Ilustrasi: Handy Saputra
YANG TERDENGAR selanjutnya hanyalah suara ayam yang seolah tercekik. Ketika aku melangkah mencari sumber suara ke belakang rumah, di sana, aku lihat bapak dan ibu berjongkok, menghadap barat, Si Jalu tak berdaya akibat cengkeraman di kedua sayapnya. Pisau milik bapak telah berlumur darah. Tidak merah terang. Namun pekat kehitaman. Seolah darah ayam cemani kesayanganku adalah tumbukan arang yang telah diseduh.
Sesungguhnya aku ingin menangis. Ayam yang sering kugendong dan kuelus-elus kepalanya itu mati hari ini. Namun, bapak berujar jika uang buku pelajaran dan uang gedung sekolah belum dibayar dari empat bulan lalu. Aku melunak. Pilih tak bisa terus sekolah atau tak rela ayam kesayanganku mati. Yang kulihat selanjutnya hanyalah sebuah mangkuk plastik warna kuning yang tepat berada di bawah leher ayam. Darah yang mengucur berkilau kehitaman. Aku tak tahu kenapa bapak meletakkannya dalam wadah. Ibu menyebut nama Pak Wiryo yang tiga kali pernah datang ke rumah ini. Kata ibu, darahnya diperlukan sekali oleh beliau.
Mendengar kata Pak Wiryo, sejujurnya hatiku merasa panas. Dion, anak tetangga desa yang juga teman sekolahku, pernah sengaja menaruh tahi ayam di sepatuku ketika para siswa sedang ada kegiatan di musala sekolah dan sepatuku di teras. Dua hari lalu pun, aku bertengkar dengannya karena sering memalak dan minta uang untuk membeli jajan dia dan teman-temannya. Enak saja, padahal uang saku yang kusisihkan sengaja kubuat untuk membeli HP baru jika sudah terkumpul banyak. Namun, aku kalah jumlah. Aku dan mereka digelandang ke ruang kepala sekolah, dan aku malah dijewer ibu di rumah. Padahal seharusnya ibu tahu siapa yang salah.
“Kenapa kamu enggak ngalah saja. Pulang, lari. Beres. Jangan main-main sama anak Pak Wiryo. Dia anak orang kaya.”
“Apa kita harus takut dengan orang kaya biarpun dia yang mulai duluan Bu?”
Ibu tak menjawab. Andai bapak di rumah, tentu ia akan membelaku. “Jangan takut dengan siapa pun yang ingin mencelakaimu atau memanfaatkanmu. Sekiranya kamu di posisi yang benar, lawan! Harga diri seorang lelaki ada di situ. Kamu tahu anak Pak Malih yang rumahnya di pojok desa? Anaknya mati karena selalu mengalah dan tak pernah mau mengaku jika dinakali anak-anak yang lain. Ia korban perundungan temannya. Kasihan sekali. Model apa itu, anak begitu, enggak diajari melawan. Sekali lagi, jika kamu yakin di posisi yang benar, lawan!” Itulah pesan bapak yang selalu kuingat sampai sekarang.
Sore harinya, aku malah kaget ketika Pak Wiryo datang dengan wajah serius. Beliau datang dengan dua ajudan yang tak kukenal. Memberikan amplop putih dan berjanji akan membukakan lahan peternakan ayam, memberi motor dan melunasi utang bapak jika ia menang pemilihan. Ibu bilang Pak Wiryo mau maju jadi Bupati di wilayahku. Aku yang baru saja sembuh dari ngompol tak begitu paham dan paham percakapan mereka. Namun, ketika bapak dan ibu bilang ingin mengorbankan Si Bantak, ayam warna Wido Mlandingan yang selalu menang melawan ayam jago tetangga, entah kenapa dadaku terasa sesak. Dulu, mendiang eyang kakung pernah cerita, ayam dengan warna Wido Mlandingan, campuran hijau, hitam, kuning dan sedikit warna merah akan selalu menang melawan ayam lain.
Tak bisa dibiarkan. Demi menyelamatkan Si Bantak, juga rasa sakit hati pada Dion dan geng-nya, aku sengaja memotong sedikit jalu ayam kembarannya untuk tanda. Si Rampai namanya. Ada dua ayam Wido Mlandingan di rumahku. Saking sama warnanya, bapak kadang tak bisa membedakannya. Aku merawat Si Bantak dari kecil dan ia ingin mengambilnya begitu saja dengan amplop setipis tisu? Enak saja. Aku sengaja menukarnya.
Tiga bulan berselang dan pemilihan usai, ketika bapak mengajakku ke pasar untuk membeli ayam babon untuk dijodohkan dengan ayam jagoku yang tersisa, aku melihat orang yang pernah kuingat wajahnya. Entah benar atau bukan. Namun, kali ini ia tidak berpakaian batik rapi dan berbau wangi, dengan jidat licin rambut klimis. Yang kulihat ia terduduk di pojokan dekat bak sampah, dengan rambut ikal acak-acakan seolah kepalanya adalah buah kelapa yang belum selesai dikupas sabutnya. Bibirnya komat kamit seakan merapal mantra dengan kaus putih lusuh.
Aku bertanya pada bapak ketika ia menaikkan aku di boncengan sepeda, apakah Pak Wiryo sudah duduk di kantor Bupati seperti yang pernah bapak ceritakan? Bapak menggeleng. Tak ada kabar. Segala usaha di dunia hanya dua pilihan. Berhasil atau gagal. Sejujurnya aku sedikit sedih karena Pak Wiryo tak jadi datang ke rumahku dan berjanji memberi bapak motor jika ia menang pilihan. Namun, yang kudengar selanjutnya, bapak bilang jika Pak Wiryo itu teman masa kecil. Ia tak pernah ingkar janji. Bapak berpesan padaku ketika sepeda perlahan ia kayuh.
“Kamu tahu, apa yang terkuat di dunia ini? Bukan besi. Bukan air. Bukan angin. Bukan uang. Kalau nanti kamu punya hajat dan keinginan agar segala usahamu berhasil, minta doa pada ibumu Jang. Hanya doanya yang bisa menembus langit.”
Tetiba aku teringat dengan wajah lelaki lusuh di sebelah bak sampah tadi.
BIODATA
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersiar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Kompas.id, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dan lain-lain.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.