Ilustrasi: Ni Putu Sunindrani
GADIS BERMATA LAUT
gadis bermata laut
berjalan menyisir pesisir
jantungnya ditebar dalam detak ombak
menjilat-jilat mata kaki dan hati
nelayan melempar mantra-mantra ke ujung tanjung
tempat burung-burung laut melaut
menyambar sirip-sirip ikan
yang riang berenang
gadis berlesung pipi
rambutnya tergerai menjaring angin
beraroma kembang laut
kidung-kidung lokan
gejolak-gejolak gelombang
didendangkan dalam larik-larik paling sajak
semilir pesisir mengantar senja
pulang ke dalam sepi
seperti sampan-sampan yang dikayuh doa telah menepi
gadis bermata laut tersenyum melepas risau
Sumbawa, 2024
ANAK-ANAK BANDAR
di antara peti-peti kemas yang cemas
di bawah karung-karung yang murung
berutas-utas tali temali
menambat segenggam nasib
anak-anak menghitung lipatan ombak dalam angan-angan
semangat menderu-deru menjadi azimat
menjelma bahasa-bahasa mantra
karena air mata dan laut sama asinnya di lidah mereka
ketika koin-koin diburu di kedalaman bandar
tanpa memperhitungkan nominalnya
di pelindo tiga suasana riuh
anak-anak mengobral jasa di atas deck berpeluh
para cukong menawarkan janji di bawah upah
luka di dada makin perih diiris air mata
mereka membayangkan wajah ibunya
melantunkan doa-doa di atas sajadah:
“ibu, tidak usah cemas, tunggulah aku pulang
aku sudah mengangkat berkardus-kardus nasib
cukuplah untuk menghentikan tangis adik-adikku hari ini”
Sumbawa, 2024
SECANGKIR KOPI IBU
secangkir kopi
diseduh sepi
pada hening paling bening
denting rindu merayap ke langit
sepasang mata ibu
jelma mata air nurani
pahit manis yang fana
diseruput dengan cinta
setiap waktu
secangkir doa meluap
tumpah di atas sajadah
Sumbawa, 2024
WARUNG KOPI IBU
warung kopi itu tak pernah merapalkan sunyi
hari-hari dikepung letih
sekelilingnya ditumbuhi kata-kata dari aroma kopi
entah sudah berapa lama
ibu membaca selera dalam kepala
denting sendok dengan bibir gelas bersulang
dirawat siang dan malam
lupa pada detak jantung yang menghitung kerut wajahnya
bergelas-gelas kenangan diseruput
pahit dan manis
diracik dengan doa-doa tengah malam
rasa nikmat menghidangkan sealis senyum
tak ada sengketa kata di lidah
tak ada muram di wajah
dari warung kopi itu
ibu tetap merawat gulai cinta di dada
Sumbawa, 2024
BIODATA
A. Rahim Eltara, lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 16 Oktober. Penerima Anugerah Bahasa dan Sastra dari Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat. Karyanya dalam bentuk antologi tunggal: Kepak Sayap Rasa (2011), Ladang Kekasih (2018), Air Mata Zikir Sebening Mata Air Cinta (2023), Ibu Doa dan Cinta (2024). Selain itu puluhan antologi bersama. antara lain: Mencari Presiden Antikurupsi (2023), Tanah Tenggara (2024), Bahasa Ibu Bahasa Darahku (2024), Di Mata Ibu Kucari Hujan (2024), Aku Presiden (2024). Aktif di berbagai komunitas sastra seperti Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Dari Negeri Poci (DNP), Komunitas HB Jassin, Tifa Nusantara, TISI, Panre Satera, Karya satra Bersama (KSB) dan lain-lain.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Karya-karyanya banyak menjadi ilustrasi puisi di media online Bali Politika. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri. IG: @putusunindrani.