Zürich, Rabu malam di musim gugur, 9 Oktober 2024, membuat orang berjalan lebih kencang menepi ke kafe-kafe. Suhu udara di kota Zürich 13 derajat Celsius. Tak terkecuali orang-orang mulai memasuki gedung Literatur Haus yang berada di tepi sungai Limmat. Saya membayar tiket masuk Sfr 22 (Sekitar Rp 400.000) pada acara Laksmi Pamuntjak akan membacakan karyanya.
Di pintu masuk ada meja menjajakan buku-buku Laksmi dalam bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Saya membeli novel Herbstkind (The Fall Baby) dan The Birdwoman`s Palate (Versi bahasa Indonesia; Aruna dan Lidahnya). Kedua novel itu saya masukkan ransel dan menyatu dengan novel Amba yang saya bawa dari rumah. Amba saya beli pada tahun 2015, menjelang Indonesia terpilih sebagai negeri tamu pada Frankfurt Book-Fair.
Ketika saya duduk sambil membuka novel-novel baru itu, keluar dari ruangan beberapa orang dan salah satunya Laksmi. Ia menoleh ke arah saya dan berucap, “Mas Sigit, nanti bertemu ya.”
Kesan saya, Laksmi ramah. Sejujurnya saya tak mengenal nama Laksmi Pamuntjak. Tapi ketika saya datang di acara Frankfurt Book-Fair pada Oktober 2015, saya lihat ia sedang membacakan karyanya.
Sebulan silam, seorang di Zürich mengirimkan saya flyer Laksmi Pamuntjak akan membacakan karyanya di Literatur Haus. Saya meminta nomor whatsapp Laksmi dari Anton Kurnia. Saya tahu Anton sebulan lalu sedang mengikuti program residensi di kota Heidelberg, Jerman. Keduanya membacakan karya mereka pada sebuah acara sastra di Heidelberg. Lewat Anton, saya coba menyapa Laksmi sebelum menghadiri acaranya.
Sapaan saya lewat whatsapp disambut hangat. Sedianya saya ingin mengajaknya ke Yayasan James Joyce di Zürich. Tempat saya menyuntuki novel Ulysses selama 15 tahun. Rupanya saya baca di koran Neue Zürcher Zeitung pada 3 Oktober 2024 disebutkan, Laksmi mengikuti program residensi selama enam bulan di kota Zürich. Pada hari ketiga tiba di Zürich, ia sudah mengunjungi Yayasan James Joyce dan bertemu Joycean terkenal Fritz Senn. Dalam hati; hebat Laksmi.
Saya memasuki ruangan tempat Laksmi akan membaca karyanya. Di depan panggung tampak tiga meja kecil dan ruangan baru terisi hadirin sampai deret ketiga dari depan.
Dua puluh dua tahun silam, tepatnya pada 3 Juni 2002, Pramoedya Ananta Toer membacakan novel Bumi Manusia dengan ditemani penerjemahnya Birgitte Schneebeli di tempat ini. Waktu itu saya datang dan menyaksikan, ruangan penuh, bahkan banyak yang duduk di lantai.
Kali ini saya duduk di tengah pada deret ke empat dari depan. Tak lama, kenalan baru saya Peter Gisi, penulis novel Mutters Krieg (Ibu di Zaman Perang) dari kota Basel datang dan memang sudah janjian. Ia duduk di samping kanan saya.
Perlahan hadirin memenuhi ruangan, Di depan saya ada perempuan Swiss berbicara sedikit bahasa Indonesia. Separuh ruangan sudah penuh. Tampak ada 5 orang Indonesia masuk ruangan. Satu di antaranya adalah Tom, teman saya asal Bima, tapi domisili di Zürich.
Pintu ditutup, Laksmi masuk dan duduk di kursi tengah, sementara Pablo Assandri, moderator di sebelah kanan dan Ariela Sarbacher, pembaca karya dalam bahasa Jerman duduk di sisi kiri.
Pablo membuka acara dalam bahasa Jerman dan menjelaskan, bahwa Laksmi Pamuntjak, sastrawan Indonesia kali ini sedang mengikuti program residensi di kota Zürich selama enam bulan. Ia sekaligus mempromosikan kepada hadirin, bahwa sejak 14 tahun silam, tepatnya mulai tahun 2010 pemerintah kota Zürich telah memiliki program literasi baru yakni Writer in Residence. Sastrawan dari seluruh dunia diundang untuk menetap selama enam bulan di kota Zürich mengerjakan karyanya. Tahun ini beasiswa sastrawan diberikan kepada Laksmi Pamuntjak dari Indonesia.
Pablo mengakhiri keterangannya dan langsung beralih ke sosok Laksmi di sebelahnya. Ia sebut Laksmi Pamuntjak merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang mempunyai debut gemilang. Novelnya Alle Farben Rot (Amba) diperkenalkan pada Frankfurt Book-Fair 2015 serta mendapatkan apresiasi luas. Disusul karya berikutnya berjudul Herbstkind (The Fall Baby) juga terbit dalam bahasa Jerman. Novel terakhir dalam bahasa Inggris berjudul The Birdwoman`s Palate (Aruna dan Lidahnya). Selain tiga novelnya, Laksmi juga menulis buku kuliner yang menjadi Best Seller di Indonesia berjudul Jakarta Good Food Guide.
Sekarang moderator menanyakan dalam bahasa Inggris, “Bagaimana Laksmi sebagai warga pendatang tinggal di kota Zürich?” Laksmi memaparkan, dinamika kota ekonomi Zürich sangat cocok dengan dirinya. Ia pikir, Zürich akan sunyi seperti kota Eropa lain. Ternyata tidak. Di apartemen, tempat ia tinggal masih mendengarkan suara anak dari tetangga dan anak-anak berangkat sekolah. Termasuk ada suara renovasi bangunan. Dibandingkan dengan Jakarta, tentu berbeda. Pada saat ia menyebut Jakarta, banyak hadirin yang tertawa. Tempat tinggalnya di Zürich, hanya berjarak dua halte bus menuju Kunst Museum (Museum Seni).
Pablo menjelaskan kepada hadirin, sebetulnya Laksmi juga menulis buku puisi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Sambil memegang buku puisinya yang versi Inggris, ia tambahkan, “Sekarang ia akan membacakan puisinya dalam bahasa (ia tak menyebut bahasa Indonesia, hanya bahasa). Apakah di ruangan ini ada yang paham bahasa Indonesia?”
Seketika saya tunjuk jari sambil menoleh ke belakang, apa ada orang-orang Indonesia yang tunjuk jari seperti saya. Ternyata tak hanya orang-orang Indonesia yang angkat tangan, ada dua orang Swiss ikut tunjuk jari.
Laksmi bergaun hitam dengan rok warna abu-abu tipis mulai merapikan posisi duduknya, mulailah ia membacakan puisi dalam bahasa Indonesia.
Bisma Di Siang Terakhir
Suatu hari kulihat seorang lelaki terantuk-antuk melintasi padang
Matanya tetap saja merunduk
Seakan dalam badai yang menghimpun hujan itu
Setelah menerobos celah semak
Ia akan menemukan cahaya alit di rahim ibunya
Seekor burung terjun ke dalam liang di tanah yang kini gelap
Aku tak tahu rumah siapa? neraka siapa?
Tapi ada sesuatu pada lelaki itu yang tersentuh dalam-dalam
Seolah hanya dengan satu gerak tangan telah terhimpun kembali kepercayaan di seluruh hidupnya
Dan ia biarkan ujung anak panah perempuan itu terbang sendiri, menusuk.
Usai ia baca dengan ritme langsam dan separuh melankolis, tepuk tangan hadirin memenuhi ruangan. Laksmi melanjutkan membaca puisi yang sama dalam versi bahasa Inggris. Kali ini usai pembacaan, aplaus lebih keras. Bisa dipahami, hadirin lebih paham diksi-diksi puisi dalam bahasa Inggris, ketimbang bahasa Indonesia.
Pablo, nama khas berbahasa Spanyol ini, saya teringat Pablo Neruda beralih menanyakan kepada Laksmi tentang novel Amba. Laksmi menjelaskan, dalam melakukan riset mengunjungi Pulau Buru. Pulau yang berada di gugusan pulau Maluku untuk memenjarakan lawan politik rezim Soeharto. Laksmi berhasil mewawancarai beberapa saksi hidup yang masih bisa ditemui.
Beberapa penjelasan telah lewat, kini giliran Ariela Sarbacher, membacakan penggalan novel Amba dalam bahasa Jerman. Ada kalimat yang membuat hadirin ikut tertawa, yakni tentang Rosa Luxemburg ditemukan sudah meninggal di tepi sungai. Termasuk penyair marxist Brecht disinggung sedikit. Sekitar dua – tiga halaman ia baca dan pada titik pembacaan akhir, ia menuai tepuk tangan.
Laksmi lebih jauh menjelaskan, sebetulnya tokoh Bisma yang melek literasi barat, European educated itu menggambarkan sosok ayahnya sendiri. Bedanya ayahnya belajar arsitektur di Berlin, Bisma belajar kedokteran di Leipzig. Cerita ini juga menuai tawa hadirin terhadap perubahan jurusan dan nama kota.
Pablo mempersilakan hadirin bertanya. Pertanyaan datang dari orang Swiss yang duduk di deret depan, “Bagaimana respon pembaca di Indonesia pada novel Amba?”
Laksmi menjelaskan, ada pembaca yang mengira dirinya seorang komunis. Bahkan pada sesi tanya jawab di sebuah radio di Jakarta, Laskmi diserang oleh korban yang mengatakan orang tuanya dibunuh oleh orang komunis.
Ariela Sarbacher melanjutkan baca novel kedua berjudul Hebrstkind. Pembacaannya cukup menghayati, karena Ariela memang sebagai seniman baca teks.
Pablo menawarkan hadirin bertanya kembali. Ada dua penanya yang ingin tahu, seperti apa iklim sastra Indonesia; apakah berbau barat atau pengaruh lain? Laksmi mengaku dirinya banyak dipengaruhi pendidikan barat. Si penanya mengulangi lagi, maksudnya bagi penulis atau pembaca pada umumnya di Indonesia? Laksmi menjelaskan, bacaan sastra di Indonesia cukup terbuka dari mana saja. Penanya dari orang Indonesia, bernama Panji, lebih banyak menekankan ulang bahwa Romo Mangun Wijaya juga menulis karya terkait dengan ketimpangan ideologi ini.
Seorang ibu Swiss menanyakan, “Bagaimana dengan karya Pramoedya Ananta Toer?” Laksmi mengakui, Pramoedya sebagai maestro sastra Indonesia dan karya-karyanya dicintai pembacanya.
Acara segera ditutup dan tepuk tangan bergemuruh. Moderator memberitahu, di ruangan luar ada buku-buku karya Laksmi. Jika pembeli hendak meminta tanda tangan, dipersilakan.
Tak lama panorama ruangan berubah. Perlahan sebagian besar hadirin meninggalkan ruangan dan antrean panjang menanti autogram pada buku yang sudah di tangan. Tiga buku Laksmi saya sodorkan dan ia tulis:
Buat Mas Sigit,
Salam Hangat
Laksmi Pamuntjak, 09.10.2024
Di sela-sela itu ada hadirin Indonesia yang ingin berfoto bersama Laksmi. Menjelang selesai, Laksmi memberitahu saya, belum bisa bertemu bersama, karena ada salah satu panitia mengajaknya mampir ke rumahnya.
Untuk itu beberapa teman yang hendak ke kafe bersama Laksmi mojok sendiri di sebuah kafe di kawasan Niederdorf. Sedianya kami akan ajak Laksmi minum kopi di kafe Cabaret Voltaire. Tapi Laksmi lagi-lagi well-informed tentang peta literasi di Zürich. Ia sudah beberapa kali minum di kafe, tempat lahirnya aliran Dadaisme itu.
Kami berlima mencari kafe di belakang Cabaret Voltaire, karena ada yang bilang rasa kopi di Cabaret Voltaire kurang enak. Kami masuk sebuah kafe dan masing-masing mengenalkan diri. Saya hanya kenal Tom dan Peter Gisi, disusul ada kenalan baru bernama Edgar Keller dan Dana Rudinger. Edgar dan Dana pernah melakukan penelitian budaya di Indonesia dan mereka lancar berbahasa Indonesia. Dana, berasal dari Cheko dan menetap di Swiss.
Waktu semakin menua dan kami merencanakan pertemuan selanjutnya dengan Laksmi di rumah Christiana Streiff, seorang teman diaspora Indonesia di Zürich.***
BIODATA
Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti: Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan). Ia menetap di Swiss.