BADUNG, Balipolitika.com- Dalam kurun 15 tahun terakhir, tercatat Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (DPP Peradi) memberhentikan secara tetap alias memecat sebanyak 600 orang advokat akibat pelanggaran kode etik.
Angka 600 orang tersebut berasal dari rata-rata 1.950 pengaduan setiap tahun di mana sekitar 20 persen kasus berujung pada skorsing dan 20 persen lainnya berakhir dengan pemberhentian tetap alias pemecatan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) periode 2020-2025, Otto Hasibuan serangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia bertema “Penguatan Peradi sebagai State Organ dan Satu-satunya Organisasi Advokat Indonesia” di InterContinental Bali Resort, Jimbaran, Jumat, 6 Desember 2024.
Otto Hasibuan yang juga menjabat Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan dalam Kabinet Merah Putih di bawah pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka itu menegaskan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) berkomitmen menegakkan kode etik profesi advokat.
“Peradi terus mendorong masyarakat untuk berani melaporkan advokat yang dianggap melanggar kode etik,” jelas Otto Hasibuan.
Ia menyebut Peradi sebagai organisasi profesi advokat satu-satuna di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Karenanya Peradi memiliki kewenangan untuk mendidik, mengangkat, mengawasi, hingga menjatuhkan sanksi kepada para advokat yang melanggar kode etik profesi.
Ketua Dewan Kehormatan Peradi, Adardam Achyar menegaskan bahwa penegakan kode etik dilakukan secara objektif tanpa pandang bulu, termasuk terhadap advokat bergelar guru besar alias profesor sekalipun.
“Langkah tegas ini bertujuan memastikan advokat yang melanggar aturan tidak lagi merugikan masyarakat yang mencari keadilan,” tegasnya. (bp/ken)