ILUSTRASI – Cetik, bebai, hingga pepasangan adalah hal lumrah yang sudah ada di Bali sejak dahulu kala. Hal ini juga berkaitan dengan ilmu hitam.
BALI, Balipolitika.com – Bali memang terkenal dengan unsur sekala dan niskala sejak lama. Dari zaman leluhur, kedua unsur sekala dan niskala ini sudah melekat.
Sehingga masyarakat Bali, khususnya masyarakat Hindu percaya bahwa alam nyata dan gaib itu ada. Untuk itu upacara yadnya dilakukan, sebagai penyelarasan alam semesta beserta isinya.
Budaya klenik kuno yang masih ada di masyarakat, adalah tentang cetik, bebai, dan pepasangan. Cetik adalah racun tradisional yang pembuatannya dengan bahan-bahan cukup langka serta tidak lazim.
Pembuatan cetik memang menggunakan bahan-bahan yang terkadang tidak masuk akal dan nalar manusia. Cetik biasanya masuk ke tubuh manusia melalui perantara makanan dan minuman.
Serta dalam pembuatan bahan-bahannya, ada ritual tertentu atau ada mantra tertentu dengan tujuan lebih meningkatkan energi racun tersebut.
Bahan-bahan dari cetik itu banyak, salah satunya adalah dengan menggunakan binatang berbisa, ada pula yang menggunakan yuyu gringsing.
Ada yang menggunakan kerikan gong atau gangsa, ada yang menggunakan ikan buntek, ada juga yang menggunakan bahan dari logam.
Ada yang memakai medangnya bambu, menggunakan waluh. Namun ada juga menggunakan encakan tulang atau air bekas memandikan mayat.
Banyak jenis daripada cetik, ada cetik kerikan gangsa, cetik gringsing, cetik cerongcong polo, cetik reratusan, cetik badung, cetik medang api dan lain sebagainya.
Dan bahkan air keras pun, bisa untuk cetik. Cetik sigar mangsi menggunakan lateng yang ada di laut. Cadang galeng adalah cetik yang menyerang kepala sehingga korbannya tidak bisa tidur atau insomnia.
Kemudian antara cetik dan bebai jelas berbeda. Sebab bebai bahan atau sarananya, umumnya menggunakan mahluk hidup atau mahluk yang pernah hidup.
Jadi dengan perantara roh penasaran atau bagian dari mahluk tersebut. “Ada yang menggunakan organ tubuh manusia, seperti janin, darah, otak manusia yang telah meninggal dan lain sebagainya,” sebutnya.
Bahan itu kemudian dimantrai atau didoakan, sehingga sifatnya hidup dan bisa berpindah. Untuk itu, praktisi pengobatan bebai harus berhati-hati dalam menangani penyakit bebai.
Sebab penyakit bebai ini, ada proses yang cukup berat atau ritual-ritual yang berat dalam menghidupkan sarana bebai tersebut.
Setelah itu menaruh sarana bebai pada tempat khusus, atau wilayah sakral yang ada di sebuah wilayah.
Pembuatan bebai memerlukan hitungan hari baik, dan pengerjaannya ada yang sampai 15 hari dalam proses pembuatan sarana bebai tersebut.
Kemudian dalam proses pembuatannya, bila bahan sudah lengkap, lalu memohon anuegrah kepada penguasa gaib wilayah sebuah desa. Agar bebai itu mendapatkan kekuatan untuk dikirimkan kepada korbannya.
Ada juga pepasangan, yang cukup berbeda dari bebai dan cetik. Pepasangan menggunakan benda-benda sarana tertentu seperti buntilan, sambuk, jarum, rambut, kasa merajah, dan lain sebagainya.
Itu lalu dengan tujuan menyakiti. Orang jahat akan memasang di sekitar rumah atau tempat tinggal dari calon korbannya.
Pepasangan pada umumnya berada di tempat rahasia, yang bisa terlewati oleh korban. “Jadi bila pepasangan itu sampai korban tahu ada, entah sengaja atau tidak. Maka otomatis kekuatan pepasangan itu akan turun secara drastis. (BP/OKA)