Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

PEREMPUAN YANG MENCONGKEL BIJI MATA DEMI KEKASIHNYA

Cerpen: Firman Fadilah

ANGKOT berhenti tepat di keramaian pasar. Buru-buru kucari seseorang bertubuh kurus di antara kerumunan orang asing.

“Mang Ajik!” Aku memanggilnya.

Seseorang dengan kumis lebat langsung menoleh padaku. Ia tersenyum lebar menunjukkan gigi kuning berkarat. Aku buru-buru menghambur ke arahnya, bersalaman, dan basa-basi menanyakan kabar setelah lama tak bersua.

Mang Ajik adalah teman almarhum Bapak. Mereka senasib sepenanggungan sebagai anak perantauan dari Sumatera. Saking dekatnya, mereka bagai dua bersaudara. Sewaktu kecil, Bapak sering membawaku berkunjung ke rumah Mang Ajik. Salah satu hal yang paling lekat di ingatan adalah kumis tebalnya.

Aku tak pernah tahu kalau Bapak pernah berwasiat kepada Mang Ajik untuk menjagaku selepas kepergiannya akibat tumor yang telah lama bersarang di kepalanya. Maka selepas lulus SMA, Mang Ajik mengajakku untuk bekerja dengannya.

“Ya, kerja apa aja, Dul. Kamu mau, kan? Sekarang, cari kerjaan itu susahnya minta ampun. Nggak bisa pilih-pilih. Kecuali kalau kamu anak konglomerat. Nggak usah repot-repot cari kerja!”

“Iya, Mang.”

Setahuku, Mang Ajik bekerja sebagai buruh bangunan. Dia juga punya sepetak sawah hasil merantau. Dulu, Bapak juga punya sepetak sawah, tetapi telah habis dijual untuk berobat.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Mang Ajik, kami berupaya memecah rindu dengan bercerita. Motor bebek tua pula karatan ini pun seolah enggan buru-buru untuk segera sampai.

“Nenek gimana kabarnya, Dul.”

“Alhamdulillah sehat, Mang.”

“Kalau ingat zaman dulu, nenekmu itu sangat cantik, Dul. Ia terkenal sebagai kembang desa. Sudah cantik, baik pula. Mang Ajik sampai dianggap sebagai anaknya sendiri akibat sering main ke rumah Bapakmu.”

Aku diam menyimak sambil membayangkan rumah Mang Ajik yang berdinding kayu dengan halaman luas. Di depannya tumbuh kokoh pohon rambutan yang dulu sering kupanjat hingga terjatuh sampai meninggalkan bekas luka di pelipis. Namun, sejak saat itu, kami jarang berkunjung. Bapak mulai sakit-sakitan. Yang lebih sakit lagi adalah ketika Ibu semena-mena pergi. Ia tak sudi mengurus orang yang berpenyakitan pula miskin seperti Bapak.

“Dah sampai, Dul.”

Motor bebek yang kami tunggangi berhenti di sebuah rumah kayu. Rumah yang nyaman dengan berbagai kenangan. Suasananya nyaris tidak ada yang berubah. Hanya saja, pohon rambutan itu makin tinggi dan tampak menua.

“Masuklah! Minum dan rehat dulu.”

Mang Ajik menuju halaman rumah. Di sana ada tumpukan padi yang belum dijemur. Saat hendak masuk ke rumah, tak sengaja kulihat seorang perempuan tua dengan rambut putih yang digelung sedang duduk-duduk di beranda rumahnya. Matanya sayu terpejam. Ia seolah memandang sesuatu yang sangat jauh.

 

***

 

Pagi-pagi sekali, dari arah dapur, Mang Ajik telah kalut menyiapkan sarapan dan bekal untuk ke sawah. Aku merasa malu, padahal kukira aku telah bangun lebih awal.

“Kalau mau lancar rejekinya, bangun harus lebih awal. Jangan mau kalah sama ayam,” ucap Mang Ajik.

Kutuju kamar mandi yang ada di luar rumah.  Suara batuk yang ringkih terdengar pelan. Dari kamar mandi yang tanpa atap ini aku bisa melihat seorang nenek yang tempo lalu kutemui. Rupanya suara batuk itu dari sana. Matanya terpejam menatap jalan seperti tengah menanti seseorang.

“Kalau sudah solat, langsung sarapan. Kita berangkat ke sawah,” ujar Mang Ajik. Aku segera menunaikan solat sementara Mang Ajik keluar rumah sambil membawa rantang.

Mentari perlahan naik dan kulihat perempuan tua itu masih ajeg duduk diam di berandanya. Melihat gelagatku yang aneh, Mang Ajik buru-buru mengajakku pergi.

 

***

 

“Panas banget, Mang!” rintihku sambil menyeka keringat di kening.

“Istirahat, Dul. Jangan dipaksa nanti kulitmu jadi gosong, hahaha.”

Mang Ajik mengangsurkan segelas air putih.

“Sambil rehat, aku mau cerita sesuatu, Dul,” tutur Mang Ajik. Mendengar cerita di tengah sawah menambah tenteram suasana. Aku mengangguk mengiyakan.

“Dulu, ada seorang perempuan yang ditinggal merantau oleh kekasihnya. Ia berjanji akan kembali untuk meminang si perempuan itu, tapi sampai bertahun-tahun lelaki itu tak kunjung pulang. Perempuan itu jadi pendiam dan gampang menangis. Namun, ia yakin kalau suatu saat lelaki itu akan kembali kepadanya, menikah, dan bahagia. Untuk membuktikan kesetiaannya, perempuan malang itu mengosongkan isi hati dan mencongkel kedua biji matanya. Ia tak mau hatinya diisi oleh lelaki lain. Ia juga tak mau melihat lelaki lain selain kekasihnya.”

Aku meringis ketika mendengar kata ‘mencongkel kedua biji matanya’. Kadang cinta memang segila itu.

“Lalu, apakah perempuan itu bertemu dengan lelaki yang dinantinya?”

Mang Ajik mendengus. Tangannya meraih pisang goreng di rantang. Dengan mulut penuh ia melanjutkan cerita.

“Tapi dasar lelaki itu bodoh! Demi iming-iming gaji besar, ia ikut teman-temannya jadi TKI di Malaysia.”

“Ya, baguslah. Kan, gajinya besar.”

“Bagus apanya! Kalau lewat agen masih mending. Kalau ada apa-apa ya ada yang tanggung jawab. Dia, kan, lewat jalur ilegal, terus katanya dia ketangkep dan sampai sekarang entah kabarnya gimana.”

“Lalu, nasib perempuan itu gimana, Mang?”

“Dia itu tipe perempuan setia, Dul. Jadi, ya, sampai kapan pun, dia tetep nunggu lelaki itu pulang. Konyol, kan? Kaya nggak ada lelaki lain aja!”

“Iya konyol.”

“Tapi yang namanya manusia nggak bakal bisa hidup sendiri, Dul. Kita perlu teman curhat. Perempuan itu memutuskan untuk mengadopsi anak yang nggak diurus sama orang tuanya. Aku juga kadang nggak habis pikir. Ngurus dirinya aja susah, ini malah ngurus orang lain. Tapi perempuan itu hebat. Dia nggak pernah ngeluh, meski hatinya sudah kosong dan matanya tak pernah terbuka.”

Selepas suara azan lenyap antara sayup angin dan kicau pipit, kami memutuskan untuk pulang. Sudah kuduga, Nenek itu masih duduk di sana. Aku terpaku saat melihat Mang Ajik yang lekas menuntun Nenek ke dalam rumahnya.

“Solat dulu, Mak. Sudah azan,” ucap Mang Ajik. Aku bungkam seribu bahasa sesaat setelah memahaminya.

Mang Ajik meraih tangan Nenek, tetapi Nenek malah menangis tersedu. Barangkali ia tahu, selama apa pun dirinya menunggu, ia tak akan pernah bertemu dengan kekasihnya.

Tanggamus, 24 Maret 2022

*Ilustrasi: Mediana Ayuning Putri Pradnyasasmitha

 

===========================

Biodata

Firman Fadilah, tinggal di Tanggamus, Lampung. Buku kumpulan cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2020). Cerpen yang telah terbit, “Bandot Pengen ke Mekah” dalam antologi cerpen Pendar Cahaya Adha (Jawa Timur: CPM, 2020) dan “Gadis Bercadar Hitam” dalam buku Stop Bullying (Jawa Barat: LovRinz Publisher, 2020).

Mediana Ayuning Putri Pradnyasasmitha, lahir Singaraja, Bali, 20 November 2000. Saat ini menempuh pendidikan S1 Fakultas Biologi Universitas Udayana. Baginya melukis adalah hobinya sejak kanak-kanak dan berlanjut hingga kini. Pameran yang pernah diikutinya adalah “Silang Sengkarut” di Dalam Rumah Art Station, Denpasar. Kegelisahan Medi dalam berkarya bisa disimak di IG @med_ian21dan FB Med Icin.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!