“Di zaman yang semakin materialistis ini, kita lebih sering membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang-orang yang tidak kita sukai.”
(Dave Ramsey)
Idul Fitri telah lama berubah menjadi panggung teatrikal, tempat umat Islam berlomba-lomba menampilkan kostum terbaiknya. Bukan lagi soal kembali ke fitrah, melainkan parade outfit terbaru yang secara tidak langsung menjadi ajang pertarungan sosial: siapa yang paling sukses, siapa yang paling berkelas, siapa yang tampak paling bahagia dalam balutan kemewahan. Jika Jean Baudrillard pernah menyebut bahwa konsumsi modern lebih berkaitan dengan tanda dan status daripada fungsi (Baudrillard, The Consumer Society), maka fenomena lebaran di era kapitalisme ini adalah manifestasi nyata dari simulacra: yang kita rayakan bukan lagi makna, melainkan citra.
Di antara gelombang arus konsumtif ini, gagasan tentang Lebaran Kosong-Kosong dengan tradisi Kaos Oblong hadir sebagai kontra-wacana yang membebaskan. Kaos oblong, yang dalam lanskap budaya kita sering diidentikkan dengan kesederhanaan, mendadak menjadi simbol perlawanan. Ia tidak sekadar pakaian, tetapi pernyataan ideologis. Dalam Mythologies, Roland Barthes pernah membongkar bagaimana objek sehari-hari bisa menyimpan makna yang lebih dalam dari yang terlihat di permukaan. Kaos oblong dalam konteks lebaran bukan hanya kain yang menempel di tubuh, melainkan manifestasi dari kesadaran baru: bahwa esensi perayaan ini tidak terletak pada tampilan luar, melainkan pada transformasi batin.
Jika kita kembali ke sejarah Islam, kita tidak akan menemukan hadis atau ajaran yang mewajibkan umat Muslim untuk memakai baju baru di hari raya. Justru, Rasulullah SAW menekankan pentingnya kebersihan dan kesederhanaan. Namun, seperti yang dipaparkan Thorstein Veblen dalam The Theory of the Leisure Class, manusia kerap terjebak dalam budaya conspicuous consumption—mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan sebagai simbol status. Membeli baju baru untuk lebaran bukan lagi soal mempercantik diri, melainkan pembuktian eksistensi sosial.
Sartre dalam konsep le regard de autrui (tatapan orang lain) menjelaskan bahwa manusia sering kali tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang dikenakan padanya. Maka, tanpa sadar, kita mendidik anak-anak kita untuk memahami kebahagiaan dalam bentuk material: bahwa lebaran yang sempurna adalah yang diiringi oleh aroma baju baru, bukan oleh kebersihan hati atau kehangatan keluarga. Dalam sistem seperti ini, mereka yang tidak mampu membeli baju baru akan merasa tersisih. Sebuah perayaan yang seharusnya merangkul, justru menjadi sumber alienasi sosial.
Dengan kaos oblong sebagai norma baru, kita menghapus batas-batas sosial ini. Tidak ada lagi tekanan untuk tampil mewah, tidak ada lagi standar kebahagiaan yang ditentukan oleh label harga pakaian. Kaos oblong bukan hanya soal kenyamanan fisik, tetapi juga kebebasan psikologis. Dalam konteks yang lebih luas, ini adalah upaya dekonstruksi atas hegemoni budaya kapitalisme yang telah lama mendikte cara kita merayakan hari raya.
Di tengah wacana ini, pertanyaan kritis yang muncul adalah: mengapa harus kaos oblong? Mengapa bukan sekadar pakaian sederhana lainnya? Jawabannya ada pada karakter kaos oblong itu sendiri. Ia tidak mengenal kelas sosial, tidak memiliki pretensi untuk menunjukkan status, dan yang paling penting, ia nyaman. Kaos oblong adalah simbol egalitarianisme—pakaian yang bisa dipakai oleh siapa saja, dari buruh hingga pemimpin perusahaan, tanpa membuat jarak di antara mereka.
Jika kita mengambil pendekatan semiotik Umberto Eco, kaos oblong dalam konteks lebaran adalah sebuah tanda yang mendobrak konstruksi kultural. Ia menolak makna-makna artifisial yang selama ini melekat pada pakaian hari raya dan mengembalikannya pada fungsi utamanya: sebagai penutup tubuh, bukan sebagai alat pamer.
Lebih dari itu, kaos oblong juga memiliki dimensi ekologis. Industri mode cepat (fast fashion) telah lama menjadi penyumbang polusi terbesar di dunia, dengan limbah tekstil yang menggunung setiap tahunnya. Ketika lebaran diidentikkan dengan baju baru, kita secara tidak langsung turut memperparah krisis lingkungan ini. Dengan memilih untuk tidak membeli baju baru dan mengenakan kaos oblong, kita tidak hanya menantang norma sosial, tetapi juga berkontribusi pada gerakan keberlanjutan.
Setiap budaya memiliki tradisi, tetapi tidak semua tradisi harus dipertahankan. Friedrich Nietzsche pernah menyebut bahwa manusia sering kali menjadi “budak kebiasaan,” menerima norma tanpa mempertanyakan asal-usul atau esensinya. Dalam konteks lebaran, kebiasaan membeli baju baru telah menjadi doktrin yang diterima tanpa kritik, padahal ia lahir bukan dari nilai-nilai spiritual, melainkan dari narasi konsumtif yang dibangun oleh pasar.
Maka, tantangan terbesar dari gagasan Lebaran Kosong-kosong saling memaafkan dengan Tradisi Kaos Oblong bukanlah pada aspek praktisnya—karena siapapun bisa dengan mudah memakai kaos oblong—melainkan pada resistensi budaya yang akan muncul. Orang-orang akan bertanya: apakah tidak aneh merayakan hari raya dengan kaos oblong? Apakah ini bukan penyimpangan dari kebiasaan yang telah turun-temurun?
Namun, justru di sinilah letak esensi revolusi kultural: ia selalu dimulai dari ketidakwajaran. Jika perubahan sosial hanya mengikuti arus, maka ia tidak akan pernah terjadi. Yang perlu kita sadari adalah bahwa setiap tradisi, sekuat apapun, selalu bisa ditafsir ulang. Jika dulu memakai baju baru di hari raya dianggap sebagai bentuk perayaan, kini kita bisa memaknainya secara berbeda: bahwa esensi Idul Fitri bukanlah tentang baju baru, tetapi tentang diri yang baru—tanpa beban sosial, tanpa kepura-puraan, dan tanpa ilusi yang dibangun oleh industri.
Jika lebaran adalah sebuah perayaan, maka pertanyaannya: perayaan untuk siapa? Untuk diri kita sendiri atau untuk mata-mata di sekitar kita? Untuk kebahagiaan yang otentik atau sekadar memenuhi ekspektasi sosial?
Di tengah euforia kolektif, kita jarang bertanya: mengapa kita merasa perlu membeli baju baru? Apakah itu benar-benar membuat kita lebih bahagia, atau sekadar menghindarkan kita dari rasa malu? Jika lebaran adalah momentum kembali ke fitrah, apakah pakaian mahal dan aksesoris mewah merupakan bagian dari fitrah itu? Atau justru kita telah tersesat dalam ilusi yang kita ciptakan sendiri?
Sebagaimana yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be?, manusia modern terlalu sibuk memiliki hingga lupa menjadi. Kita lebih fokus pada apa yang kita kenakan daripada apa yang kita rasakan. Kita lebih khawatir dengan penampilan luar daripada kedalaman batin. Tapi lebaran sejatinya bukan tentang tampilan, melainkan tentang transformasi. Jika kita masih berpegang teguh pada ritual belanja tahunan, apakah kita benar-benar berubah? Atau hanya mengganti kulit luar sementara batin kita tetap sama?
Di dalam tradisi yang kita anggap sakral, seringkali terselip kepalsuan yang tidak kita sadari. Kita menciptakan standar-standar yang seakan-akan mutlak, padahal hanyalah konstruksi sosial belaka. Baju baru di hari raya bukanlah hukum agama, tetapi kebiasaan yang terlanjur dianggap wajib. Namun, seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir, one is not born, but rather becomes—tidak ada tradisi yang melekat sejak lahir, semuanya adalah produk sejarah yang bisa selalu diubah.
Maka, pertanyaan mendasar yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri adalah: apakah kita masih ingin menjadikan lebaran sebagai beban? Atau saatnya kita membebaskan diri dari ritual yang justru menjauhkan kita dari makna sejati? Jika lebaran adalah tentang kembali ke nol—tentang pembersihan jiwa—maka bukankah lebih masuk akal jika kita juga menghilangkan beban material yang membatasi kita?
Kaos oblong, dalam segala kesederhanaannya, bukan hanya pakaian. Ia adalah simbol dekonstruksi, simbol kebebasan, simbol bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh benda-benda yang kita kenakan.
Mungkin sudah saatnya kita merayakan lebaran dengan lebih jujur. Tidak untuk orang lain, tidak untuk membangun citra, tetapi untuk diri kita sendiri—untuk merasakan kelegaan, kebersihan hati, dan kebahagiaan yang tidak perlu dibungkus dalam kemasan mewah. Sebab bukankah yang paling penting bukan apa yang terlihat di mata, tetapi apa yang terasa di jiwa?
Lebaran yang sejati adalah lebaran yang tidak membebani. Dan mungkin, saatnya kita belajar merayakan Idul Fitri dengan lebih ringan—dengan hati yang kosong dari gengsi, dan tubuh yang nyaman dengan memakai kaos oblong. (*)
*Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media lokal dan nasional.