BADUNG, Balipolitika.com- Kepolisian Daerah (Polda) Bali memastikan sedang menyelidiki dugaan kasus korupsi di Banjar Dinas Tiyingan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Bali, Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan, S.I.K., M.H., Selasa, 19 November 2024.
“Masis berproses,” ungkap Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan.
Diberitakan sebelumnya, Kelian Dinas Banjar Tiyingan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali berinisial I Ketut S jadi pakrimik alias pembicaraan hangat di masyarakat adat setempat.
Pasalnya, saat penguburan salah seorang krama adat Banjar Tiyingan yang berlangsung pada Senin, 18 November 2024, I Ketut S tidak menunjukkan batang hidungnya.
Saat Kelian Adat Banjar Tiyingan mengumpulkan krama adat setempat terkait adanya pemeriksaan dari Aparatur Penegak Hukum (APH) terkait adanya pemeriksaan sehubungan dengan pencairan hibah Pemkab Badung di Pura Dalem Desa Adat Tiyingan pada Jumat, 1 November 2024 sore, sosok I Ketut S juga tidak tampak.
Ketidakhadiran I Ketut S secara berturut-turut sebanyak 2 kali dalam acara banjar adat menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat.
Lebih-lebih dalam pertemuan adat di Pura Dalem Desa Adat Tiyingan pada Jumat, 1 November 2024 sore ada penyampaian kepada warga agar jika ada Aparatur Penegak Hukum bertanya tentang sejumlah proyek di Desa Adat Tiyingan, Petang, masyarakat diminta untuk tidak memberikan informasi terkait dugaan pelanggaran-pelanggaran atau kejanggalan di sana.
Seiring adanya dugaan sejumlah pelanggaran ini, tanda tanya di benak masyarakat terus bergulir hingga akhirnya sampai di Redaksi Balipolitika.com.
Usut punya usut “hilangnya” I Ketut S ini dikaitkan dengan indikasi pelanggaran dalam pengelolaan dana hibah untuk pembangunan Pura Dalem di Banjar Adat Tiyingan di mana panitia proyek tersebut diketuai yang bersangkutan.
Oleh sejumlah sumber yang ditemui langsung oleh redaksi dipertegas bahwa I Ketut S adalah salah seorang oknum perangkat desa, tepatnya kepala dusun di Banjar Tiyingan. Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
“Kecurigaan masyarakat bermula karena adanya perubahan yang sangat signifikan dalam hal perekonomiannya sejak dimulainya proyek pembangunan pura tersebut. Itu diperkuat setelah adanya berita yang beredar bahwa proyek tersebut sedang diselidiki oleh aparat penegak hukum,” ucap sumber.
Secara terperinci, sumber pun menerangkan sejumlah kejanggalan lain yang bisa dilihat dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Pertama, pembentukan panitia pembangunan pura tersebut tidak berdasarkan musyawarah dengan masyarakat adat.
Kedua, tidak adanya transparansi oleh panitia kepada masyarakat sehingga sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti berapa nominal hibah yang dikucurkan oleh Pemkab Badung.
Ketiga, tidak adanya papan kegiatan sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat.
Keempat, penunjukan kontraktor proyek tidak melalui proses tender yang jelas sehingga memungkinkan untuk adanya persekongkolan antara panitia dan kontraktor.
Kelima, ada subjek pekerjaan yang tidak diambil oleh kontraktor proyek seperti jalan menuju pura yang seharusnya sejajar dengan pondasi tembok.
“Dan mungkin ada hal-hal lain yang dikurangi seperti spesifikasi bahan dan lain-lain yang tidak bisa diawasi oleh masyarakat karena terbatasnya informasi yang dibuka ke publik sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat,” ungkap sumber.
“Itu pun baru diketahui oleh masyarakat lantaran adanya pemeriksaan dari aparat penegak hukum terkait proyek tersebut yang disampaikan oleh Kelian Adat Tiyingan pada saat ada pujawali di pura. Panitia melalui Kelian Banjar Adat meminta kepada masyarakat untuk tidak memberikan informasi terkait dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut apabila ada pihak-pihak lain dari luar yang meminta keterangan,” sambung sumber.
Kepada redaksi Balipolitika.com, sumber juga menjabarkan adanya indikasi bahwa si oknum Kelian Dinas I Ketut S juga merupakan fasilitator dari hibah-hibah dalam pembangunan pura-pura lain di wilayah tersebut.
“Dalam proses pembangunan proyek ini, oknum tersebut tiba-tiba membeli rumah di wilayah Mengwi dan 2 unit mobil secara bersamaan. Jadi krama pakrimik karena yang bersangkutan tidak memiliki usaha selain menjabat sebagai perangkat desa dan petani. Jual aset pun tidak ada,” ungkap sumber. (bp/tim)