JIKA suatu negeri sedang sakit, obat apa yang paling mujarab untuk menyembuhkannya? Aku mencoba bertanya kepada kakek yang merupakan bekas veteran. Umurnya sekarang delapan puluh lima tahun. Kulitnya keriput, bulu alisnya memanjang, agak melengkung ke bawah. Kumis dan janggutnya memutih dan bulu hidungnya sedikit menyempil keluar.
Suatu waktu, aku memberanikan diri menanyakan tentang asal muasal bulu hidungnya yang menyempil keluar. Bekas veteran itu menjawab karena bulu hidungnya ingin mengintip kekalutan negeri yang ia perjuangkan dahulu kala.
Tentang pertanyaanku, kakekku hanya bisa termenung. Ia menunduk ke bawah dengan wajah yang muram. Sesekali ia menengok ke atas, menatap tajam sekumpulan awan putih di langit.
“Setelah bebas dan merdeka, mereka lupa keringat dan darah pahlawan mereka.” Ucap kakek dengan suara serak basah.
Ia kembali menunduk. Aku melihat ada kemarahan yang ia sembunyikan dari raut wajahnya. Namun, tidak bisa diungkapkan atau mungkin sengaja disembunyikan. Setelah beberapa lama menunduk, ia kembali menatap langit dengan wajah yang sama; muram dan tanpa harapan.
Apa obat mujarab untuk negeri yang sakit? Sepotong kalimat tanya keluar dari mulutnya. Ia lakukan itu untuk mengulang kembali pertanyaanku dengan kata-katanya. Pertanyaan itu diulang-ulang beberapa kali; tujuh kali, sepuluh kali atau mungkin belasan kali sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Aku setia menunggu jawaban kakek, karena menurutku menanyakan kebangkrutan moral suatu negeri kepada seseorang yang telah memperjuangkan negeri dengan darah dan nyawa adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Kadang-kadang harus bersabar, teliti dan menyimak setiap kata yang ia ucapkan. Giginya yang telah rontok menyulitkannya mengucapkan kalimat secara jelas. Itu alasanku harus bersabar.
“Dulu, kami menangisi negeri karena tanahnya dirampas paksa oleh penjajah, kulit pipi basah oleh darah, perut lapar di medan tempur dan kaki pincang akibat tembakan peluru.” Lanjutnya lagi tanpa memberi jawaban atas pertanyaanku terlebih dulu.
Setelah berujar, bekas veteran itu kembali menunduk sejenak, lalu kembali menatap langit. Aku hanya diam, tidak menanggapi apapun dari ucapanya. Aku sama sekali tidak berniat merusak kontemplasi antara batin dan pikirannya.
“Sakit jiwa memang sukar disembuhkan. Apalagi soal negeri yang isinya bukan satu dua orang saja, tapi segerombolan orang yang mendaku sebagai anak negeri.”
Aku cukup mengerti kegelisahan yang disembunyikan oleh bekas veteran ini.
Kegelisahannya semakin mantap bersamaan dengan gemercik gerimis yang membasahi rambut ubannya. Ia menunduk sambil menghela nafas panjang. Tak lagi menatap langit karena tidak lagi biru. Awan juga tidak lagi putih, namun menghitam dan sebantar lagi akan berembun dan menjelma bola-bola kecil sebesar biji kelingking.
Kami segera masuk ke rumah. Meja dan kursi yang menghadap bebukitan yang kami susun bersama kini basah disapa hujan. Hujan datang dan kami belum selesai dengan pembicaraan kami tentang suatu negeri yang sakit; suatu negeri yang dekat tapi terasa jauh dan tanpa rasa memiliki secara utuh. Sementara itu, hari mulai petang dan kami hanya bisa memandangi meja kayu dan rerumputan di halaman rumah.
Kakek masih sibuk memandangi gemercik hujan lewat jendela kaca. Aku tidak mengganggu lamunannya sama sekali. Aku yakin lamunan seorang bekas veteran dapat dijadikan sebagai perenungan hidup oleh anak-anak negeri, khususnya anak sebayaku. Sekitar lima menit berlalu, kakek beranjak dari tempat duduknya, tepatnya dari kursi bambu yang terbuat dari bambu tutul dengan bintik coklat tua, ada juga bintik hitam yang terlihat berjejer tidak rapi.
Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Aku melihat jalannya begitu lamban dan sedikit membungkuk. Ia tampak tertatih-tatih. Sesampainya di jendela, ia memegang besi jendela dengan kedua tangannya. Lagi-lagi, ia hanya memandangi gemercik hujan yang turun tanpa irama dan ketukan yang jelas. Hujan adalah musik yang paling buruk, tapi memiliki simfoni khas yang menyuburkan bumi negeri ini.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba kakek berbalik arah menatapku dengan tajam. Ia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. “Siapa yang paling berdosa atas semua keburukan negeri?” Tanya pria tua beruban itu.
Aku yang menunggu jawabannya sekian lama, kini harus memikul beban yang besar untuk menjawab pertanyaannya. Pertanyaan yang tampak sederhana, tapi tidak dengan jawabannya; rumit dan mungkin terdengar berbahaya jika diucapkan di khalayak ramai. Untung saja pembicaraan ini hanya terbatas antara seorang cucu laki-laki dan seorang Mantan Veteran Nasional.
Aku diam. Memberi sedikit ruang bagi kata-kata yang tak terucap dan tak terdengar teruntai dan berjibaku dalam batin sebari melihat tatapan kakek. “Si Kepala Negeri? Si Penyalur Aspirasi? Si Loreng? Si Baju Coklat? Si Penuntut Berjubah Hitam? Atau Si Pengadil?” Batinku dengan amat serius. “Atau rakyat? Ini pilihan sulit, tidak mungkin rakyat.” Hatiku terus meringkik gundah.
Aku ingin sekali menyebut semua nama yang terlintas itu dalam sebentuk suara yang keras. Tapi, Aku tidak mampu, atau barangkali sengaja kusembunyikan dan tak kubiarkan suara itu keluar; berhembus, lalu menyelinap melalui pori-pori angin. Aku merasa seakan ada energi dari dunia luar yang menghambat suaraku. Aku diam, tertegun tanpa suara. Sementara kakek menatapku, berjalan pelan menuju tempat duduknya seperti semula.
“Ucapkan saja apa yang terlintas dalam hatimu.”
Aku terperanjat. Aku menatap kakek dengan tatapan ringan. Seakan kakek mendengar ringkikan batinku. “Siapa yang patut disalahkan jika laut telah dipagari, tanah-tanah subur menganga seperti kawah, dan hutan-hutan dibabat tanpa kasihan dengan kehidupan binatang?” Dadaku semakin sesak mendengar pertanyaan kakek.
“Rakyat?” Lanjutnya.
“Tentu, itu fitnah yang begitu kejam untuk rakyat,” jawabku.
“Lalu?”
Dadaku kembali sesak. Energi itu semakin kuat mencekik leherku. Pita suaraku menyempit membikin kata-kata menjadi sulit keluar. Ingin sekali Aku meringkus energi jahat itu dan membabat habis tubuhnya dengan belati peninggalan leluhurku agar kata-kata yang terpenjara bisa keluar menyuarakan kesaksiannya bagi negeri ini.
Kakek seperti kuatir, mungkin lebih tepatnya menaruh curiga. Ia mendekatiku perlahan dan duduk di sampingku. Ia menaruh telapak tangan kanannya ke pahaku dengan sedikit elusan. Beberapa kali gerakan bolak-balik tersebut ia lakukan untuk menenangkanku. Menstabilkan detak jantungku yang dalam beberapa menit percakapan ini telah menghabiskan belasan ribu detakan, berbeda dari hari biasanya.
Kakek memandangi kesemrawutan di wajahku. Seperti ia sedang membaca pikiranku. Aku melihat balik wajahnya, memandangi bola matanya yang hitam temaram, warna putih di matanya sedikit bercampur warna kekuningan. Kulit keningnya mengkerut dan pipinya membuat lekukan yang sedikit masuk ke dalam rahangnya.
“Siapa yang perlu disalahkan, Kek?” Tanyaku lagi setelah ia menjauh dan kembali ke tempat duduknya yang semula.
“Si Kepala Negeri? Si Penyalur Aspirasi? Si Loreng? Si Baju Coklat? Si Penuntut Berjubah Hitam? Atau Si Pengadil?”
Aku kembali tersentak kaget mendengar jawaban Si Mantan Veteran. Tubuhku terjungkal sedikit ke belakang. Kupegang dadaku, terasa detak jantungku mendedas begitu kencang.
Aku hanya memberikan gelengan kepala untuk menjawab pertanyaan bekas veteran itu. Meski jawaban yang ada dipikiranku sama. Tapi, Aku tidak bisa menentukan siapa yang benar-benar bersalah. Masing-masing mereka mendAku anak negeri, pengabdi, dan pelayanan bagi kesusahan dan air mata.
“Apa obat mujarab bagi sebuah negeri yang sakit jiwa?”
Kakek hanya diam mendengarkan pertanyaanku lagi. Tak lama, tampak tangannya bergerak ke arah plastik hitam dan mengambil sekepal tembakau dan daun jagung kering di dalamnya. Si Mantan Veteran membuka lipatan daun jagung dan menaruh daun tembakau di atasnya. Di tariknya tembakau tersebut dengan gerakan pelan sampai memanjang ke setiap sisi daun jagung.
Lalu, dirapikannya tembakau itu agar tidak menyempil keluar seperti bulu hitungnya. Ia melipatnya perlahan dan setelah benar-benar rapih, ia menaruhnya di antara dua bibirnya. Lantas, ia mengambil korek dan membakarnya. Terlihat rona merah diujungnya dan asap mengepul ke atas. Membuat semacam awan buatan di langit-langit rumah.
“Meminta penjajah datang kembali menguasai tanah negeri ini.” Jawab mantan veteran itu tiba-tiba. Tentu Aku diliputi oleh keheranan. Masalahnya, negeri ini telah bebas dan merdeka. Apa alasan negeri ini ingin kembali dijajah? Aku bertanya lagi.
“Agar mereka semua sadar betapa darah tak berarti apa-apa bagi perjuangan
membebaskan negeri ini.”
“Itu bukan pilihan yang tepat.”
“Tentu saja itu bukan pilihan yang tepat.” Jawabnya lagi.
“Lalu?”
Si Mantan Veteran berfikir sejenak.
“Sambil menunggu kemurkaan Tuhan.”
BIODATA
Kha. Majdi bernama lengkap Khaerul Majdi lahir di Aikmel, Lombok Timur, 9 Agustus 2002. Kuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (HIMMAH NWDI). Selain itu, Ia juga aktif di perpustakaan mini Keluarga Nomaden sebagai ketua pustaka. Tulisannya dimuat dibeberapa media online, seperti: Balipolitika, Negeri Kertas, Radar Utara, Riau Sastra, Himmah Online, dan Suara Muhammadiyah.