KATOLIK dan Kristen (Protestan) merupakan dua dari enam agama yang diakui di Indonesia. Kedua agama ini sudah hampir ada di setiap daerah di Indonesia, sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan kehadirannya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kedua agama ini digolongkan secara berbeda pada identitas agama di beberapa dokumen negara seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk), terlepas dari kenyataan bahwa Katolik dan Protestan sebenarnya mengimani Tuhan dan berpedoman pada kitab suci yang sama. Hal ini pun seringkali menjadi alasan timbulnya rasa penasaran dari kalangan masyarakat, khususnya masyarakat non-Kristen terkait apa sebenarnya perbedaan antara keduanya.
Sepengalaman penulis bertanya pada teman-teman non-Kristen di lingkungan kampus, kalaupun dapat menyebutkan, hanya beberapa perbedaan mendasar saja. Misalnya, kalau berbicara terkait pemimpin ibadah, sudah cukup akrab bahwa Katolik dipimpin oleh seorang pastor dan Protestan dipimpin oleh seorang pendeta. Soal yang lain, mayoritas teman-teman penulis juga sudah tahu bahwa seorang Katolik akan membuat tanda salib sebelum berdoa, sementara seorang Protestan tidak.
Perlu digarisbawahi bahwa dua perbedaan yang telah disebutkan teman penulis di atas memanglah benar adanya. Namun, hanya sekedar mengetahui perbedaan pemimpin dalam peribadatan dan simbol-simbol dalam berdoa tentunya tidaklah cukup jika ingin memahami perbedaan inti antara Katolik dan Protestan. Sebab, di balik beberapa perbedaan ‘kulit luar’ yang sudah banyak diketahui masyarakat Indonesia, ada sebuah perbedaan inti yang mendasari lahirnya banyak aspek pembeda antar kedua agama tersebut.
Artikel ini penulis buat untuk menggali perihal apa sebenarnya perbedaan inti antara keyakinan yang dianut oleh Umat Katolik dan Umat Protestan dengan pendekatan sejarah dan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam, terkhususnya masyarakat non-Kristen.
Pertama-tama, sejarah kekristenan sendiri berawal pada abad pertama masehi, yang di mana setelah serangkaian peristiwa kehidupan Yesus Kristus mulai dari kelahiran hingga kenaikan-Nya ke surga, para murid Yesus yang disebut rasul pergi menyebarkan pesan kekristenan ke seluruh dunia, dan mula-mula di kawasan Kekaisaran Romawi.
Di kekaisaran ini, komunitas Umat Kristen tumbuh di tengah situasi yang sulit, di mana terdapat banyak penganiayaan oleh pemerintah dan konflik internal antar Umat Kristen terkait penafsiran ajaran. Namun begitu, kekristenan mulai berkembang pesat setelah Kaisar Konstantinus memutuskan untuk memeluk agama Kristen pada abad ke-4 dan menjadikannya agama resmi Kekaisaran Romawi. Peristiwa ini pun menandai awal dari pengaruh besar gereja dalam sejarah dunia.
Kekristenan pada awal masehi sesungguhnya merupakan komunitas gereja yang disebut “Katolik” (Yunani = katholikos) yang berarti universal. Di mana istilah ini berarti iman Kristen ditujukan bagi semua orang tanpa memandang latar belakang. Adapun beriman Kristen berarti memusatkan imannya pada ajaran Yesus Kristus dan para rasul.
Namun, seiring semakin menyebarnya kekristenan ke berbagai wilayah dengan bermacam kondisi politik, sosial, dan ekonomi, perbedaan dalam proses pemahaman doktrin serta tradisi gereja akibat faktor budaya dan bahasa setempat tak dapat dielakkan.
Ketidaksepahaman ini bahkan mengakibatkan ketegangan antara Umat Katolik, khususnya antara yang ada di kawasan barat dan timur selama ratusan tahun. Puncaknya, Kekristenan Katolik pecah melalui peristiwa yang dikenal dengan Skisma Timur-Barat, menciptakan dua blok utama yakni Gereja Barat (sekarang Gereja Katolik Roma) yang mencakup sebagian besar wilayah Eropa Barat, Utara, serta Selatan dan Gereja Timur (Gereja Ortodoks) yang berpusat di wilayah Konstantinopel (sekarang Istanbul), di Eropa Timur, Timur Laut, dan wilayah Timur Tengah. Setelah peristiwa yang juga disebut Skisma Besar tahun 1054 itu, baik Gereja Barat maupun Gereja Timur semakin meluas dan mengembangkan tradisi, teologi, dan praktiknya masing-masing secara terpisah.
Setelah ratusan tahun kekristenan berkembang di tengah dua blok besar, pada abad ke-16, Gereja Katolik Roma menghadapi peristiwa yang sangat penting dalam sejarah kekristenan. Tepatnya pada 31 Oktober 1517, seorang Imam Katolik bernama Martin Luther mempublikasikan 95 tesis berisi berbagai protes yang berdasar pada keresahannya terhadap beberapa praktik Gereja Katolik lokal yang dinilai korup dan telah menyalahgunakan kekuasaan, terutama terkait adanya penjualan surat indulgensi untuk pembangunan gereja.
Selain melayangkan protes, Luther dalam tulisannya juga turut memperkenalkan gagasan bahwa keselamatan dapat diperoleh manusia hanya melalui iman yang sejati (Sola Fide) dan sumber kebenaran yang seharusnya dipegang teguh seorang Kristen hanyalah kitab suci (Sola Scriptura).
Kedua gagasan ini dianggap tidak sejalan dengan pandangan Katolik dan akhirnya pada tahun 1521, karena Luther enggan menarik tulisan-tulisannya, ia diekskomunikasikan (diasingkan) dari persekutuan Katolik Roma lewat bulla kepausan Exsurge Domine yang dikeluarkan Paus Leo X.
Setelah ia diasingkan, Luther berlanjut menyebarkan iman Kristen sesuai pandangannya dan akhirnya membentuk denominasi kekristenan baru yang di Indonesia saat ini kita kenal dengan sebutan Kristen Protestan.
Dari gagasan Martin Luther yang sudah penulis paparkan sebelumnya, benang merah perbedaan antara Katolik dan Protestan sesungguhnya adalah sumber kebenaran atau otoritas yang mereka anut. Intinya adalah tentang apa saja yang pantas untuk dijadikan pedoman dan yang dianggap benar.
Bagi Gereja Katolik, otoritas iman kristiani tidak hanya bersumber dari kitab suci, melainkan juga dari tradisi suci dan magisterium gereja. Tradisi suci dapat digambarkan sebagai ajaran-ajaran yang tidak tertulis dalam kitab suci, namun telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman para rasul. Kendati tidak tertulis, ajaran ini tetap dianggap oleh Gereja Katolik memiliki otoritas yang setara dengan kitab suci.
Sementara, magisterium merupakan suatu struktur atau hierarki jabatan dalam Gereja Katolik yang terdiri dari paus, kardinal, uskup, dan pastor yang bertugas menafsirkan dan mengajarkan kitab suci serta tradisi suci dengan bimbingan roh kudus demi terjaganya keaslian ajaran gereja dan meluruskan kesalahan penafsiran yang dapat memicu penyimpangan dari kebenaran iman yang telah diwariskan.
Di sisi lain, Protestan menjunjung prinsip Sola Scriptura yang berarti bahwa otoritas satu-satunya dalam iman dan ajaran Kristen hanya berasal dari kitab suci itu sendiri. Paham ini menjelaskan bahwa kitab suci saja sudah dianggap cukup dan lengkap dalam membimbing umat kristiani dalam kehidupan iman dan moral mereka. Protestan menolak penambahan otoritas atau sumber kebenaran lain jika tidak memiliki dasar yang kuat berdasarkan isi kitab suci, termasuk di dalamnya tradisi suci dan magisterium tadi.
Kristen Protestan juga berpendapat bahwa setiap individu berhak membaca dan menafsirkan kitab suci dengan bimbingan roh kudus, tanpa perlu bergantung pada otoritas selain kitab suci. Inilah sebabnya gereja-gereja Protestan seringkali tidak memiliki struktur kepemimpinan yang terpusat selayaknya paus dalam Katolik, melainkan cenderung lebih tersebar, dengan melibatkan kontribusi aktif dari jemaat (anggota gereja) dan pemimpin gereja tersebut. Bahkan, jemaat di Gereja Protestan juga kerap diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan gereja, sehingga Gereja Protestan cenderung fleksibel dan berbasis komunitas lokal.
Perbedaan dalam sumber otoritas juga berdampak besar pada sakramen yang diakui oleh kedua aliran tersebut. Sakramen sendiri bisa diartikan sebagai ritual atau tindakan suci menggunakan berbagai simbol fisik dalam Kristen yang dianggap sebagai cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan serta menerima rahmat-Nya.
Gereja Katolik mengakui ada tujuh sakramen (baptisan, ekaristi, krisma, pengakuan dosa, pernikahan, tahbisan, dan pengurapan orang sakit), di mana sebagian besarnya berakar dari tradisi suci dan telah dijaga oleh magisterium gereja hingga saat ini.
Sementara itu, kebanyakan Gereja Protestan hanya mengakui dua sakramen, yakni baptisan dan ekaristi, sebab hanya dua sakramen itulah yang dianggap secara langsung diperintahkan oleh Yesus Kristus dalam kitab suci. Selain perbedaan dalam hal jumlah, pandangan Protestan terhadap sakramen juga cenderung lebih sederhana. Dibuktikan dengan ritualnya yang tidak serumit Katolik, dan pelaksanaannya dapat dipimpin oleh pendeta maupun pemimpin gereja yang tidak terikat dengan hierarki seperti yang ada pada Gereja Katolik.
Perbedaan pandangan terhadap sakramen mencerminkan bagaimana Katolik dan Protestan memahami hubungan antara iman, simbol rohani, dan praktik keagamaan. Ketika Katolik mempercayai bahwa Tuhan melimpahkan rahmat-Nya pada umat lewat pelaksanaan sakramen, Protestan lebih melihat sakramen sebagai sarana pengekspresian iman seorang Kristen yang timbul dari hubungan pribadinya dengan Tuhan. Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa peribadatan Katolik sering kali lebih kaya akan simbol dan ritualistik, termasuk dalam hal membuat tanda salib sebelum berdoa, sementara ibadat Protestan lebih sederhana dan berfokus pada khotbah atau pengajaran nilai-nilai kristiani dari kitab suci.
Dalam kehidupan beragama umat katolik, tradisi suci memainkan peran penting sehingga melahirkan berbagai devosi (sikap bakti) yang ditujukan untuk Bunda Maria dan para santo. Devosi ini dapat diwujudkan melalui doa, patung, maupun perayaan khusus sebagai bentuk penghormatan, bukan penyembahan, karena umat katolik percaya bahwa sosok Bunda Maria dan para santo adalah teladan iman yang dapat membantu mendoakan mereka kepada Tuhan. Sementara, Gereja Protestan tidak menerima praktik ini dikarenakan berpandangan bahwa sebuah doa sesungguhnya merupakan hubungan sakral dan pribadi kepada Tuhan dengan sosok Yesus Kristus seoranglah yang pantas dijadikan perantara.
Perbedaan yang tak kalah penting, terlihat dari bagaimana keduanya memahami konsep “keselamatan”, yang pada konteks kekristenan dapat dimaknai sesimpel ini: cara bagaimana seorang Kristen bisa dekat dengan Tuhan dan masuk surga. Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan akan diperoleh dari perpaduan antara iman kepada Tuhan dan perbuatan-perbuatan baik. Artinya, seseorang tidak cukup hanya percaya, tetapi juga perlu menunjukkan imannya melalui tindakan, seperti membantu sesama, berdoa, dan menjalani sakramen. Sebaliknya, Gereja Protestan menekankan bahwa keselamatan hanya diperoleh semata-mata dari iman yang sejati kepada Yesus Kristus (Sola Fide). Dalam pandangan ini, protestan tidak memposisikan perbuatan baik sebagai syarat wajib dalam melengkapi kriteria untuk memperoleh “keselamatan”, sebab perbuatan baik itu sendiri dianggap sebagai buah dari iman Kristiani yang sejati tadi. Artinya, cukup dengan iman yang sejati, seorang manusia tentu akan melaksanakan perbuatan-perbuatan baik.
Meringkas beberapa paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa pembeda inti yang menjadi pemicu banyaknya perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan ialah sumber kebenaran atau otoritas yang masing-masing anut. Gereja Katolik, dengan otoritas yang berasal dari kitab suci, tradisi suci, dan magisterium, memiliki struktur gereja yang terpusat, ritualistik, dan kaya akan tradisi. Hal ini tercermin dalam praktik keagamaan yang melibatkan berbagai sakramen, devosi, serta kepercayaan pada pentingnya perbuatan baik untuk mencapai keselamatan.
Di sisi lain, Gereja Protestan yang hanya berpegang pada kitab suci (Sola Scriptura), relatif lebih sederhana dalam struktur dan praktik. Fokus Gereja Protestan ialah membangun hubungan langsung dengan Tuhan melalui iman, tanpa bergantung pada tradisi maupun hierarki tertentu. Perbedaan ini, selain membentuk cara mereka beribadah, juga mempengaruhi cara mereka memahami Tuhan, iman, dan peran manusia dalam kehidupan kristiani.
Kendati terselimuti perbedaan yang tak kasat mata, penting bagi kita untuk memahami betul bahwa katolik dan protestan sesungguhnya berakar dari wujud iman yang sama, yakni iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Perbedaan-perbedaan yang ada, sesungguhnya mencerminkan betapa beragamnya cara manusia untuk mencari dan memahami hubungannya sebagai manusia dengan Tuhan. Sebagai manusia Indonesia yang berideologi Pancasila, menanggapi fenomena ini, kita diajak untuk lebih menyadari akan kekompleksan dan menghormati tradisi keagamaan yang ada di sekitar kita. Sebab, bagaimana pun tradisi keagamaan itu, pastilah lahir dari usaha tulus manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menghargai perbedaan tradisi keagamaan bukan hanya soal toleransi umat beragama, tetapi juga bentuk pengakuan bahwa iman yang dijalankan dalam berbagai bentuk itu sesungguhnya merupakan bagian dari perjalanan spiritual setiap individu. Ini adalah sebuah perjalanan yang merdeka. Perjalanan yang tidak terikat oleh dorongan apapun, kecuali oleh iman.
Dengan hadirnya artikel ini, besar harapan penulis untuk dapat mengedukasi pembaca, baik dari kalangan Kristen maupun non-Kristen agar dapat memahami dengan lebih baik intisari perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan, tanpa melupakan kesamaan akar iman yang menyatukan keduanya.
Perbedaan bukanlah penghalang, tetapi bukti kekayaan peradaban manusia sebagai makhluk budaya yang telah berkembang selama berabad-abad.
Bagi Umat Kristen, pemahaman ini dapat menjadi bekal agar lebih menghargai keyakinan saudara seimannya, terlepas dari tradisi keagamaan yang berbeda satu sama lain.
Sementara untuk pembaca non-Kristen, penulis berharap artikel ini dapat menjadi pintu masuk untuk menambah wawasan lebih dalam terkait keberagaman dalam Kekristenan Katolik dan Protestan, yang di balik perbedaannya, tetap berbagi tujuan yang sama yakni untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan membagikan kasih-Nya pada dunia.
Dengan saling memahami, bukan tidak mungkin kita dapat menyulap sebuah perbedaan yang biasanya dihindari sebab kerap menimbulkan perseteruan, menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam memperkaya pandangan kita tentang iman dan kehidupan. (***)