300-500 PERSEN: Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali Anak Agung Gde Agung bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin foto bersama usai rapat kerja, Selasa, 2 Juli 2024.
BADUNG, Balipolitika.com– Fakta bahwa harga obat di Indonesia 3-5 kali jauh lebih mahal daripada negara-negara tetangga, khususnya Malaysia menjadi atensi khusus Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali Anak Agung Gde Agung.
Senada dengan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, Penglingsir Puri Ageng Mengwi itu menilai lebih mahalnya harga obat di dalam negeri hingga 300 persen bahkan 500 persen disebabkan oleh inefisiensi jalur perdagangan dan tata kelola.
Ditemui di Puri Ageng Mengwi pada Jumat, 5 Juli 2024, Anak Agung Gde Agung menyebut kondisi riil yang sangat berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia, khususnya Bali ini dibahas dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI dengan Menteri Kesehatan RI dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM), Selasa, 2 Juli 2024.
Raker yang dihadiri oleh Plt. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Lucia Rizkia Andalusia serta Ketua Komite III DPD RI, Hasan Basri ini berkenaan dengan inventarisasi materi pandangan dan pendapat terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan.
“Obat-obat mahal ini sebagian besar tidak ditanggung BPJS sehingga sangat memberatkan masyarakat. Yang ditanggung BPJS cuma obat generik yang tidak bisa mengobati penyakit kronis. (Dalam raker itu, red) saya bertanya kepada Bapak Menteri soal harga obat yang melambung tinggi seiring naiknya nilai kurs dollar terhadap rupiah. Bagaimana kebijakan Menteri Kesehatan terkait melambungnya harga obat yang sulit dijangkau untuk beberapa jenis penyakit yang tidak ditanggung BPJS. Harga obat di dalam negeri 300 persen lebih mahal dibandingkan Malaysia, bahkan lebih mahal 500 persen padahal secara geografis letak Indonesia dan Malaysia tidak jauh. Ini diakui menteri terkait harga obat yang lebih mahal,” ucap Anak Agung Gde Agung.
Di balik harga obat di Indonesia yang jauh lebih mahal ini, Anak Agung Gde Agung menyoroti inefisiensi rantai obat dalam negeri mulai dari pengurusan perizinan, produksi, dan didistribusi alias penyaluran.
“Ada ketidakefisienan mata rantai dari hulu sampai hilir terkait produksi obat di dalam negeri yang membuat saya prihatin. Kenapa mata rantai yang menyebabkan tidak efisien ini harus dipotong ya demi kepentingan rakyat. Ini demi kepentingan rakyat dan pemerintah. BPOM saya nilai belum maksimal untuk mencari bahan baku obat di Indonesia sehingga tidak harus impor, khususnya yang bersifat tanaman padahal buktinya obat-obatan herbal banyak dari Indonesia. BPOM menyatakan baru bisa menggantikan 16 persen bahan baku obat. Ini terbilang kecil dibanding kekayaan alam kita. Kenapa pula penelitian tidak dimanfaatkan untuk mencari bahan baku obat sehingga tidak 100 persen bergantung pada bahan baku impor? Ini yang menjadi catatan dan masukan saya,” beber Anak Agung Gde Agung.
Lebih jauh, Bupati Badung 2 periode (2005-2015) itu mendesak perihal pemotongan mata rantai obat yang memicu ketidakefisienan berimbas meroketnya harga di dalam negeri hingga 300-500 persen lebih mahal dibandingkan Malaysia.
“Sekali lagi saya minta BPOM untuk menggali sumber-sumber bahan obat yang ada di nusantara disertai dengan penelitian ilmiah sehingga kita tidak membayar cost atau biaya lebih tinggi terhadap bahan baku obat dari impor. Selain itu, soal harga obat ini perlu ada transparansi perbedaan harga obat di Indonesia dan Malaysia serta negara-negara lainnya. Intinya harus ada koordinasi stakeholder terkait demi kepentingan rakyat Indonesia,” tegas Anak Agung Gde Agung.
Ditambahkan Anak Agung Gde Agung, Rapat Kerja Komite III DPD RI dengan Menteri Kesehatan RI dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) pada Selasa, 2 Juli 2024 menghasilkan 5 buah kesimpulan.
Pertama, pengawasan atas obat dan makanan dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya melalui pemberian jaminan atas keamanan, khasiat atau manfaat, dan mutu obat dan makanan serta memberikan pelindungan dan daya saing obat dan makanan yang beredar di Indonesia dan dikonsumsi masyarakat.
Kedua, pengawasan obat dan makanan harus dilakukan secara komprehensif terhadap seluruh obat dan makanan yang terdiri atas obat, bahan obat, obat kuasi, obat bahan alam, ekstrak bahan alam, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan yang meliputi tahapan pre dan post market termasuk promosi dan iklan obat dan makanan, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun luar negeri.
Ketiga, penguatan pengawasan obat dan makanan juga harus menyasar peredaran obat dan makanan yang dilakukan melalui daring, serta penguatan dari sisi penegakan hukum, baik secara administratif maupun pidana untuk memberi efek jera.
Keempat, penguatan efektivitas pengawasan obat dan makanan dalam melindungi masyarakat dari bahaya obat dan makanan yang tidak memenuhi standar, persyaratan khasiat atau mutu, dan keamanan membutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder baik di pusat dan daerah.
Kelima, pembahasan terhadap RUU Pengawasan Obat dan Makanan perlu dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai peraturan perundangan yang ada agar terjadi harmonisasi antar berbagai peraturan perundangan. (bp/ken)