TUJUH TAHUN menyesaki ruang publik, konsep segara kerthi [sagara kreti] ‘upaya memuliakan laut’—satu dari enam sad kreti ‘enam upaya pemuliaan’—tampaknya belum merasuk sebagai laku hidup orang Bali pun dihormati orang-orang yang menjejakkan kakinya di tanah Bali. Beragam persoalan yang berkaitan dengan kualitas serta tata kelola ekosistem laut Bali seolah jalan di tempat. Persoalan-persoalan lama—intrusi air laut, abrasi pantai, sampah musiman, hingga kesejahteraan nelayan—belum teratasi dengan optimal, sementara perkara lain terus bermunculan.
Mari kita tengok dua bulan ke belakang di tahun 2025. Sampai pertengahan bulan Februari tahun ini, sejumlah isu tentang laut dan pesisir Bali telah muncul dan menyita perhatian publik. Dua di antaranya berkaitan langsung dengan sektor pariwisata.
Awal Januari 2025 lalu, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali, dan Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali, melayangkan kritik terhadap pembangunan The Standard Hotel & Oakwood Premiere Berawa Beach. Hotel ini terletak di kawasan Pantai Berawa, Badung.
Kritik atas pembangunan hotel tersebut didasarkan pada ketidakjelasan sumber air dan kelengkapan dokumen Formulir Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) hotel yang dicanangkan memiliki 601 kamar itu. Ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif pada lingkungan Bali, khususnya terkait ketercukupan air.
Beberapa hari kemudian, ketika republik ini dibuat riuh oleh isu pagar laut Tangerang, di Bali isu serupa pun muncul. Warganet dihebohkan dengan unggahan video pelampung pembatas laut di salah satu titik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali. Video itu semakin memperpanas berita hilangnya Pantai Serangan dalam aplikasi Google Maps yang berubah menjadi Pantai Kura Kura Bali.
Masyarakat setempat menilai jaring pembatas laut yang dipasang Pengelola KEK Kura Kura Bali telah merenggut ruang gerak mereka dalam menjala rezeki di laut titipan leluhur. Isu ini selanjutnya memantik reaksi tiga orang legislator Bali: I Nyoman Parta (Komisi X DPR RI), I Nyoman Adi Wiryatama (Komisi IV DPR RI), dan Ni Luh Djelantik (DPD RI). Jajaran PT Bali Turtle Island Development (BTID) selaku Pengelola KEK Kura Kura Bali dipertemukan dengan masyarakat Serangan. Hasilnya sebagian tuntutan masyarakat dipenuhi pengelola saat itu juga, sementara beberapa lainnya masih ditangguhkan.
Lautan Narasi Laut
Lautan (sagara) dalam sistem pemikiran orang Bali merupakan elemen alam yang sangat penting. Imaji tentang laut selalu disandingkan dengan gunung (giri). Apabila gunung dipandang sebagai ayah semesta, maka laut adalah ibunya. Apabila gunung berdiri kokoh mengajarkan ketegaran, maka laut memperlihatkan cara untuk meruwat kegelisahan. Kedua elemen alam ini sama-sama menyimpan energi kehidupan. Keduanya pun sama-sama menyimpan kearifan.
Mari kita coba telusuri narasi tentang laut dalam pustaka-pustaka warisan tetua. Sebagai permulaan, kita coba periksa Adiparwa–jilid pertama Astadasaparwa. Teks yang berasal dari era Mataram Kuno ini menuturkan peran laut sebagai sumber kehidupan abadi. Konon, dahulu kala bangsa dewa dan raksasa telah bekerja sama mengaduk Lautan Susu menggunakan Gunung Mandara. Hasil kerja keras itu melahirkan sejumlah benda dan makhluk surgawi, tetapi yang utama adalah air keabadian (tirta amreta). Air keabadian itulah yang diminum bangsa dewa sehingga mereka bisa melampaui kematian.
Pustaka-pustaka purana dan babad menyajikan wacana serupa. Teks-teks jenis ini menjelaskan bagaimana semesta terbentuk dari gumpalan telur semesta (andabhuwana) yang kemudian retak dan meledak. Pascaledakan kosmis itu, lahirlah lautan mahaluas dengan benua dan pulau-pulau terapung. Kelak pulau-pulai itu akan mengental dan “tiang-tiang peradaban manusia” ditancapkan oleh sang dewa tertinggi.
Secara spesifik, teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul menegaskan kewajiban manusia untuk melakukan upaya-upaya penghormatan pada lautan. Konon, di tengah laut terdapat sebuah pulau bernama Pulau Manji. Sebuah meru emas bertingkat sebelas dengan puncak yang berhias permata menyala-nyala berdiri megah di pulau ini. Meru itu merupakan istana Bhatara Dalem Tengahing Sagara yang memiliki otoritas untuk memulai, memelihara, dan mengakhiri kehidupan.
Bhatara Dalem Tengahing Sagara merupakan pemimpin bangsa mlecchā, bhūtakala, pisacca, dhanāwa, dhanuja wil, daitya raksasa, dan kingkara. Siapa mereka? Mereka tampaknya simbol elemen-elemen dasar alam semesta. Mungkin wujud fisik mereka adalah tanah, air, angin, suhu, cahaya, kelembaban, dan sebagainya. Oleh karena itulah tetua Bali mengingatkan kita menata etik agar tidak mencemari bumi, juga waspada terhadap perubahan fisik alam.
Respons terhadap perubahan sifat alam oleh tetua kita diwujudkan melalui praktik ritual. Kepekaan atas perubahan unsur-unsur alam itu dapat menghindarkan manusia dari bencana. Jika manusia paham dengan pola perubahan alam, tidak ada bencana yang perlu ditakuti, pun ketika anggaran mitigasi bencana disunat negara.
Ritual yang direkomendasi Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul dalam menyikapi perubahan alam antara lain berupa macaru, tawur pakeludan, hingga labuh gentuh. Ritual-ritual itu hendaknya digelar pada Sasih Kanem (bulan keenam tahun Saka/kisaran Desember), Kawulu (bulan kedelapan tahun Saka/kisaran Februari), Kasanga (bulan kesembilan tahun Saka/kisaran Maret), dan Kadasa (bulan kesepuluh tahun Saka/kisaran April). Semuanya adalah bulan-bulan puncak musim hujan yang acapkali diliputi bencana. Saat itulah ritual digelar, agar manusia awas.
Selain memaparkan entitas Bhatara Dalem Tengahing Segara, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul secara tegas mengungkap konsep Dewata Sad Kreti Loka. Konsep ini terdiri atas giri kreti ‘pemuliaan gunung’, wana kreti ‘pemuliaan hutan’, ranu kreti ‘pemuliaan danau’, swi kreti ‘pemuliaan sawah’, sagara kreti ‘pemuliaan laut’, dan jagat kreti ‘pemuliaan semesta’.
Pemegang otoritas sagara kreti ialah putra Bhatara Paremeswara yang bergelar Hyang Sandhijaya. Dalem Sakenan yang terletak di Gili Serangan—lokus yang masyarakat lokalnya sedang merasa tergencet pemilik modal–adalah tempat-Nya bersetana. Hyang Sandhijaya memiliki otoritas dalam menanggalkan segala dosa dan kotor yang menjangkiti ruang dan waktu.
Saya kira ini sebuah paradoks. Meskipun ditegaskan susastra sebagai tempat mahasuci pemuliaan laut, situasi di Serangan saat ini justru sungsang. Ini pertanda kesucian laut Bali telah jebol dilahap pemodal, bahkan hingga ke inti-intinya.
Kegagalan krama ngarep Serangan dalam mempertahankan ruang hidup, kewibawaan, serta kemerdekaannya adalah cermin ketaklukan orang Bali dalam mempertahankan tanah airnya. Takluk artinya terjajah dan terjarah. Kuasa telah hilang, tiada lagi kemerdekaan menentukan hidup sendiri. Jika tidak melawan, muaranya adalah kehilangan seluruh kesatuan hidup: jiwa dan raga. Namun, orang Bali umumnya tidak akan membiarkan kemerdekaannya runtuh. Jika harga diri jatuh, perlawanan akan dilakukan sampai puputan.
Laku Sagara
Manusia Bali pada prinsipnya mengakui kuasa alam semesta atas kehidupannya. Oleh karena itu, manusia secara naluriah cenderung meniru karakter alam. Satu di antaranya meniru karakter lautan.
Orang yang lahir pada Minggu Paing, Senin Wage, Selasa Umanis, Jumat Kliwon, atau Sabtu Pon menurut horoskop Bali disebut berwatak wisesa sagara. Wisesa sagara artinya ciri-ciri unggul yang berkaitan dengan lautan.
Konon, orang-orang yang lahir pada hari-hari tersebut memiliki sifat laksana samudera. Mereka adalah orang-orang yang pengampun, perasaannya dalam, budinya lurus, dan hatinya ikhlas. Selain itu, wawasan dan pengaruhnya juga luas, di samping memiliki prinsip hidup yang teguh.
Namun, perlu dicatat. Setenang-tenang laut, di dalamnya ada arus bawah yang siap menggulung apapun. Dalam luasnya samudera tersimpan ratuan palung dan ribuan ikan pemangsa. Maka, berhati-hatilah memancing di samudera lepas. Bencana bisa datang kapan saja.
Itulah alasan leluhur kita berpesan dalam Ramayana melalui tokoh Bhatara Baruna. Ketika Rama berkeinginan mengeringkan laut, Baruna hadir mengingatkan bahwa apa yang dilakukan sang awatara akan menimbulkan bencana alam dan kemanusiaan.
Selanjutnya, agar tercipta tata kelola negara yang ideal, para pemimpin juga disarankan merenungi sifat-sifat lautan. Gaya kepemimpinan ideal ini bernama baruna brata. Konsep dasarnya adalah meneladani karakter Dewa Baruna sebagai entitas yang berkuasa atas samudera.
Pemimpin dengan karakter baruna brata tidak harus lahir sebagai anak pantai. Pemimpin dari desa-desa di pegunungan, yang tidak pernah melihat laut dan bahkan tidak tahu cara berenang, bisa berlaku seperti Dewa Baruna. Pemimpin berkarakter baruna brata adalah mereka yang memimpin rakyat dengan welas-asih, mengayomi, serta demokratis. Wawasannya harus luas dengan hati tegar, tetapi tegas. Segala kebijakan dibuat semata-mata untuk membebaskan rakyat dari duka lara, bukan untuk melanggengkan jalan politik sanak keluarga.
Siapa Penerima Manfaat?
Warisan tetua Bali jelas mewanti-wanti keturunannya untuk memperlakukan laut secara bijak. Sayangnya, banyak di antara kita tidak paham, abai, bahkan justru sengaja berperan aktif mengeksploitasinya tanpa berpegang pada etika.
Tindakan yang eksploitatif acapkali memang dilakukan dengan memberangus dimensi etik serta dampak jangka panjang di depan. Apabila menemui guncangan, upaya-upaya regulatif tidak jarang ditempuh untuk memuluskan rencana pemanfaatan. Dalil-dalil yang dijadikan landasan umumnya sama: demi peningkatan taraf hidup dan kemaslahatan rakyat.
Nyatanya, rakyat sering kali tidak menerima manfaat sesuai harapan. Banyak proyek yang konon hadir untuk menstimulus ekonomi rakyat, yang akan menyerap tenaga kerja lokal, akan berakhir pada kekecewaan. Tenaga kerja yang terserap hanya ditempatkan pada level tenaga kasar dengan imbalan UMR. Sebab, posisi di perusahaan dipertimbangan sesuai keahlian kerja.
Belakangan ini orang Bali sejatinya sudah terlalu sering mendengar isu privatisasi pantai yang membatasi hak-hak warga lokal atas pantai titipan leluhur. Bahkan pada beberapa kasus, komunitas adat harus mengalah mencari tempat alternatif yang masih memungkinkan untuk melaksanakan ritual melasti.
Belum lama ini, ritual di pantai yang harusnya berjalan khusuk mendadak meletup-letup akibat kembang api berdentum di samping sulinggih yang sedang mengantarkan puja. Ketika peristiwa semacam itu viral di ruang publik, isunya akan diredam dengan permohonan maaf secara terbuka. Jika diperlukan, akan diikuti dengan pelaksanaan ritual maguru piduka. Setelah maguru piduka, masalah dianggap selesai, bahkan dianggap tidak pernah terjadi.
Lalu, apakah kasus di Berawa dan Serangan akan bernasib sama? Cukupkah dengan maguru piduka? Lalu, bagaimana dengan persoalan intrusi air laut, abrasi pantai, atau kiriman sampah tahunan? Guru piduka macam apa yang perlu orang Bali gelar untuk meredam marah Ibu Sagara?
=====
*I Ketut Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) adalah dosen Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana. Pemuda asli Batur ini sejak akhir 2019 mengemban tugas spiritual-kultural sebagai jero penyarikan duuran (sekretaris adat) di Pura Ulun Danu Batur/Desa Adat Batur. Tertarik pada isu-isu kebudayaan dan ekologi. Menulis buku Ekologisme Batur (2020), buku antologi puisi Bali modern Ulun Danu (2019), dan sejumlah buku karya bersama.