AKU RENGKUH malam melalui nista glamour kota. Di sudut jalan, dengan bersaksi pada debu dan deru motor yang menerjang; putri kecilku, Rania, usia 3 tahun, terlihat memeluk boneka kesayangan dalam sebuah gerobak nasi goreng.
“Bapak, bonekaku nggak bunyi?”
“Coba sini bapak periksa,” kataku sambil meraih boneka beruang ukuran sedang itu. “Rania pergi tidur dulu ya?”
“Rania belum bisa tidur, Pak, kalau tidak dengar itu,” jawabnya sambil usik miring ke kiri dan ke kanan. Di bawah meja tempat irisan sayur, suwiran ayam, kerupuk, dan lembar bungkusan itulah ruangannya. Berdinding seng dengan panjang semeter dan luas bahu dewasa; aku buat senyaman mungkin agar muat untuk sekadar tidur dan menepis dingin udara malam saat berjualan.
“Cepat, Pak!” desak Rania tantrum sambil menjejak kelojotan.
“Sebentar, sepertinya baterainya mati.” Aku berdiri lalu segera buka laci mencari baterai cadangan. Kuorak-arik tak ada. Habis.
Dang Ding Dung!!! Bunyi dinding seng ia tendang. Aku tambah kalut. Beberapa lembar bungkus nasi dan plastik tersibak jatuh. Tak ketemu. Aku berjinjit untuk cek kolong atas. Ada sepasang tapi juga usang. Ah, kucoba saja. Boneka kudekatkan telinga. Berbunyi. Aku hembus napas ketenangan.
“Ini Rania, sekarang bobo ya?”
Dia peluk bonekanya. Tak lama mulutnya menguap dan terkantuk.
Aku terduduk dengan mandi keringat. Aku sapukan handuk dan mengibas-kibaskan kaos. Aku tertunduk menatap batu trotoar di bawahku. Aku menggigit bibir dan terisak.
“Ya Allah, Rabiah. Apa yang terjadi denganmu,” seruku sambil menggendong Rania yang tampak bingung bercampur takut. Sekejap Rania tiba-tiba menangis meraung meski telah memeluk boneka beruangnya.
Suasana siang itu begitu mencekam dan kalut. Satu orang yang kupastikan dokter terlihat sibuk dengan dibantu beberapa perawat mondar-mandir pasang infus dan selang. Di samping kanan istriku, mesin kontrol tekanan nadi berbunyi mirip senandung yang lantunkan lara ke sukma.
“Rabiah, istrimu tertabrak mobil saat nyebrang beli susu bubuk, Karman,” jawab seorang perempuan gemuk. Dia tetanggaku, Bude Asri. Bersama Bude dan berapa orang yang simpatik itu aku dan Rania sampai di klinik ini.
“Masyallah kok bisa begitu” jawabku syok. Sementara Rania terus rewel sambil meronta-ronta meski telah kutenangkan dengan menawarinya odot.
“Coba sini Karman, biar aku yang gendong,” bantu Bude Asri. Belum sempat berpindah tangan, Rania malah tambah menggelijang dan mencengkram leher serta rambutku.
“Lha, gak mau Karman. Bagaimana ini??” Bude Asri gantian bingung.
Di tengah kerewelan Rania, dokter mendekat dan berkata.
“Bapak, suaminya?”
“Benar, dok.”
“Pak, keadaan istrinya kritis. Kepalanya mengalami benturan hebat dan retak. Darahnya juga sulit berhenti. Kita harus bawa ke rumah sakit pusat untuk tindakan operasi.”
Aku terdiam beku tak percaya. Semuanya juga tampak begitu. Tidak untuk putriku, dia masih meraung-raung dengan air mata dan mulut lebarnya. Tak lama terdengar batuk lalu hendak muntah karena tantrumnya yang makin menjadi.
Aku cukup panik dengan itu. Tapi kutenang-tenangkan. Aku condongkan kepalanya dengan posisi maju. Tak lama bertumpah ruah semua saripati makanan yang ada dalam perutnya. Muntahan menyelip hidung dan terasa berat menyiksa; maka meledak lebih kuatlah tangisan itu. Aku terpaksa harus menunjukkan kepanikanku. Meski tapak tanganku kasar, toh kucoba saja untuk menepuk pantat Rania agar memperoleh kenyamanan. Alhamdulillah, Rania mulai kooperatif. Usai dengan muntahnya, Rania terlihat sesegukan. Aku coba berikan odotnya. Syukur mau.
“Jadi bagaimana, Pak?”
“Saya setuju, dok” jawabku tanpa pikir panjang tentang biaya.
Odot Rania lepas. Aku coba tawari lagi, tak mau. Kaki mungilnya menjejak, mukanya kecut, dan kedua tangannya gerah tak tenang. Duh, Gusti, kejadian yang sama kembali terulang.
Dokter yang menyaksikan itu bersimpati dengan bertanya:
“Pak, tangisan putrinya sangat kuat. Biasanya bagaimana menenangkannya?”
Pikiranku yang tertekan berton-ton prasangka dan kecemasan buatku jatuh. Aku merebang seperti pecundang.
“Di kontrakan, putriku sangat dekat dengan ibunya, dok. Dia yang selalu gendong. Sementara itu aku hanya sibuk persiapkan bahan dan bumbu untuk jualan malam.”
“Pak, coba dekatkan putrinya ke dada ibunya.”
Aku menuruti dan makin berantakanlah semua jiwaku. Di tengah alunan napas Rabiah yang berat kembang-kempis; dengan posisi duduk tengkurap di sisi kanan, Rania diam penuh ketenangan. Aku benamkan kepalaku di atas kasur dengan tetap meremas jemari dingin Rabiah. Aku mengutuk! Akulah tulang punggung yang tak becus dalam membahagiakanmu. Akulah ayah tiada guna yang hancur jadi abu dalam menjaga putrimu.
“Kamu harus sabar dan tabah, Karman. Gusti Allah meletakkan kekuatan dalam ujian” kata Bude Asri yang seolah membaca badai dalam hatiku.
Aku menggangguk saja sebisanya sambil menahan wajahku yang bergetar sendiri. Dokter kemudian menyarankan sesuatu untuk kebaikan Rania, kami mendengarkan dan setuju dengan itu. Dokter lalu memasang sebuah kepingan alat yang ditempelkan di dada istriku.
Bansal selanjutnya didorong menuju ambulan. Baru sampai di beranda, tiba-tiba Rabiah terdengar mendengkur lepas diikuti hembusan panjang. Dokter dan tim medis bergerak kilat untuk periksa. Percuma, Rabiah meninggal dunia dengan masih mendekap Rania yang pulas dalam mimpinya.
Aku kembali sadar dalam lamunan setahun lalu itu. Kutatap Rania masih lelap tertidur dalam gerobak dengan menjadikan boneka beruang itu bantal. Sesungguhnya sekarang hanya boneka itulah yang bisa menenangkannya. Masalah besar jika sampai baterai dalam boneka itu habis. Boneka beruang itu bukan sekadar kunci bagiku. Lebih jauh, boneka itu adalah nyawaku karena di dalamnya bersemayam rekaman detak jantung Rabiah. Cuma itu yang bisa membuat putriku tenang saat gelisah dan amarah.
Selang berapa saat Rania terbangun, mungkin dia mengompol.
“Ibu belum pulang?”
Aku mengulum asam; kukeluarkan segera lalu kubungkus dalam senyuman.
“Hei?” kataku sambil mengusap rambutnya yang panjang. “Bukankah ibu sedang kerja untuk belikan boneka yang lebih besar?”
“Memang ibu kerja apa, Pak?”
“Peri. Ibumu bagikan kasih sayangnya ke semua anak baik sepertimu. Dia titipkan hatinya lewat boneka beruang ini. Pesan ibu: jika Rania rindu, peluk dan dengarkan saja. Hangat pelukannya selembut beludru bonekamu.”
Rania menjejak kasurnya dengan manja sambil tertawa. Sementara jemari kiriku menekan tombol on pada boneka.
“Tidur ya. Peri ibu nanti bahagia melihat itu.”
Bunyi detak jantung dalam boneka hasil rekaman dokter mulai mengalun bagai kidung sebelum tidur. Rania memejamkan matanya. Aku elus-elus lagi rambut putriku sampai benar-benar pulas. Merasa cukup, aku beranjak dan duduk di kursi kembali. Aku menggigil untuk yang kesekian kalinya. Maafkan aku yang tak memilki tangan lembut sepertimu Rabiah. Aku mengucek bola mataku yang sembab penuh hina. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku usap mataku cepat-cepat lalu berbalik dengan luka bertutup riang.
“Pesan nasi goreng satu, dibungkus ya, Pak?”
BIODATA
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya yang telah ia telurkan antara lain: Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), Perempuan Penjemput Subuh (Juara 2 Sayembara Novel Guru dan Dosen; Aksara Pustaka Media, 2024).