NARASUMBER: Pengamat politik Indonesia, Rocky Gerung. (Sumber: dokumen FB Rocky Gerung)
DENPASAR, Balipolitika.com- Pengamat politik, Rocky Gerung mengatakan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini berada di tangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pasca dilaksanakannya persidangan terkait sengketa hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Hal itu disampaikan komentator politik, filsuf, akademikus, dan intelektual publik Indonesia yang merupakan salah seorang pendiri Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi di salah satu program stasiun televisi swasta “Rakyat Bersuara”, Selasa, 2 April 2024 pukul 21.00 Wita.
Dalam program acara yang disiarkan secara langsung tersebut, Rocky Gerung sebagai salah satu narasumber menjelaskan Majelis Hakim MK didorong untuk segera menyelesaikan kasus dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Lebih-lebih, para penggugat dari para Paslon 01 dan 03 menilai tuntutan tersebut memiliki peluang untuk dikabulkan.
Indikasi dimaksud terlihat dari adanya keberanian hakim dan dukungan societal masyarakat kepada MK sebagai momentum untuk memulihkan kembali citra dari kesalahan meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024.
“Jadi MK harus rasional dan berpikir moral saat menentukan hasil sidang nanti. Sebab, keutuhan dalam berbangsa dan bernegara ada di tangan para hakim MK saat ini,” ungkapnya.
Rocky Gerung menilai untuk membuktikan adanya kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 bisa menggunakan metode sample.
Menurutnya, dalam politik pertanyaan kualitatif itulah yang akan mendorong pembuktian kuantitatif di mana semua kecurigaan datang dari gerakan passion bukan gerakan reason.
“Sekarang problemnya, waktu Prabowo, Anies, Ganjar diuji secara statistik, dia hanya butuh sample 1.200, sekarang untuk membutikan kecurangan diminta 13 juta suara, loh ngaco dong? Kenapa ga pakai modeling saja. Pembuktian itu untuk menuntun supaya yuristik itu bekerja. Jadi kecurigaan adalah prinsip pertama untuk memulai penelitian ilmiah,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa PDI Perjuangan harus bertanggung jawab atas kerusakan proses demokrasi saat ini.
Seharusnya, PDI Perjuangan harus memberikan perhatian besar kepada persoalan Jokowi yang dianggap telah mengacak-acak konstitusi dan mencoreng nama baik PDI Perjuangan.
Namun, yang terjadi saat ini adalah justru PDI Perjuangan yang menjadi batu sandungan.
“Tidak adanya konsistensi informasi dari PDI Perjuangan karena Ibu Mega tetap diam, Hasto justru lebih progresif, sementara Puan di antara mereka, karena itu narasi yang kita ucapkan adalah problem di PDIP itu justru yang membahayakan demokrasi,” cetus sosok yang 15 tahun menjadi dosen di Universitas Indonesia itu. (bp/gk)