Kata Terakhir Yang Kau Ucapkan Membawaku Pada Sebuah Teka-Teki
kata terakhir yang kau ucapkan
membawaku pada sebuah teka-teki
dengan itu, aku tak mudah dapat jawaban.
aku hanya mengira dan barangkali dalam mencari.
tapi, jika kembali pada kata terakhir itu, aku jadi yakin
bahwa kaulah jawabannya?
karena tanya itu, orang lupa jadi gemetar seakan hilang kendali,
mulut-mulut beradu kaca, dan maaf tak menyentuh tangan.
bukalah kiranya tuhan, bagiku sebagai jembatan, tak mudah
menyimpulkan bahwa “A” yang benar atau “Z” pada akhirnya.
lantas kami harus melihat lagi ke semula sarang disusun,
jiwa-jiwa berpaling dari kamera cctv yang dipasang malaikat,
atau dari mataku yang penuh rabun ini karenamu.
aku tak mudah menyimpulkan teater tanah ini,
sebab ini akan berlangsung lama, selama cinta belum dikubur
tangan akan memanjang-menyantap kesukaanku. dan selama
masih ada monster mentransfer kotoran pada bayinya, maka tangis
tak akan berhenti, maka tangis akan dengan pandai
menyimpan bohongnya seakan berakting,
dan mata rabunku akan menjelma lilin
hanya akan dinyalakan ketika dunia kehilangan cahaya lampu.
oh tuhan, kata-kata terakhir yang ia ucapkan, lantas aku tak mau
terlibat karena kematian dan luka lebam itu, aku cuma mengira
dan barangkali dalam mencari. tapi lagi-lagi tuhan menunjukan
jalannya padaku, aku mencoba menelusurinya, aku yakini pada
tiap langkah keputusanku, semakin aku jauh semakin aku rapuh.
tapi beruntungnya aku sudah menuliskannya meski itu tak cukup
mengubah “Z” yang pada akhirnya menjadi “A” teka-teki di tangan kita
lambang kebobrokan kita.
Cianjur, 2025
Menonton Halaman Depan
angin menggenggam pohon gemuruh
seekor musang curi pepaya matang
melompat menggoyangkan lamunanku,
rumput bersemi setelah dibabat habis parang tempo hari
seperti perasaan kangen menjumpai senyum istri
kabut menghilang
ragu melangkah menuju kota
tempat tercipta jendela-jendela baru
memperlihatkan kekisruhanku
kicau burung sepanjang hari
mematuk-matuk memori lamaku
seperti seekor ular hijau melilit pagarmu
saat gerimis turun meleor ke balik semak
kabel melintang beralih fungsi
jadi tempat menjemur baju perjuanganku
hidupi keluarga bunga tidur itu,
dan menghubungkan sinyal kita
untuk menonton segala sandiwara
Cianjur, 2024
Letuskan! Letuskan Perut Itu!
letuskan!
letuskan perut itu!
kau bayangkan seorang raja yang gemuk
yang juga lama duduk di tengah-tengah penduduk
tentu saja ia mendikte rasa langkah kita
hari ini dan selamanya.
dalam duduk, dalam khidmat, dalam mengamat
dalam kampanye massa di tengah kota
seorang raja mendadak sakit perut tapi bukan ingin ke toilet
saat orang-orang mengibarkan bendera kebesarannya
menggedor-gedor pintu istana
seketika perutnya membesar sebesar harapan kita
lalu perutnya meledak dan uang-uang berhamburan
di tengah kerumunan massa, lantas para pedagang,
juru parkir, dan sekian banyak massa lain dengan
bendera di kepalanya berebut lalu saling sikut
seorang peliput teriak
letuskan!
letuskan lagi perut itu sampai viral
aku ingin dompetku mendapati lebih banyak
agar hari-hariku dapat tidur nyenyak
sambil mengoceh di hadapan mikrofonnya
sementara yang lain masih sibuk
mengumpulkan beberapa yang tersisa
mereka berkata bahagia, mereka berkata kecewa
sampai tak ada satupun roda melaju
macetnya mengular ke pikiran orang desa
yang sedang menonton mereka di sosmednya
gusti! aku ingin itu! dan mereka lupakan si raja mati.
Cianjur, 2024
Nelayan
ke lautmu, nelayan
kualirkan diri pada cita-cita penuh ombak
sebagaimana sungai di sisi rumahku
sebelum dalam lautmu
tanah mengajarkan banyak hal
untuk jawab segala soal:
lewat angin yang diam-diam
menumbangkan pohon harapanmu
dan juga lewat kesaksian yang lain
yang telah lama terjalin
ke lautmu, nelayan
akulah ketabahan air
biar plastik dan keruh menjerat pencernaan
hidup kutabuh penuh gelombang
hingga matahari tenggelam
masihkan kau di sana
menjaring ikan-ikan?
Cianjur, 2024
BIODATA
Ujang Saepudin, beraktivitas sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta di Cianjur. Beberapa puisinya pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat, Riau pos, kurungbuka, ruangliterasip dan di beberapa buku antologi bersama. Terakhir puisinya masuk 30 besar Payakumbuh Poetry Festival.