BADUNG, BaliPolitika.Com- 15 hari sudah kwintansi atau bukti tanda terima senilai Rp 250 juta bermaterai 6000 yang ditandatangani aktivis tolak reklamasi I Nyoman Mardika beredar. Namun, hingga Jumat, (2/10/2020), PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) Kabupaten Badung yang tertera mengeluarkan tanda terima tertanggal 22 September 2015 nomor 01 untuk tali asih kepada Mardika belum juga bergeming.
Kondisi ini memantik pertanyaan apakah bukti tanda terima senilai Rp 250 juta yang mengerucut pada nama Mardika memang benar dikeluarkan PT TWBI atau pihak lain. Termasuk apakah kwintansi tersebut asli atau palsu mengingat tanda tangan pemberi tidak tertera di sebelah tanda tangan penerima. Kepentingan di balik keluarnya tanda terima bernomor 01 itu juga menarik disimak.
Sayangnya, seiring tak bergemingnya PT TWBI, pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga Jumat (2/10/2020) tak terjawab. Di sisi lain, persoalan justru menggelinding pada tantangan sumpah cor Mardika yang diterima oleh I Wayan Setiawan, yakni oknum yang mengunggah surat tanda terima nomor 01 Jumat (18/9) pagi.
“Saya tidak pernah bertemu dengan PT TWBI. Saya memang pernah ingin dipertemukan dengan orang PT TWBI, tapi saya tidak bersedia. Sekitar tahun 2016. Kalau terima uang, saya banyak terima uang dari pihak-pihak lain. Terima honor dan sebagainya dengan argumentasi yang jelas, tapi bukan dari PT TWBI,” ucap Mardika, Senin (28/9/2020) siang.
Mardika tak menampik, ada tawaran-tawaran sebagaimana yang termuat dalam bukti tanda terima nomor 01. Pertama, memberikan semua informasi yang berkaitan tentang gerakan tolak reklamasi walaupun masih berada di kelompok tolak reklamasi. Kedua, membantu PT TWBI dengan cara bersikap netral dan secara perlahan tidak ikut dalam aksi unjuk rasa (unras) tolak reklamasi. “Saya intinya tetap bergerak (tolak reklamasi, red). Tidak pernah saya berhenti bergerak dalam konteks isu lingkungan, reklamasi Teluk Benoa, dan lain-lain. Setelah ini saya akan berteriak tentang reklamasi Pelabuhan Benoa sepanjang datanya bisa dipertanggungjawabkan. Kalau dipertemukan dengan investor, saya pasti koordinasi dengan teman-teman,” ungkapnya.
Terkait nama terang, alamat, dan tanda tangan yang tertera di surat tanda terima 01, Mardika menyebut bentuk tanda tangannya memang sesuai. “Cuma bentuk kwintansinya saya tidak tahu. Kwintansi seperti itu saya tidak pernah menandatangani. Terkait sumpah cor dan sebagainya, jujur saya takut juga. Karena saya tidak ngerti sumpah cor itu apa. Kalau diajak ngobrol ayo. Kalau mau buka-bukaan ayo. Kalau pun saya dianggap seperti itu (dituduh terima uang, red), buka saja semua. Buka-bukaan itu yang kita tunggu. Siapa mendapatkan apa. Walaupun saya dituduh ya tak apa. Nanti pasti ada langkah-langkah berikutnya. Langkah berikutnya apa saya juga belum tahu,” tegas pria murah senyum itu.
Dipertegas mengenai langkah hukum yang akan ditempuh, dengan santai Mardika menjawab bahwa dirinya menunggu buka-bukaan. “Maksud buka-bukaan seperti yang ditulis itu mungkin ada aliran dana ke sejumlah pihak. Mungkin tidak hanya yang dituduhkan kepada saya, tapi ada sejumlah pihak yang disinyalir menerima. Kalau buka-bukaan saya senang. Gamblang jadinya,” tutup Mardika.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, diketahui pada tahun 2015 silam, pemilik kelompok usaha Artha Graha, Tomy Winata sekaligus investor PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) mempertanyakan penolakan sejumlah pihak terkait revitalisasi Teluk Benoa yang dimaksudkan untuk membangun pariwisata Bali. Dari nilai total proyek yang mencapai Rp 30 triliun, PT TWBI disebut telah membelanjakan sekitar Rp 1 triliun untuk ongkos konsultan, uji lapangan, dan uji kelayakan. Kala itu, PT TWBI mengeluarkan data setidaknya ada 61 bangunan yang menyalahi izin kawasan di Bali. Bahkan ada yang membuang limbah di sekitar kawasan mangrove. (bp)