KETU – Ketu atau genta sulinggih menjadi lambang penting bagi seorang pandita dalam Hindu, khususnya di Bali.
BALI, Balipolitika.com – Belakangan banyak sekali masalah yang berkaitan dengan pandita atau sulinggih, terjadi di Bali.
Tentu saja ini meresahkan dan harus menjadi atensi semua pihak, khususnya PHDI dan lembaga berkaitan lainnya.
Sebab seorang sulinggih atau pandita, adalah orang yang telah suci bahkan lahir kembali kemudian menjadi panutan umat dalam menjalankan kehidupan beragama Hindu, khususnya di Bali.
Oleh sebab itu, seorang pandita atau sulinggih harus bisa mengikat diri dari keterikatan duniawi dan Panca Indria.
Tidak bersenang-senang adalah salah satu aturan, yang harus ditaati seorang sulinggih. Ida Bagus Purwa Sidemen, menuliskan secara lengkap bagaimana kutukan menjadi seorang sulinggih.
Ia menuliskan di media sosial Facebook yang kemudian viral dan banyak dikomentari warganet. Tulisannya terinspirasi dari Mangku Sudiarta Yasa.
Berikut penjelasan dari Ida Bagus Purwa Sidemen tentang kutukan bagi seorang sulinggih berdasarkan buku Shastra Wangsa.
Buku ini mengupas sesana dari semua Wangsa, mendudukkan sistem Wangsa sebagaimana harusnya ( yaitu sebagai tatanan, tugas & tanggung jawab sosial), bukan malah menjadi status sosial seperti yang kini membuat segelintir orang fanatik.
Sulinggih, kata dia, berasal dari kata su yang berarti mulia dan linggih yang berarti berkedudukan. Sehingga seorang sulinggih berarti seseorang yang berkedudukan mulia. Baik dalam perbuatannya, perkataannya, hingga pemikirannya.
Maka dari itulah, aturan ketat sangat berlaku dalam sesana seorang sulinggih. Sebab seorang pandita atau sulinggih ini, memiliki tugas yang sangat berat baik secara sekala maupun niskala.
Tidak semata-mata dalam menyelesaikan ritual keagamaan saja atau upacara yadnya. Namun juga memastikan ritual tersebut berhasil mendatangkan manfaat yang ingin dicapai, untuk kemaslahatan umat.
Sehingga tidak heran, sejak dahulu kala masyarakat Hindu, khususnya di Bali sangat menghormati seorang sulinggih.
Seorang Sulinggih juga tidak boleh lagi, melakukan hal-hal selayaknya yang dilakukan kebanyakan orang. Dan jika sulinggih bersangkutan melanggar, maka ada beberapa kutukan, temah dan pastu yang akan tertuju padanya.
Wiku Amayong-Mayong, pada saatnya akan mendapatkan neraka, karena benar-benar tidak tahu bagaimana tingkah laku putus itu.
Namun perilakunya masih serba meraba-raba. Sungguh-sungguh wiku zaman Kali. Wiku Amayong-Mayong namanya bukannya menyebabkan kerahayuan jagat, sebaliknya menyebabkan kehancuran, karena berat pada pamrih dan Weda mantra tanpa perhatian.
Sebaiknya seorang wiku, tidak terpengaruh oleh harta kekayaan, sebab lantaran terikat kesenangan, yang berpengaruh pada mantra menjadi tidak berkekuatan. Pengetahuan tidak ada. Weda tidak menembus pada
kehalusan Tattwa.
Wiku Anilibaken Rat, wiku jenis ini mengharapkan balasan jasa atau guru yaga yang besar. Sehingga jalan pikiran wiku jenis ini, akan menggampangkan Weda dan Sastra, karena mengira orang yang punya yadnya tidak akan mengetahui salah benarnya.
Seperti itu, jalan pikiran wiku jenis ini. Apabila ada wiku sekelas ini, janganlah hendaknya dijadikan tempat penyucian, baik untuk Upacara Mayat ( Sawa Wedana ), Upacara Abu Jenasah ( Asti Wedana).
Karena tidak akan mampu, wiku jenis ini membersihkan kekotoran mayat, kalau untuk upacara abu jenazah, tidak akan bisa dientaskan kekotoran abu-abu jenazah itu.
Wiku Anyolong Smara, Wiku Anyolong Smara adalah sebutan untuk seorang pandita yang melakukan hubungan badan dengan seorang, atau beberapa orang perempuan yang bukan istrinya. Menurut sastra dan sasananya, Wiku Anyolong Smara seperti itu harus segera dicabut status kepanditannya.
Sebagaimana dikutip dari Lontar Rajapati Gondala (dalam Buku Shastra Wangsa) berikut ini :
Asu Amundung adalah satu istilah yang ditujukan kepada seorang pandita, yang bertengkar di tengah pasar. Menurut sastranya, pandita ini harus diupacarai atau maprayascita ulang.
Apabila ada pandita yang bertengkar di depan rumah Guru Nabenya, menurut sastra zaman dahulu harus didenda sebesar lima ribu uang kepeng bolong. Demikianlah seorang pendeta yang bertengkar disamakan derajatnya dengan anjing atau asu.
Asu Anglulu ring Longan adalah istilah yang ditujukan kepada pandita, yang membantu seseorang melarikan seorang gadis. Menurut sastra zaman dulu, pandita ini harus dihukum denda lima puluh kepeng, dan diupacarai prayascita ulang.
Demikianlah, seorang pendeta yang terlibat dalam melarikan gadis disamakan derajatnya dengan anjing di bawah kolong.
Asu Marebut Tai adalah istilah yang ditujukan kepada seorang pandita, yang senang bertaruh di dalam arena perjudian. Menurut sastra, pendeta seperti ini harus diprayascila ulang. Demikianlah, pendeta penjudi disamakan derajatnya dengarı anjing pemakan kotoran.
Berikut ini merupakan jenis-jenis pandita yang diberi pastu, karena sudah ingkar dengan sesana kepanditannya.
Wiku Cacing disebutkan di dalam teks berjudul “Wiksu Pungu, adalah seorang pandita yang memperkarakan sepetak sawah yang tidak bisa lagi diperkarakan.
Wiku Kalicun Kataka disebutkan di dalam teks Tatakrama Ning Wiku Mayasa Dharma, adalah seorang wiku yang berjumpa dengan musuhnya, kemudian membuat pertengkaran.
Wiku ini sangat beresiko, bukan Wiku Dharma melainkan Kalicun Kataka namanya wiku seperti ini tidak boleh melakukan Puja Parakkırama karena sudah salah jalan namanya
Wiku Sisu Paling disebutkan di dalam teks Shastra Purwana Tattwa, adalah seorang pandita yang dan sisi luarnya kelihatan suci, tapi di dalamnya dusta, loba, iri hati, dan sejenisnya.
Wiku seperti itu akan menumbuhkan banyak masalah, bagi lingkungan sekitarnya karena pandita seperti itu sudah bermasalah di dalam dirinya sendiri, yakni beda di dalam lain di luar. (BP/OKA)