Ekphrasis 17
Tebing. Dipangkas
keserakahan. Hulu
sungai tanpa hilir.
Tebing. Bagian
berwarna dikikis. Putih
tulang. Lebih
dihargai dari kulit berwarna, dikelupas
mercuri pemutih. Image
created, inferiority complex. Putih
adalah super. Padahal
putih juga tengkorak. Pucat
si mati. Menggali
kubur bagi dirinya.
Tebing. Stana dewa. Ungu
aura spiritual. Terkikis,
hangus. Gempuran
ombak bertubi-tubi. Rudal
menghujam bumi
menghanguskan manusia di atasnya.
Ada yang melayang
di udara. Berkendaraan
layang. Film
kerap menyajikan. Prototipe
sudah diluncurkan.
Masa depan atau
masa suram? Burung
dipaksa terbang
pohon-pohon terbakar.
Jauh di atas, ozon
memberi isyarat
duka dan luka. Awan
hitam tak beranjak. Nasib
malang si miskin
enggan menjauh.
Tebing. Pertahanan
pulau-pulau. Benteng
dalam pertempuran. Kikis
menuju habis
dilumat ketamakan.
(Puisi Tan Lioe Ie, distimulir lukisan Mahendra Mangku)
Membaca “Ekphrasis 17” karya Tan Lioe Ie, saya merasa seperti sedang menyaksikan seseorang berdiri di depan lukisan, menunjuk-nunjuk dengan cemas, lalu berbicara dengan kalimat-kalimat pendek seolah takut kehabisan napas. Tidak ada sapaan manis atau pembukaan yang elegan, puisi ini langsung menampar dengan kata-kata patah:
“Tebing. Dipangkas keserakahan.”
Baru dua kata, kita sudah dihajar dengan stakato—teknik puisi yang bergerak dalam hentakan cepat, tanpa basa-basi. Bukan puisi yang mengalir lembut seperti sungai, tapi lebih seperti seseorang yang menceritakan tragedi dengan kalimat pendek karena terlalu marah untuk berkata panjang. Ini seperti ketika anak kecil datang dengan napas tersengal dan berkata, “Bu! Jatuh! Sakit! Luka! Plester mana?!” Tidak ada penjelasan berbelit, hanya ledakan informasi yang harus segera disampaikan sebelum terlambat.
Bentuk ini mengingatkan saya pada cara seorang pelukis menggoreskan kuasnya dalam satu sapuan cepat, meninggalkan jejak yang lebih berbicara dibanding deskripsi panjang. Seperti lukisan ekspresionisme yang kasar, puisi ini juga tidak rapi. Tapi justru di situ letak kekuatannya—tidak ada yang ditutup-tutupi, semua langsung dihantamkan ke wajah pembaca.
Lalu kita berhadapan dengan ekphrasis, teknik di mana puisi berbicara tentang seni rupa. Biasanya, ekphrasis muncul dalam puisi yang memuja sebuah lukisan atau patung, seperti penyair yang terkesima melihat Monalisa dan menuliskan puisi panjang tentang senyumnya yang misterius. Tapi Tan Lioe Ie tidak sedang mengagumi. Ia tidak berdiri di depan lukisan dengan kagum, ia seperti orang yang melihat sesuatu yang mengganggunya, lalu mencoret-coret di buku catatan, mencoba mencerna kekacauan yang terpampang di hadapannya.
Baginya, lukisan bukan sekadar objek yang diam di dinding galeri. Ia hidup, bergerak, mengeluarkan suara. Bahkan, ia bisa membangkitkan ingatan tentang penjajahan warna kulit, kehancuran ekologi, dan kerakusan yang tak ada habisnya. Ada pukulan keras dalam baris:
“Putih adalah super. Padahal putih juga tengkorak.”
Saya berhenti sejenak. Kata-kata ini terasa seperti bisikan yang menusuk di telinga, seperti ada seseorang yang mengingatkan bahwa standar kecantikan, kemurnian, bahkan superioritas, semuanya bisa berujung pada kematian. Putih yang dulu diagung-agungkan, yang dikaitkan dengan kebersihan dan kesempurnaan, ternyata juga adalah warna tulang, warna pucat si mati.
Dan di situlah puisi ini semakin terasa seperti seni yang tidak hanya berdialog dengan lukisan, tetapi juga menamparnya, mendebatnya, bahkan menantangnya untuk bicara lebih keras.
Sebagai penyair yang kebetulan juga gemar membenturkan disiplin seni, saya merasa bahwa inilah esensi dari ekphrasis yang sesungguhnya—bukan hanya puisi yang memuja karya seni, tetapi puisi yang berkelahi dengannya. Seni tidak boleh hanya saling diam. Ia harus saling merespons, bersinergi, dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Lukisan bisa menjadi puisi, puisi bisa menjadi bunyi, bunyi bisa menjadi gerak. Tidak ada batas, tidak ada dinding, tidak ada aturan kaku yang harus ditaati.
Maka membaca “Ekphrasis 17”, saya tidak hanya merasa sedang melihat sebuah lukisan, tetapi juga mendengar suaranya, merasakan gesekan catnya, bahkan mencium baunya yang terbakar. Jika seni harus berbicara, maka puisi ini adalah caranya memaksa kita untuk mendengarkan.
BIODATA
Ikhsan Risfandi lahir di Jakarta, 1985. Ia sempat menjajal peruntungan sebagai gitaris Jazz kemudian banting gitar untuk fokus menempuh kepenulisan puisi Jess & Beatawi, sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara terbit pada 2019. Trivia Kampung Sawah terbit pada November 2024 di Velodrom sebagai bukunya yang kedua.