seperti memagari perairan dengan pelampung maupun membatasi akses nelayan yang masuk ke wilayah PKKPRL tersebut atau bahkan kami duga juga dapat terjerat dengan kasus hukum sehingga akses masyarakat Serangan dalam mengakses perairan Serangan akan semakin menyempit,” imbuh Bokis. (bp/ken)