Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Amora yang Hilang

Cerpen Karya Amina Gaylene

Ilustrasi: Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang

 

JIKA aku membuat analogi hidup semacam roda berputar sebagaimana orang-orang sering melakukannya, maka hidupku kadang di bawah, kadang di bawah sekali. Teman yang merasa senasib denganku setuju, ia bilang, “Yang di atas soalnya gak mau gantian.”

Hidup rasanya tak memberiku jeda untuk mengambil helaan nafas. Belum saja air mata satu kesedihan kering, aku harus mengeluarkan air mata lagi untuk kesedihan lain. 

Dua minggu lalu, aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga di Kali Laweh. Karenanya, setiap sore aku menyusuri sempadan sungai, berharap aku menemukannya tersangkut di bebatuan, tumpukan sampah, atau di ilalang pinggir sungai. Namun pada Minggu sore, aku menemukan pemandangan yang tidak biasa. Aku melihat laki-laki tinggi kurus berpakaian serba hitam tengah duduk di sebuah batu seukuran kepala sedang memancing. Ia tampak terkantuk-kantuk menunggu tarikan di kailnya. 

Aku menghampirinya, bertanya mengenai sudah berapa lama ia memancing di sini. “Saya lupa sejak jam berapa, yang pasti saya ke sini saat matahari masih tepat di atas ubun-ubun.”

Kulihat ember yang telah diisi air di sampingnya masih kosong. Melihatku memerhatikan ember itu, ia mengembuskan nafas panjang seraya menurunkan pundak.

“Lagi pula, sudah jarang sekali ikan di sungai ini, Mas. Sekali pun ada, ikannya pasti pahit.”

Ia tak memberi reaksi apa pun. Diambilnya sebatang rokok dari kotak yang tinggal setengah isinya. Ia menyalakan rokok tersebut dengan sebelah tangan menangkupi apinya agar tidak mati terembus angin. Setelah mengisapnya sekali, ia beranjak dari duduk, melepaskan tongkat pancing, dan merebahkan badan di atas rerumputan dengan satu tangannya ia jadikan bantal.

Aku masih berdiri di sampingnya, memerhatikan setiap gerak yang ia buat. Kuhitung, lima detik lamanya ia memejamkan mata sambil mengisap kembali rokoknya. Saat matanya terbuka, aku melemparkan senyum. Entah apa yang merasukinya, laki-laki itu tiba-tiba terbangun, pundaknya kembali ia naikkan dengan sedikit membusungkan dada. 

Ia mengusap-usapkan tangan pada celananya, lalu mengajakku bersalaman. “Maisak,” ia mengenalkan namanya tanpa basa-basi. Aku menyambut tangannya, belum saja kukenalkan namaku, ia menyambar, “Amora. Izinkan saya memanggil Amora, ya.” Aku sontak mengerutkan dahi sampai-sampai alisku yang berjauhan saling bertemu.

Saat kutanya kenapa, sambil tersipu ia menyuruhku untuk mencarinya di mesin telusur, katanya Amora berasal dari bahasa Spanyol dan itu cocok untukku. Belakangan aku tahu artinya adalah cinta. Aku tergelak. Maisak unik dan serampangan.

“Mbak, eh maksud saya, Amora ke sini untuk memancing juga?” 

Tentu saja bukan, jika untuk memancing, tentu aku akan membawa alat-alat pancing sebagaimana yang ia lakukan. Maisak kemudian menawarkan diri untuk menemaniku menyusuri sempadan, katanya ia akan membantuku mencari yang hilang, padahal ia pun tak tahu-menahu apa yang kucari.

Awalnya aku ragu, namun akhirnya kuterima juga tawarannya. Ia meninggalkan alat pancing begitu saja lalu kami berjalan terus sambil menikmati suara aliran sungai.

Sepanjang jalan, kami membicarakan banyak hal. Maisak beberapa kali melemparkan humor yang berhasil membuatku tergelak. Belum genap satu jam kami bertemu, tapi rasanya sudah bertahun-tahun aku mengenalnya. Namun aku tak ingin meromantisasi hal-hal semacam ini karena sekali pun bukan Maisak, aku akan merasakan hal yang sama saat percakapan kami nyambung.

Matahari semakin turun, begitu pula suhu. Saat kami hendak berpisah, ia meminta nomorku. “Saya gak sering pakai handphone. Saya sering menyusuri kali ini, kok. Jadi kita bisa bertemu lagi kalau Maisak memancing,” jawabku.

***

Amora yang Memesonakanku

Aku menjalani hidup yang sangat memuakkan. Bekerja setiap hari, berjibaku dengan kemacetan, berdebat dengan manager yang tiada lagi dikerjakannya selain menjilat bos, menikmati libur dengan tidur, dan kegiatan monoton lainnya. Rasa-rasanya tak ada lagi yang menggairahkan dalam hidupku.

Suatu hari saat libur, aku kemudian berinisiatif untuk melakukan hal lain selain tidur. Aku pergi ke Kali Laweh untuk memancing. Kali Laweh menjadi pembatas antara Kota Srikandi dan Harumayu. 

Butuh waktu dua jam untukku sampai di Kali Laweh dari pusat kota. Sungai ini cukup sepi, hanya di beberapa titik kutemui penambang pasir ilegal. 

Sebetulnya memilih untuk memancing bagiku cukup lucu karena aku tak tahu cara memancing. Ini kali pertama untukku. Dan sesuai dugaanku, hasilnya nihil, tak kudapatkan ikan satu pun. Ternyata memancing pun sangat membosankan, tapi setidaknya aku dapat menjauh sejenak dari kebisingan kota, dan yang paling penting, aku bertemu perempuan yang senyumnya sangat memesonakanku.

Ia begitu kurus, tulang-tulangnya yang kecil tampak kesulitan untuk menopang dan membantu tubuhnya bergerak. Selain itu, kulitnya pun begitu pucat. Tak ada yang menarik darinya hingga ia tersenyum. Senyumnya begitu menawan hingga mampu memunculkan kekuatan pada tubuhnya yang rapuh.

Aku buru-buru mengajaknya berkenalan, aku memanggilnya Amora tanpa terlebih dulu kutahui siapa nama aslinya. Bagiku saat itu Amora sudahlah cukup. Namun setelah dipikir-pikir lagi, ternyata memalukan juga bersikap impulsif semacam itu. Saat bertemu kembali, aku akan meminta maaf dan menanyakan nama dia yang sebenarnya. 

Ia tinggal di Desa Mayang di Kota Harumayu. Desa Mayang berada tepat di seberang Kali Laweh. Setahuku, Desa Mayang menjadi salah satu desa yang akan dilewati pembangunan tol yang menghubungkan Kota Srikandi dan Harumayu. Aku bertanya padanya, apakah rumahnya menjadi salah satu yang akan digusur jika rencana pembangunan tol tersebut berjalan? Amora menjawab iya, katanya sebentar lagi ia akan pindah.

Ia tak begitu berterus terang, tapi tampaknya ia bersedih. Aku pernah mengalami kesedihan serupa saat orang tuaku menjual rumah kami. Bagiku, rumah tidak hanya bangunan semata, tetapi juga akar yang menumbuhkanku. Karenanya, aku menghibur Amora dengan beberapa cerita lucu. Aku cukup berhasil membuatnya tertawa. Tidak hanya senyumnya, tawa Amora juga sangat memesona, membuatku sulit melupakannya.

Hingga kami berpisah, kami tak berhasil menemukan apa yang dicari Amora. Saat kutanya apa yang sebenarnya ia cari, ia hanya menggeleng sambil tersenyum, “Bukan apa-apa,” katanya.

Ada rasa rindu yang sudah lama tak bangkit kemudian mekar sejak bertemu Amora. Aku begitu tak sabar menunggu hari libur untuk pergi ke Kali Laweh. Senyumnya membayangi malam dan pagiku, lapar dan kenyangku, lelah dan segarku.

Hari Minggu selanjutnya, aku berangkat sangat pagi. Alih-alih alat pancing, kini aku membawa bingkisan untuk Amora. Aku bersabar menunggunya di sempadan Kali Laweh hingga matahari pun perlahan bergulir ke barat. Namun Amora tak kunjung datang. 

Sebagian langit timur mulai menjadi gelap dan aku masih tetap dengan kesendirianku. Aku akhirnya meninggalkan Kali Laweh saat jam menginjak pukul 8 malam. Resah dan rindu mengacaukan perasaanku. 

Hari Minggu selanjutnya, aku kembali datang ke Kali Laweh. Aku tetap berangkat sangat pagi dengan membawa bingkisan lebih banyak. Harap-harap cemas memenuhi isi kepalaku. Aku menunggunya hingga hari kembali menjadi sore, namun Amora tetap tak kunjung datang. Kini aku betul-betul tak tahan, mataku sangat tak sabar untuk menikmati senyumnya.

Aku kemudian menyusuri Desa Mayang dan bertanya pada warga sekitar. Sialnya aku tak tahu siapa nama aslinya. Namun ternyata tidak sulit mengetahui nama asli Amora. Elma Salsabila adalah namanya. Nama yang begitu cantik dan sangat cocok dengan Amora. Kebiasaannya menyusuri sempadan sungai seorang diri membuatnya dikenal seluruh warga desa. 

Namun yang lebih menggetarkan sendi-sendiku adalah cerita di baliknya. Ternyata yang selama ini ia cari di Kali Laweh adalah neneknya, satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Suatu hari neneknya bertikai dengan pihak pembangunan tol. Nenek Amora bersikukuh tidak ingin menyerahkan rumahnya. Setelah itu, nenek Amora pergi ke Kali Laweh untuk menenangkan diri, hal yang biasa ia lakukan ketika dilanda kesedihan. Namun neneknya tidak pernah kembali dan tak meninggalkan jejak apa pun. Semua orang sudah mencarinya, namun nihil. Di saat yang lain telah menyerah, Amora tetap mencarinya, berharap keajaiban datang dan mengembalikan sang nenek.

Delapan hari yang lalu, warga setempat menemukan Amora mengambang di sungai. Tak ada gerak pada tubuhnya, tak ada lagi darah mengalir, tak ada pula napas berembus. Tenggorokanku tercekat, ada yang meremas hatiku begitu kencang hingga sakitnya tak terperi. Aku kemudian diantar mengunjungi kuburannya, juga puing-puing rumahnya. 

 

BIODATA

Amina Gaylene adalah penulis asal Cianjur, Jawa Barat. Ia menulis cerpen, puisi, artikel, serta naskah teater. Selain menulis, ia aktif dalam berteater. IG: @amina_gy

Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!