DENPASAR, Balipolitika.com– Permohonan maaf berulang kali disampaikan Manajemen PT Kreasi Bali Prima sebagai perusahaan sektor industri pariwisata dan hiburan yang menaungi Atlas Super Club, Bali, Indonesia.
Selain menggelar upacara Guru Piduka di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Berawa Jalan Pantai Berawa, Banjar Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung, Bali, bertepatan dengan hari turunnya ilmu pengetahuan atau Hari Suci Saraswati, Sabtu 8 Februari 2025, pada Senin, 10 Februari 2025 pihak Atlas Super Club kembali hadir membawa “Surat Pernyataan Maaf” kepada umat Hindu dari petinggi Atlas ke Sekretariat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali.
Kisruh ini dipicu tayangan simbol menyerupai Dewa Siwa di Atlas Super Club, Tibubeneng, Badung, 30 Januari 2025 lalu di mana ini membuat kemarahan luar biasa hingga DPRD Bali merekomendasikan penutupan paksa Atlas Super Club.
Menyikapi kondisi itu, mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang kini aktif sebagai pemerhati sosial, pendiri WMK (Warih Mula Keto), dan pendiri PMK (Poros Muda Kemanusiaan), I Putu Agus Yudiawan, SH. geleng-geleng kepala.
Salah satu pemicu keheranannya adalah sikap sebagian besar orang Bali yang ternyata lupa bahwa Ida Sang Hyang Widhi bersifat Acintya atau tidak terbayangkan.
Maka, jadi sangat janggal saat di satu sisi Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Bali tidak terbayangkan, di sisi lain masyarakat Pulau Dewata justru marah dengan simbol menyerupai Dewa Siwa di Atlas Super Club yang sosoknya kerap ditayangkan di salah satu televisi swasta nasional.
“Di sinilah perbedaan nyata dan mempertegas garis demarkasi antara PHDI Pemurnian dalam menegakkan ajaran Hindu Dresta Bali-Nusantara dan PHDI Kolaborasi; sungguh berkolaborasi dengan ajaran sampradaya (aliran transnasional asing, red),” ucap I Putu Agus Yudiawan.
Jelasnya, peristiwa Atlas Super Club justru membuka mata telinga umat, khususnya generasi muda bahwa sungguh sangat berbeda keyakinan Hindustan (tradisi tanah India) mewujudkan gambar, patung, binatang, dan manusia sebagai simbol Tuhan.
Sedangkan Hindu Bali menyimbolisasikan Tuhan dengan arah mata angin, warna, aksara, dan senjata yang dikenal dengan Dewa Ta Nawa Sanga (Tuhan itu bersinar 9).
“Dalam pewayangan (bayangan bukan wujud sebenarnya, red) Bhatara Siwa memegang Padma bukan Tri Sula. Karena leluhur kita paham betul bahwa Tuhan itu tak terpikirkan, tak terwujud, Acintya. Dengan demikian, semakin pasti ke depan akan muncul organisasi Majelis Hindu Dresta Bali-Nusantara dan organisasi Majelis Hindu Global (antitesis Dresta Bali-Nusantara),” ungkap Putu Agus Yudiawan.
Atas peristiwa di Atlas Super Club, ia menyebut kini tinggal umat Hindu nusantara menentukan pilihan apakah mau menyembah wujud manusia yang dituhankan atau menyembah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak berwujud atau acintya.
“Yening sampun nuturang igama, agama, lan ugama jeg beloge adokang laksanayang tetamian leluhur sesidan sidan pastika neked sampun ring tetujon hidup. Sungguh-sungguh akan ada satu zaman di mana kepalsuan merajalela menjadi kebenaran,” tegas Putu Agus Yudiawan. (bp/ken)