“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” – Lord Acton
Republik Karang Kadempel (RK2) adalah negeri dengan sejarah panjang yang penuh gelombang. Negeri ini pernah berada di bawah kekuasaan militer yang membungkam suara rakyat, lalu bergeser ke era reformasi yang menjanjikan demokrasi, dan kini menghadapi dilema baru: apakah kekuatan militer harus kembali ke dalam sistem pemerintahan untuk menumpas mafia migas dan oligarki korup? Presiden Bagong, dalam ambisi heroiknya, berhadapan dengan kekuatan besar yang mengakar. Namun, apakah mengundang militer ke dalam sistem politik adalah solusi yang bijak, atau justru membuka jalan bagi otoritarianisme baru?
Dilema ini mengingatkan kita pada dua wajah kekuasaan: stabilitas versus kebebasan. Thomas Hobbes dalam Leviathan pernah berpendapat bahwa manusia pada dasarnya berada dalam kondisi bellum omnium contra omnes—perang semua melawan semua. Negara hadir untuk mengendalikan kekacauan itu. Namun, dalam sejarah, penguasa yang berusaha “mengendalikan” terlalu keras justru seringkali melahirkan tirani. Sebaliknya, demokrasi yang terlalu longgar pun rentan terhadap dekadensi dan korupsi. Inilah yang dialami Republik Karang Kadempel (RK2) saat ini: reformasi telah membuka kebebasan, tetapi juga membiarkan para oligark dan koruptor tumbuh subur seperti parasit di tubuh bangsa.
Sejarah Dunia telah menunjukkan bahwa melibatkan militer dalam politik adalah pedang bermata dua. Amerika Latin pada abad ke-20 memberikan pelajaran pahit—dari kediktatoran Pinochet di Chile hingga junta militer di Argentina. Semua rezim ini awalnya berdiri dengan alasan “menyelamatkan negara” dari ancaman internal, tetapi pada akhirnya, mereka menjadi mesin represi yang brutal. Di Indonesia sendiri, era Orde Baru dengan Dwi Fungsi ABRI-nya menjadi contoh bagaimana militer yang masuk ke dalam sistem politik bisa berujung pada kontrol yang menekan, membungkam kebebasan, dan menjadikan kekuasaan sebagai alat kepentingan segelintir elit.
Namun, konteks Republik Karang Kadempel (RK2) saat ini tentu berbeda. Dunia telah berubah. Jika dulu rakyat takut berbicara karena represi, kini informasi bergerak cepat dan segala bentuk kesewenang-wenangan lebih sulit untuk disembunyikan. Kita berada dalam era digital di mana kejahatan negara bisa dengan cepat menjadi isu internasional. Tapi apakah keterbukaan informasi cukup untuk menjamin bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan?
Filsuf politik Carl Schmitt pernah mengatakan bahwa esensi politik adalah kedaulatan, dan kedaulatan sejati terletak pada pihak yang mampu menentukan “keadaan darurat”. Dalam kondisi Republik Karang Kadempel (RK2), Presiden Bagong menghadapi dilema eksistensial: jika ia membiarkan sistem berjalan apa adanya, ia bisa menjadi korban konspirasi oligarki yang menjeratnya dalam jebakan politik dan ekonomi. Namun, jika ia memanggil militer untuk merapat ke dalam kekuasaan, ia membuka pintu bagi kemungkinan lahirnya pemerintahan dengan tangan besi. Dalam bahasa Schmitt, Presiden Bagong sedang bermain di garis batas antara demokrasi dan otoritarianisme.
Lantas, apakah demokrasi yang ada saat ini cukup kuat untuk menghadapi serangan dari dalam? Jika kita kembali ke pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract, kekuatan negara seharusnya terletak pada volonté générale—kehendak umum yang mencerminkan aspirasi rakyat. Tetapi di Republik Karang Kadempel (RK2), kehendak umum telah terdistorsi oleh dominasi elite oligarki. Dengan kata lain, rakyat tidak lagi memiliki kendali atas nasib mereka sendiri. Maka, apakah membawa militer kembali ke dalam pemerintahan justru adalah bentuk perwujudan kehendak rakyat dalam upaya merebut kembali kedaulatan mereka?
Di sisi lain, sejarah juga mengajarkan bahwa kekuasaan militer tidak selalu identik dengan represi. Revolusi Meiji di Jepang menunjukkan bagaimana militer dapat berperan dalam modernisasi negara, menghapus korupsi, dan membangun institusi yang kuat. Namun, perbedaannya terletak pada komitmen terhadap reformasi yang bersifat struktural, bukan hanya taktis. Jika Presiden Bagong hanya menggunakan militer sebagai alat untuk membersihkan musuh-musuh politiknya, maka ia hanya akan mengulangi siklus tirani yang lama.
Kita pun dihadapkan pada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah Republik Karang Kadempel (RK2) butuh revolusi atau reformasi? Jika kita melihat pengalaman negara-negara seperti Prancis pasca-Revolusi 1789 atau Rusia pasca-Revolusi Bolshevik, kita bisa belajar bahwa revolusi tanpa arah yang jelas sering kali berujung pada kekacauan baru. Sebaliknya, reformasi yang terlalu lambat bisa membuat negara semakin terpuruk dalam cengkeraman elite yang menggerogoti sistem dari dalam.
Maka, mungkin pertanyaan yang lebih penting bukanlah apakah militer harus masuk atau tidak ke dalam pemerintahan, tetapi bagaimana memastikan bahwa kekuasaan—baik sipil maupun militer—tidak disalahgunakan. Montesquieu dalam The Spirit of Laws menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan sebagai kunci untuk mencegah tirani. Jika Presiden Bagong ingin menggunakan militer, maka harus ada mekanisme kontrol yang ketat agar mereka tidak bertransformasi menjadi alat represi baru.
Republik Karang Kadempel (RK2) saat ini sedang berada di persimpangan jalan sejarah. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan yang panjang. Apakah kita akan menyaksikan kebangkitan kembali tangan besi yang mengendalikan negara, atau justru sebuah langkah menuju sistem yang lebih adil? Apakah kekuatan yang dibutuhkan Presiden Bagong untuk menumpas korupsi akan menjadi kekuatan yang juga menindas rakyat?
Seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, tetapi tanpa keberanian, kalian hanya hewan yang terpelajar.”
Keberanian seperti apa yang harus diambil oleh Republik Karang Kadempel (RK2)?
Jika sejarah telah mengajarkan kita sesuatu, maka itu adalah bahwa kekuasaan selalu bersifat sementara, tetapi dampaknya bisa bertahan lintas generasi. Hari ini, Republik Karang Kadempel (RK2) berdiri di tepi jurang pilihan yang akan menentukan nasibnya dalam dekade-dekade mendatang. Di satu sisi, ada janji ketertiban yang datang bersama militer—sebuah harapan bahwa kekuatan yang disiplin dan loyal pada negara dapat memberantas korupsi yang telah lama menjadi kanker dalam sistem. Di sisi lain, ada bayangan kelam masa lalu yang mengingatkan bahwa ketika militer terlalu dalam masuk ke ranah sipil, kebebasan bisa berubah menjadi ilusi, dan rakyat kembali menjadi subjek kekuasaan yang tak tersentuh oleh kehendaknya sendiri.
Tetapi, mungkin pertanyaan yang lebih mendalam bukanlah soal memilih antara sipil atau militer. Sebab, di balik semua ini, ada hal yang lebih fundamental: bagaimana sebuah bangsa menentukan nasibnya sendiri? Apakah sebuah negara memerlukan tangan besi untuk bisa mencapai ketertiban? Ataukah rakyatnya sendiri yang harus bangkit dan mengambil alih tanggung jawab atas kebusukan yang telah menjangkiti negeri mereka?
Sejarawan Yuval Noah Harari dalam Sapiens pernah menulis bahwa peradaban manusia dibangun bukan hanya oleh institusi politik, tetapi oleh imajinasi kolektif. Kita percaya pada konsep negara, hukum, dan keadilan karena kita sepakat untuk mempercayainya. Tetapi apa yang terjadi ketika kepercayaan itu hancur? Apakah Republik Karang Kadempel (RK2) masih memiliki narasi besar yang bisa menyatukan rakyatnya dalam satu visi yang lebih besar dari sekadar perang antara oligarki dan militer?
Barangkali inilah esensi dari dilema yang dihadapi Presiden Bagong: apakah yang sedang ia bangun hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan pertempuran politik saat ini, atau ia benar-benar sedang merancang masa depan bagi negerinya? Sebab jika pilihan ini hanya tentang taktik jangka pendek, maka siklus sejarah akan kembali berulang. Akan ada lagi yang bangkit untuk menggulingkan yang berkuasa, dan roda tirani serta korupsi akan terus berputar tanpa akhir.
Maka, pertanyaan sesungguhnya bukanlah “siapa yang berkuasa?”, tetapi “bagaimana kekuasaan itu dikendalikan?” Seandainya Republik Karang Kadempel (RK2) memilih melibatkan militer, bagaimana memastikan bahwa mereka tetap tunduk pada hukum dan bukan pada hasrat untuk terus berkuasa? Jika kekuatan sipil tetap dijaga, bagaimana cara membersihkan mereka dari infiltrasi oligarki yang telah mengakar begitu dalam?
Lebih jauh lagi, pertanyaan ini bukan hanya untuk Republik Karang Kadempel (RK2). Ini adalah pertanyaan universal bagi setiap bangsa yang ingin maju: apakah kita benar-benar ingin bebas, ataukah kita justru merindukan sosok kuat yang bisa mengatur segalanya bagi kita?
Seperti kata Albert Camus dalam The Rebel: “The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion.”
Mungkin, sebelum bertanya siapa yang harus memimpin Republik Karang Kadempel (RK2), rakyatnya harus terlebih dahulu bertanya kepada diri sendiri: apakah mereka sudah benar-benar siap untuk menjadi bangsa yang bebas? Ataukah mereka, tanpa sadar, hanya sedang menunggu penguasa baru dengan wajah yang berbeda tetapi esensi yang sama.
*Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media lokal dan nasional.