SULIT memang menelaah sejak kapan perempuan mendapatkan ruang secara budaya untuk menunjukan seberapa kuat mereka sebenarnya. Jika dilihat dalam ruang politik perempuan baru mendapatkan hak politik untuk memilih sekitar 100 tahun yang lalu dan berhak dipilih kurang dari itu. Padahal banyak ahi berpendapat jika budaya luhur manusia sudah dimulai sejak lebih dari 10.000 tahun yang lalu, jadi selama lebih dari 9.900 tahun perempuan tidak diberikan ruang dalam politik. Perempuan dalam ruang budaya pun secara umum menghadapi situasi serupa, sehingga sulit bagi perempuan untuk mememiliki modal untuk benegosiasi dalam arena budaya. Posisi perempuan dalam arena budaya yang riskan membuat mereka menjadi korban dari berbagai macam kejahatan baik secara fisik maupun psikis. Perempuan pun tidak tinggal diam untuk melawan ketidakadilan dan kejahatan yang mereka alami. Usaha-usaha perlawan dilakukan dalam berbagai arena kehidupan, dari arena budaya hingga ekonomi dan teknologi. Arena budaya merupakan medan tempur utama perempuan dalam mendobrak segala kejahatan yang mereka alami. Senjata perempuan paling sakti dalam pertempuran arena budaya adalah sastra yang menceritakan tentang perempuan dan ditulis oleh perempuan.
Perempuan menulis sastra sebenarnya bukan merupakan fenomena budaya baru. Sejak zaman Sumeria kuno telah tercatat penyair perempuan bernama Enheduanna, proasis perempuan pun sudah ada tercatat di abad 11 Jepang bernama Murasaki Shikibu. Namun para pionir penulis perempuan tersebut belum menjadikan perempuan sebagai inti dari narasinya. Baru pada abad ke-15 perempuan dengan berani bercerita tentang dirinya sendiri dan permasalahan khas perempuan. Penulis perempuan Prancis bernama Christine de Pizan secara historis dianggap sebagai penulis pertama yang mengangkat isu perempuan dengan bukunya yang berjudul Le Livre de la Cité des Dames (Kisah Kota Perempuan). Puncak dari penulis perempuan yang mengangkat isu perempuan adalah di era Victoria Inggris abad ke-19. Penulis seperti Jane Austen menjadi termasyur dengan novel-novel yang berfokus pada permasalahan domestik perempuan. Kemasyuran Jane Austen kemudian menginspirasi penulis perempuan lain di seluruh penjuru dunia untuk menulis tentang perempuan.
Fenomena perempuan menulis perempuan ini agak terlambat masuk ke Indonesia. Baru sekitar dekade 1960-an fenomena ini dapat ditemui dalam khasanah sastra Indonesia. Penulis seperti N.H Dini, Herawati Diah menjadi pemula dari ide-ide kesetaraan dan feminisme di Indonesia. Tongkat estafet ini butuh beberapa dekade untuk dapat diberikan pada generasi selanjutnya, baru pasca reformasi perempuan kembali bergairah untuk menulis masalah- masalahnya. Penulis pasca reformasi lebih berani mengekspolorasi permasalahan yang lebih intim dan pribadi. Penulis seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Nukila Amal, Ratih Kumala lebih berani dan terang-terangan membahas tentang permasalahan tubuh dan seksualitas perempuan. Sehingga penulis perempuan Indonesia mempunyai spektrum narasi yang luas dari masalah politik hingga tubuh.
Paparan ide tentang perempuan dalam sastra yang luas ditambah pengalaman pribadi yang intim menjadikan cerpen-cerpen dalam Kumpulan cerpen Alia Tahu Semua Dosa Laki- Laki (Pustaka Ekspresi, 2024) karya penulis muda Bali Ni Komang Yuni Lestari begitu indah namun liar. Anyir darah yang muncul dalam narasi terasa wangi karena dibalut dengan diksi yang indah dan mudah dimengerti. Kumpulan cerpen ini terdiri dari 19 cerpen yang banyak mengangakat tentang permasalah perempuan dan difabel. Pada cerpen pertama yang berjudul Anak-anak yang Berbahaya, pembaca akan dikejutkan dengan narasi yang sensual dan berdarah. Beberapa titik narasi seperti “percayalah tidak semua manusia yang berada di lingkungan sosial adalah malaikat” akan membawa pada realita gelap yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pada cerpen pertama ini penulis dengan cerdik menempatkan jukstaposisi antara difabel fisik dan moral sehingga merangsang pembaca untuk mendefinikan ulang kata difable.
Tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen ini digambarkan sebagai tokoh yang digdaya dan dapat merubah nasibnya sendiri walau dalam berbagai keterbatasan. Pada cerpen Gadis Lima Menit sosok perempuan dinarasikan mempunyai kemampuan itu menggoyahkan kesombongan laki-laki walaupun hanya muncul sekejap, gambaran sosok perempuan dapat teringang sampai dipelukan maut. Cerpen yang berjudul Dewi Jelita mendobrak dualitas seksual tradisional dimana dalam relasi seksual perempuan dianggap sebagai objek dan harus pasrah. Cerpen ini mendobrak hal tersebut dengan narasi sensual namun mengelitik nalar. Berbeda dengan penulis pendahulunya, Ni Komang Yuni Lestari mampu menunjukan kekuatan perempuan yang autentik. Penulis perempuan lain menggambarkan kekuatan perempuan dengan atribut maskulin seperti kekuatan fisik atau bahkan penyembahan terhadap phallic lelaki. Komang menawarkan autentisitas kedigdayaan perempuan dengan intusi, sebuah penalaran khas perempuan yang tidak akan bisa ditiru oleh laki-laki. Manifestasi autentik ini dapat dilihat dari cerpen Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki, ini merupakan cerpen yang dipilih sebagai judul dan cerpen terpanjang dengan sekitar 15 halaman. Cerpen ini akan membawa pembaca pada pola pikir komplek namun efektif dari tokoh Alia. Permasalah yang ada dalam cerpen tersebut dapat didekati dengan pemikiran komplek perempuan, bukan lagi dengan logika saintifik laki-laki.
Selain mengangkat isu perempuan, kumpulan cerpen ini juga mengajak untuk meninjau kembali mistisisme lokal yang mulai tergerus oleh dunia modern yang positivistik. Cerpen yang berjudul Desa Kami secara apik memunculkan peristiwa mistis yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. Penulis dengan cerdik meninggalkan misteri tersebut tanpa penjelasan logis, sehingga meninggalkan kesan bahwa “semua yang mistis tidak harus diselesaikan secara saintifik.” Jika membaca keseluruhan cerita dalam kumpulan cerpen ini, mistisisme-mistisisme yang muncul merupakan interseksi dari permasalah perempuan yang tidak berkesudahan. Perempuan selama ini dikekang oleh mistisisme maskulin dimana mereka diopresi di dinomorduakan bahkan menjadi korban kejahatan. Hal ini dapat dilihat daru cerpen Komang yang berjudul Kanaya dan Laki-Laki yang Hidup di Dalam Kepalanya. Namun cerpen lain ini menawakan mistisisme pembanding bahwa perempuan dapat memberikan terror yang lebih mengerikan jika dalam keadaan yang memaksa. Secara keseluruhan kumpulan cerpen ini membawa pembaca pada sebuah simpulan sederhana jika perempuan lebih kuat dari pada laki-laki.
Kumpulan cerpen Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki karya Ni Komang Yuni Lestari secara garis besar membawa pembaca pada pengalaman baru dalam memahami permasalahan perempuan. Karya-karya prosa serupa biasanya menggabarkan perempuan kuat dengan menggunakan atribut maskulin yang secara tidak langsung malah mengakui dominasi laki-laki terhadap perempuan. Komang secara jenius menunjukan kekuatan perempuan melalui tindakan autentik yaitu intuisi kuat perempuan yang tidak dapat ditiru. Secara pribadi, pengalaman membaca kumpulann cerpen ini seperti masuk ke dalam wahana pasar malam yang diisi oleh sesuatu yang indah dan warna-warni namun juga ada wahana yang mencekam serta memacu adrenalin. Bukan merupakan suatu hal yang dilebih-lebihkan jika kumpunan cerpen ini disebut sebagai pelangi indah di tengah mendung suram.***
*Penulis adalah Dosen Prodi Sastra Inggris, FIB, Universitas Udayana, Bali. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan S-3 bidang kajian Ilmu-Ilmu Humaniora di UGM, Yogyakarta.