Ilustrasi: Gede Gunada
Boarding Pass dan Makam Baqi
kaki-kaki lelah menyeru rebah
tidak seperti roda-roda koper
bergegas mendahuluiku
menyusuri bandara sepagi itu
yang berselimut dingin
kecemasanku duduk bersandar
di baris depan kursi tunggu
boarding pass terlipat di saku
tidak seperti lelaki-lelaki lain
di sekelilingku
setiap darinya menggenggam
dengan tangan kanan atau kiri
tak satu pun mereka bersuara
di antara tubuh-tubuhnya berbalut
kain putih serupa ihram
hanya mata-mata itu bicara
pada sebuah penantian panjang
di baris-baris kursi belakangku
membincang petugas loket
yang tak kunjung datang
sesaat setelah datang
petugas itu pun memeriksa
boarding pass-boarding pass kami
sebelum memasuki garbarata
yang terlihat serupa jembatan amal
petugas menolak boarding pass-ku
sembari berkata, “Kenapa kaulipat
di saku, tidak di tangan kanan-kirimu?”
aku terdiam dan terpejam dibuatnya
“Pulanglah, perbaikilah amalmu!”, lanjutnya
Kubuka mataku perlahan setelahnya
aku terduduk di depan pintu makam baqi
tak ada petugas loket, lelaki-lelaki itu
dan barisan kursi tunggu
hanya gundukan pasir dan batu penanda
(Chris Triwarseno; Madinah, September 2022)
Puisi Chris Triwarseno tersebut akan membawa kita ke dalam perjalanan yang tidak hanya fisik, tetapi juga batiniah. Ia berbicara tentang bandara, boarding pass, dan koper-koper yang bergegas—semua elemen yang begitu akrab dalam kehidupan modern.
Namun, dalam lapisan terdalam puisi ini, ada pesan yang jauh lebih besar tentang manusia, amal, dan ketidakpastian hidup. Melalui simbol-simbol sederhana yang dibangun oleh puiti ini, kita dihadapkan pada pertanyaan: sudah siapkah kita untuk perjalanan terbesar dalam hidup?
Bayangkan diri Anda berada di bandara. Suasana sunyi di pagi buta, dingin yang menyelimuti, dan langkah-langkah cepat yang melintas di depan Anda. Seperti dalam puisi, kita semua pernah merasakan momen-momen menunggu, terkadang cemas, terkadang tidak sabar.
Namun, puisi ini membawa makna lebih dalam dari sekadar menunggu pesawat terbang. Sang penyair menggunakan simbol bandara ini sebagai perumpamaan dari kehidupan. Kita semua menunggu giliran kita—menunggu sebuah kepastian, tetapi dengan hati penuh kecemasan.
Kecemasan itu terasa ketika penyair menggambarkan “kaki-kaki lelah menyeru rebah,” simbol keletihan hidup, kelelahan eksistensial. Perjalanan di dunia ini sering kali membuat kita merasa tak siap, seolah ada begitu banyak yang belum kita lakukan atau perbaiki. Di sisi lain, ada “roda-roda koper” yang bergerak cepat, tak berhenti untuk menunggu.
Sebuah perbandingan yang halus tetapi menusuk: waktu terus berjalan, sementara kita masih terjebak dalam kebimbangan diri.
Dalam puisi ini, boarding pass bukan hanya tiket biasa. Ia berubah menjadi simbol spiritual yang merepresentasikan amal dan perbuatan kita. Ketika petugas loket menolak boarding pass sang pencerita dan menyuruhnya “pulanglah, perbaikilah amalmu”, pembaca diajak merenung. Apakah kehidupan kita sudah siap dihadapkan dengan ‘petugas’ itu? Apakah amal-amal kita cukup untuk membawa kita ke perjalanan berikutnya?
Di tengah masyarakat modern yang sibuk dengan rutinitas, boarding pass ini bisa menjadi pengingat yang penting.
Kita sering kali lupa bahwa di balik semua kesibukan—pekerjaan, keluarga, dan kehidupan sosial—ada perjalanan lain yang menunggu. Sebuah perjalanan spiritual yang tidak bisa hanya diurus dengan paspor dan visa, tetapi dengan amal baik dan ketulusan hati.
Petugas bandara dalam puisi ini menolak boarding pass aku lirik karena ia melipatnya di saku, bukan menggenggamnya di tangan. Sebuah detail kecil yang menegaskan pentingnya kesiapan. Tindakan sederhana seperti ini memiliki makna mendalam—bahwa kita harus selalu membawa amal baik kita dengan kesadaran penuh, tidak menyembunyikannya atau melupakannya di tengah perjalanan.
Petugas menyebut garbarata sebagai “jembatan amal”, bukan sekadar jembatan biasa yang menghubungkan bandara ke pesawat. Ini adalah jembatan yang menghubungkan dunia ini dengan akhirat.
Garbarata dalam puisi ini mengajak kita untuk memikirkan amal kita sebagai sesuatu yang harus aktif, disadari, dan dipegang erat. Setiap langkah dalam hidup adalah bagian dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih besar.
Amal menjadi penghubung antara duniawi dan spiritual. Dalam konteks ini, jembatan itu bukan hanya simbol bandara, tetapi juga pengingat tentang perjalanan akhir manusia menuju kehidupan setelah mati.
Momen pencerahan dalam puisi ini datang ketika pencerita menyadari bahwa ia tidak lagi berada di bandara, melainkan di depan Makam Baqi. Makam Baqi adalah tempat istimewa bagi umat Islam, tempat peristirahatan banyak tokoh penting dalam sejarah Islam.
Perubahan suasana ini menghadirkan ketenangan yang mendalam—tidak ada lagi keramaian bandara, tidak ada barisan kursi tunggu. Yang tersisa hanyalah kesunyian, pasir, dan batu-batu penanda.
Kesunyian di Makam Baqi memberikan kita kesempatan untuk merenung. Di tengah kesibukan dunia modern yang hiruk-pikuk, ada satu hal yang pasti: kita semua akan sampai pada titik di mana dunia ini tak lagi relevan. Tidak akan ada boarding pass, kursi tunggu, atau petugas loket. Yang ada hanyalah gundukan pasir, simbol keabadian yang sederhana, dan pertanyaan yang abadi: apakah kita sudah siap untuk menyeberangi jembatan itu?
Puisi ini dengan cerdas menggabungkan elemen-elemen modern seperti bandara dan boarding pass dengan konsep-konsep spiritual yang mendalam. Di balik kecemasan menunggu di bandara, ada kecemasan yang lebih besar tentang kehidupan.
Di balik boarding pass, ada refleksi tentang amal dan persiapan menuju akhirat. Puisi ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak hanya tentang perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perjalanan spiritual yang lebih dalam.
Chris Triwarseno berhasil membawa kita ke dalam situasi yang akrab bagi banyak orang—menunggu di bandara—dan memanfaatkannya untuk menggali pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang lebih besar. Di dunia yang semakin cepat dan penuh distraksi, puisi ini mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar kesibukan sehari-hari. Bahwa pada akhirnya, setiap orang akan sampai di jembatan amal mereka sendiri, dan kita semua harus siap untuk menyeberanginya.
Puisi ini menuntut kita untuk reflektif, mengajarkan kita bahwa setiap perjalanan fisik yang kita tempuh selalu memiliki paralel dengan perjalanan spiritual. Setiap langkah yang kita ambil di dunia ini adalah bagian dari persiapan menuju sesuatu yang lebih abadi, lebih penting. Dan mungkin, kita semua pada akhirnya akan menemukan diri kita, duduk dalam keheningan, di depan sebuah makam yang penuh kedamaian.
BIODATA
Dedy Tri Riyadi adalah mantan pekerja iklan, aktif menulis, pernah bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam), kini mukim di Tangerang Selatan.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.