TRAUMA: Ilustrasi kasus dugaan pengusiran terhadap 2 KK di Desa Adat Telaga, Busungbiu, Buleleng. (Sumber: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Sungguh malang nasib keluarga INS dan IMK (2 KK) korban kasepekang berujung pengusiran oleh oknum Bandesa di Desa Adat Telaga, Busungbiu, Buleleng, kini anak-anak mereka harus mengalami trauma mendalam akibat kekerasan verbal dalam prosesi kanorayang yang menimpa keluarga, diketahui kondisinya memprihatinkan pasca melapor ke Polda Bali, Rabu, 14 Agustus 2024 lalu.
Salah satu anggota tim pengacara INS dan IMK dari Gopta Law Firm, I Made Dwi Payana, SH., kepada wartawan sempat menjelaskan secara singkat kondisi psikologis yang dialami anak korban kasepekang Desa Adat Telaga, sangat ketakukan jika melihat ada kerumunan orang-orang sedang berkumpul karena trauma yang dialaminya cukup mendalam.
“Kami sangat menyayangkan kasepekan berujung kanorayang di Telaga, padahal secara fakta terduga penghinaan bukanlah I NS dan I MK, mereka adalah warga taat disana, bahkan I MK adalah anggota BPD di Desa setempat dan mangku juga disana,” singkatnya melalui sambungan telepon, Rabu, 21 Agustus 2024.
Menurutnya, pengusiran yang dilakukan para terlapor WBA, IKM, IMA, dan KA seharusnya tidak terjadi, mengingat ada upaya mediasi yang dilakukan oleh Majelis Desa Adat (MDA) Buleleng, sehingga terkesan ada kepentingan pribadi para pihak mendasari proses kanorayang (pengusiran) yang diduga dilakukan secara sepihak tanpa mengindahkan upaya hukum dari Majelis Desa Adat.
“Jika berbicara masalah hukum, mestinya Prajuru mendengarkan MDA yang sejatinya melarang atau mengupayakan mediasi. Bagaimana prosesi kasepekang dan kanorayang ini apakah diatur dalam awig-awig mereka. Jangan-jangan ini masalah sentimen pribadi yang berujung pengusiran,” lanjutnya.
Dwi Payana menduga ada sentimen pribadi antara para pihak terlapor dengan para korban kasepekang. Parahnya, pengusiran dilakukan para terlapor di tanah pribadi milik korban yang jelas telah bersertifikat dan dilindungi haknya sebagai Warga Negara Indonesia dalam Undang-Undang (UUD) 1945.
“Kami menilai ini ada unsur sentimen, kenapa orang yang tidak berbuat malah jadi pelaku dan kemudian diberikan sanksi. Apakah mereka yang berbuat itu memikirkan bagaimana anak-anak korban, cucu yang masih kecil trauma atau tidak? Bagaimana jika hal tersebut menimpa keluarga mereka. Perlu jernih melihat persoalan. Kasepekang itu ada batas waktunya, sanksinya denda atau guru piduka, kemudian jika mengarah kanorayang apabila yang kena kasepekan itu tidak mengindahkan hal tersebut barulah ada tahap kanorayang, kanorayang sendiri juga mesti mempertimbangkan banyak aspek,” jelasnya.
Mendengar kesaksian INS dan IMK sebagai korban kasepekang di Polda Bali, Dwi Payana mengaku sangat miris karena para korban diketahui juga sudah meminta maaf secara pribadi kepada seluruh masyarakat sekitar, namun pengusiran dari tanah pribadi miliknya tetap dilakukan.
“Ini keluarga ini kan sudah meminta maaf baik di forum maupun door to door, lalu apa lagi? Patut kami duga ada abuse of power (kesewenang-wenangan, red) dalam kasus ini. Dengan dilaporkannya ke Polda Bali kasus ini akan menyasar tentang bagaimana sebenarnya yang terjadi, agar terang, apakah yang merasa terhina (Jero Mangku, red) sudah memaafkan dugaan penghinaan tersebut. Biarkan nanti Penyidik yang akan melakukan tugasnya. Kami juga membela desa adat, bukan berarti dengan menjadi pengacara korban kami melawan desa adat, tidak,” imbuhnya.
“Coba jujur saja disana, apa proses kasepekang itu benar atau tidak? prosedural atau tidak? Kasihan anak anak kecil yang trauma, ada hati yang tersakiti oleh ulah sekelompok orang mengatasmanakan desa adat. Mau dibawa kemana desa adat kita? sudah minoritas malah saling tikam dengan saudara sendiri. Tanah-tanah kita malah sebagian besar telah dikuasai orang asing dan bukan orang lokal, lapangan usaha dan pekerjaan dikuasai juga bulan oleh orang kita, orang lokal, miris,” sentilnya. (bp/gk)