ALBUM MUSIKALISASI PUISI berjudul “Beri Aku Cakrawala” adalah hasil proses kolaborasi yang menarik antara Kelompok Sekali Pentas (KSP) pimpinan Heri Windi Anggara dengan penyair Ida Bagus Aditya Putra Pidada (Gus Adit). Album ini berisikan delapan musikalisasi puisi dengan aransemen unik dan variatif yang dikerjakan oleh Heri Windi Anggara. Album ini terwujud berkat program Manajemen Talenta Nasional Kemendikbudristek dan Bakti Kominfo RI.
Kelompok Sekali Pentas (KSP) bukan kelompok baru dalam dunia musikalisasi puisi. Kelompok ini telah banyak malang melintang dalam mengaransemen dan menampilkan puisi-puisi sejumlah penyair ke dalam musikalisasi puisi. KSP sering tampil dalam berbagai kegiatan dan festival sastra, antara lain Festival Seni Bali Jani. Namun, baru kali ini KSP mengaransemen delapan puisi sekaligus dan menjadikannya sebagai sebuah album yang utuh.
Ini adalah album musikalisasi puisi pertama di Indonesia yang menampilkan puisi-puisi penyandang difabel. Puisi-puisi Gus Adit yang dijadikan musikalisasi puisi oleh KSP adalah Beri Aku Cakrawala, Cermin Senja, Gadis Sebatu, Hujan di Langit Sanur, Ibu, Jalan Terakhir, Jangan Pergi Dulu, dan Puisi Sunyi. Puisi-puisi itu bersumber dari buku kumpulan puisi Ida Bagus Aditya Putra Pidada yang berjudul “Beri Aku Cakrawala” (Pustaka Ekspresi, 2021).
Ida Bagus Aditya Putra Pidada alias Gus Adit adalah seorang penyair yang menyandang disabilitas netra. Penyair kelahiran Denpasar, 23 Juni 1996 ini menulis puisi sejak SMA. Puisi dan prosanya tersebar di sejumlah media dan antologi bersama, beberapa di antaranya memenangkan lomba penulisan sastra. Sejumlah puisinya juga diterjemahkan ke bahasa Korea dan dibukukan dalam kumpulan puisi tujuh penyair difabel tingkat Asia berjudul “Nasihat Musim yang Kupeluk” (2021). Dia menamatkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi dan Penerangan Agama di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Sembari menulis, ia mengelola klinik pijat Bali Mahasadu Refleksi dan Pijat Kesehatan. Selain itu, dia juga bergiat menjadi penyiar di Radio Publik Kota Denpasar 92,6 FM.
Puisi-puisi Gus Adit cenderung bergaya naratif dan sebagian besar panjang-panjang. Gaya naratif ini mungkin muncul dari kebiasaannya menulis prosa. Bagi saya, puisi-puisi Gus Adit unik dan menarik, terutama dari cara ia mengungkapkan pikiran dan perasaanya lewat diksi-diksi dan metafora-metafora yang seringkali mengejutkan. Puisi-puisinya menggiring pembaca memasuki ruang renung berlapis-lapis serupa labirin. Sabetan-sabetan diksinya seperti pedang Zatoichi yang berkelebatan ke berbagai arah tak terduga dan cenderung mematikan.
Dalam album “Beri Aku Cakrawala”, apresian bisa menikmati bagaimana KSP mengaransemen beberapa puisi panjang Gus Adit menjadi musikalisasi puisi yang utuh dan enak didengar. Pada puisi Beri Aku Cakrawala, misalnya, KSP menyiasati puisi panjang itu dengan pembacaan penggalan bait puisi di tengah lagu. Tentu hal ini dimaksudkan agar apresian tidak jenuh menikmati musikalisasi puisi yang disajikan. KSP juga menyiasati album ini dengan menyajikan nuansa genre musik yang variatif sesuai hasil penafsiran terhadap puisi-puisi Gus Adit.
Puisi Beri Aku Cakrawala adalah sebentuk kegelisahan Gus Adit dalam menjalani kehidupan sebagai penyandang disabilitas netra. Puisi panjang ini mengandung banyak renungan tentang pencarian jati diri dalam memaknai kehidupan. KSP mengolah puisi ini dengan nuansa Ballad Gloomy Space. Apresian bisa menikmati permainan musik dan vokal yang menawan dan eksploratif dalam musikalisasi puisi ini. Kepedihan puisi terasa menyusup ke relung-relung kalbu pendengarnya.
Puisi Cermin Senja juga dibawakan KSP dengan nuansa Ballad Gloomy Space. Hal ini terasa pas dengan genre puisi naratif Gus Adit. Permainan biola mampu menampilkan suasana sendu pada puisi Gus Adit. Sedangkan, pada Gadis Sebatu, apresian bisa merasakan nuansa Pop Waltz yang agak nge-blues. Tematik percintaan pada puisi tersebut tersampaikan dengan indah.
Hujan di Langit Sanur adalah puisi panjang. KSP mengaransemennya dengan gaya Classic Rock era 1980-an. Meski musiknya bergaya rock, nuansa puisi tetap terjaga. Di tengah-tengah permainan musik yang menghentak, KSP menyelipkan pembacaan penggalan puisi. Perpaduan puisi dan musik terasa harmonis dalam garapan ini. Namun, bagi yang tidak terbiasa dengan musikalisasi puisi bergaya rock tentu agak kurang nyaman menikmatinya. Setiap orang memang memiliki selera musik yang berbeda-beda.
Puisi Ibu digarap dengan nuansa musik Ballad Gloomy Space. Hal ini sesuai dengan konten puisinya yang menyuguhkan penghormatan dan perenungan pada sosok ibu. Sedangkan Jalan Terakhir adalah musikalisasi puisi yang memadukan gaya balada dan rock akustik. Permainan biola yang menyayat mampu membangun suasana puisi yang memang terkesan muram.
Tampak berbeda ketika KSP membawakan puisi Jangan Pergi Dulu dengan nuansa musik Progresive Punk Rock. Di tengah-tengah musikalisasi puisi, KSP menyelipkan pembacaan bait-bait puisi dengan gaya berorasi sehingga terkesan pas dengan konten kritik sosial yang diusung puisi tersebut.
Pada Puisi Sunyi, KSP menerapkan gaya musik folk dan rock dengan intro lantunan mantra Tibet. Ini salah satu upaya eksploratif KSP dalam menerjemahkan puisi ke dalam musik. Dengan perpaduan ini, aransemen Puisi Sunyi terasa berbeda. Puisi ini sendiri mengandung perenungan tentang hakikat hidup manusia. Manusia bermula dari sunyi dan akan kembali kepada Sunyi. Penggunaan mantra Tibet sebagai intro musik mampu memberikan efek magis pada musikalisasi puisi ini.
Proyek album musikalisasi puisi ini adalah kerja kolaborasi yang mengasyikkan. KSP menggarap puisi-puisi Gus Adit dengan aransemen yang bervariasi sehingga tidak membosankan pendengar. Unsur-unsur musik seperti harmoni, melodi, ritme, instrumentasi diolah dengan maksimal dan eksploratif.
Bagi yang tidak terbiasa dengan genre musik tertentu dalam album ini, mungkin akan merasa kurang nyaman. Atau, muncul pertanyaan: mengapa musikalisasi puisi seperti itu? Nah, di sinilah KSP ingin menunjukkan bahwa puisi tidak melulu dimusikalisasikan dengan gaya sendu mendayu-dayu.
Ada banyak pilihan instrumen dan genre musik yang bisa diterapkan dalam musikalisasi puisi. Meski begitu, sangat penting bagi pengaransemen memerhatikan ketepatan (bukan kebebasan) tafsir puisi-puisi yang akan dimusikalisasikan sehingga puisi tidak menjadi sekadar alat saja. Spirit puisi perlu mendapatkan prioritas utama dalam musikalisasi puisi sehingga bisa dinikmati para apresian. Dan, tentu saja, kita perlu terus membuka cakrawala baru dalam pengembangan musikalisasi puisi di Indonesia.***
BIODATA
Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Buku puisinya yang telah terbit adalah Jumantara (2021); meraih Anugerah Buku Puisi Terbaik dari Yayasan Hari Puisi Indonesia, Solilokui (2020), Amor Fati (2019), Petualang Sabang (2018), Montase (2016), Pekarangan Tubuhku (2010), Impian Usai (2007), Malam Cinta (2007), Pada Lingkar Putingmu (2005). Atas dedikasinya di bidang Sastra, ia dianugerahi penghargaan Bali Jani Nugraha oleh Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2020.