SETIA: Sejumlah masyarakat di Bali nampak antre untuk mengisi bensin di salah satu SPBU di Kabupaten Badung, Bali, Senin, 3 Maret 2025. (Sumber: Gung Kris)
BADUNG, Balipolitika.com- Menarik perhatian penulis disaat masyarakat Indonesia beralih untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke SPBU (Stasiun Pengisian Bensin Umum) Shell, pasca mencuatnya kasus dugaan korupsi tata kelola minyak (Modus Pertamax Oplosan) yang menyeret nama PT Pertamina, di sisi lain masyarakat Bali nampak masih setia menggunakan BBM dari Pertamina, Senin, 3 Maret 2025.
Terkait fenomena peralihan tersebut, Putu Gandhi, salah satu masyarakat Bali, mengungkapkan alasannya yang masih menggunakan BBM dari Pertamina, lantaran minimnya pilihan SPBU merek lain selain Pertamina di Bali, menjadi pertimbangannya untuk tetap membeli produk Pertamina di tengah mencuatnya skandal Mega Korupsi Pertamax Oplosan.
“Tidak ada pilihan lain lagi (selain Pertamina, red). Mau gamau tetap isi di Pertamina, kebutuhan sehari-hari soalnya. Kalau memang ada (BBM merek lain, red) di Bali kan juga tidak semua wilayah ada pom nya,” ungkap Gandhi, seusai mengantre untuk mengisi BBM di salah satu SPBU di Badung.
Untuk dapat diketahui, fenomena peralihan daya tarik masyarakat untuk menggunakan BBM selain produk Pertamina itu terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta, seperti di salah satu SPBU Shell di kawasan Tebet, berdasarkan informasi antrean masyarakat mengular untuk mengisi BBM di SPBU tersebut usai Skandal Mega Korupsi Pertamax Oplosan mengemuka.
Skandal korupsi Pertamax Oplosan yang tengah ramai menjadi perbincangan warganet, merupakan salah satu modus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 adalah mengoplos bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan menggunakan Pertalite.
Tak khayal, masyarakat selaku konsumen mengalami kerugian akibat Pertamax oplosan ini, karena konsumen harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar BBM dengan research octane number (RON) 92 yang diduga merupakan hasil oplosan dari RON 90 (Pertalite).
Usut punya usut, kerugian negara mencapai Rp 47 miliar per hari atau Rp 17,4 triliun selama satu tahun dari praktik pengoplosan. Selain itu, pengoplosan ini juga berdampak menghilangkan produk domestik bruto sebesar Rp 13,4 triliun. (bp/GK)