POTRET DIRI DI STASIUN SHINJUKU
Tulisan di papan reklame tempat
aku menangkap bayangan diriku sendiri itu dalam aksara Kanji.
Di belakangku, seorang pria berjas abu-abu berjalan cepat,
berbicara pendek-pendek dalam bahasa yang bukan milikku.
Lalu seorang wanita,
melangkah lebih pelan, membawa payung tertutup,
tas belanja menggantung di lengannya.
Di stasiun ini, tempat orang-orang berjalan tanpa menatap satu sama lain,
bersama aroma ramen yang mengepul dari kios kecil,
yang selalu ada di mana-mana.
Betapa nikmatnya menjadi anonim di kota ini.
Siapa sangka ini bisa menjadi hidup—
mengandalkan isyarat alih-alih percakapan,
mencoba memahami artinya menjadi orang asing
hanya dengan mendengar bisikan di peron kereta.
Aku pergi ke kota-kota yang jauh,
tak begitu penting yang mana,
karena aku selalu siap untuk menjadi tidak terlihat.
Semua tempat ini memiliki gedung-gedung tinggi
yang membayangi sungai kecil yang mengalir di antara jalan sempit,
airnya memantulkan lampu merah yang tak pernah padam.
Hal-hal biasa yang dulu tak kurindukan,
karena dulu aku tak tahu aku akan kehilangan semuanya.
Aku menghabiskan begitu banyak waktu sendirian,
hingga ketika kesepian akhirnya datang, rasanya seperti dengung listrik di kabel udara.
Aku yang terasing adalah cara aku memahami dunia.
Ketidaktahuanku telah menyelamatkanku, kesalahanku yang membawaku ke sini,
lalu aku berusia empat puluh.
Aku, yang gemar mengamati dan mengamati,
tak bisa membaca tanda-tanda seperti yang dilakukan orang lain.
Sekarang aku memikirkan harga yen, frasa yang gagal aku terjemahkan,
betapa timpangnya mereka,
sementara bayanganku membaur dengan wajah lain di jendela kereta.
Ingin berada sejauh mungkin, sebanyak aku ingin tetap bersamamu.
Tanpa malu-malu duduk di kafe kecil di sudut Shinjuku (wifi gratis) untuk menulis ini.
2025
TANPA MARIBETH, TENTUNYA
Pukul satu dini hari, bulan terkulai malas di atas Denpasar,
lampu-lampu jalan berkedip seperti not-not tercecer,
udara lengket dengan garam laut yang mengendap di jendela.
Jazz, kata mereka, berasal dari slang Amerika,
kata yang berdenyut seperti tubuh di atas ranjang,
sebuah sinonim bagi persetubuhan, bagi ritme yang liar & bebas.
& di rumah singgah ini, jazz bukan sekadar musik,
tapi dentuman tubuh, getaran napas,
sepasang turis Prancis sesama jenis
menyusuri bebop kulit masing-masing.
Mereka bercinta dalam pola comping—
tangan mengejar, merespons, memukul mundur
lalu maju lagi,
seperti jemari Monk yang menari
di atas tuts piano,
menghentak keras di satu detik, lalu melayang,
sinkopasi dalam gesekan punggung ke sprei,
perubahan akor yang tak bisa diprediksi.
Di luar, Denpasar masih berdenyut dalam swingnya sendiri,
warung kopi di sudut gang menumpahkan kantuk ke jalan,
seorang lelaki membaca Jengki Sunarta,
menghisap sajaknya dalam asap rokok
lalu membuang abu
pada asbak berbentuk ayam jago.
Kamar ini stride piano,
dimana kaki mengatur keseimbangan, tangan
merangkai harmoni, dan improvisasi tubuh tak pernah
benar-benar mengulang pola yang sama.
Pukul satu dua puluh, bulan masih menjadi saksi,
menyaksikan mereka jatuh ke dalam chromatic runs,
berguling di antara nada biru yang menguap dari kulit.
Di sudut lain kota, seorang penyair menulis dalam stakato,
melempar ritme ke dalam kata, menahan, lalu melepaskannya,
seperti Tan Lioe Ie, menyusun bait yang tak butuh ketukan tetap.
Di udara, “Straight, No Chaser” berdentang seperti mantra,
di kamar ini, lenguh & bebop berpadu jadi satu,
Denpasar bernapas dalam jazz, bernapas
dalam mereka.
Tanpa Maribeth, tentunya.
2025
BAGAIMANA SAMUDRA MENJADI LANGIT
Samudra kami dulunya tak terpisah. Dulu ia adalah Laut Selatan.
Gelombang biru yang mampu membawa
apa pun yang disentuhnya—dalam debar pasang naik—
menyapu pulau hingga ke cakrawala.
Sekarang ia terpecah oleh tambang nikel dan kapal-kapal raksasa,
jalur minyak dan pipa-pipa bawah laut
mengalirkan emas hitam
ke kilang dan kilowatt
di Jakarta dan Singapura.
Demi menyelamatkan penyu kami, kami mengangkat mereka dari pantai yang hancur,
melepaskan mereka ke langit, menjadikan mereka bintang—
Penyu Hijau, Pari Manta, Hiu Paus—
Di atas sana mereka berenang, bersisik sinar bulan.
Kau melihat mereka sekarang—
besar seperti mitos, cangkang perak-biru,
sirip seperti bayangan awan—
meluncur di antara malam-malam terdalam,
mengoyak langit hitam menjadi samudra bintang.
Jejak kabur yang mereka tinggalkan saat melintasi langit malam
kita sebut
Laut Bintang Selatan—
nama kami untuk Orion.
Nyi Roro Kidul juga ada di atas sana, terkunci dalam pusaran angin,
setelah gagal membawa pulang prajuritnya, selendang hijau
melayang basah di udara,
seorang ratu yang terdampar dalam doa,
berharap bisa menyentuh sirip terakhir yang meninggalkan lautnya.
O, betapa lemahnya tangan apa pun
saat ia mencoba menangkap air yang terus mengalir,
atau tubuh yang telah menjadi mitos.
Seperti halnya tanganku sendiri, yang bermimpi meraba kulitmu,
menyusuri arus keinginan yang panjang,
seratus ribu tahun cahaya melewati punggung dan lehermu.
2025
SINEAD DI KATEDRAL SUNYI
Pukul setengah sembilan, aku tiba di gereja kecil ini,
kursi-kursi kayu berderit di bawah langkahku.
Di sisiku, hanya bayanganku sendiri.
Jika ini adalah dunia lain,
mungkin aku menemukannya di atas panggung,
rambut cepak, suara retak,
menyanyikan “Nothing Compares 2 U”
dengan mata yang tak pernah berpaling,
seolah masih ada seseorang
yang harus ia tatap, yang harus ia rindukan.
Tak ada yang bisa lebih jujur dari itu. Tak ada.
Dia bilang dunia ini terlalu bising,
terlalu kasar, terlalu penuh tangan-tangan
yang mengoyak sesuatu yang seharusnya tetap utuh.
Dia bilang dia lelah menjadi suara
yang berteriak dalam kehampaan,
bahwa doa-doanya hanya dipantulkan
dinding-dinding yang tak mendengar.
Lalu ia memilih sunyi, memilih nama baru,
Shuhada’ Sadaqat,
dan ketika dunia tak lagi memeluknya,
ia bersujud dalam cahaya yang lain.
Di gereja ini, cahaya lilin membias di kaca patri,
warna-warna melesak ke marmer
seperti sisa melodi yang belum sempat dinyanyikan.
Di altar, salib berdiri diam,
menatap kita dengan mata kosong.
Dan inilah bebanku: aku melihatnya di mana-mana.
Di angin yang mengguncang pepohonan,
di debu yang berputar di lantai batu,
di keheningan yang lebih berat dari nyanyian.
Bagaimana seseorang bisa melupakan
suara yang dulu membawa dunia
ke dalam tangis? Bagaimana bisa
luka yang ia tanggung tak menjadi luka kita?
Pukul sembilan lima belas, angin mulai bernyanyi.
Suara-suara samar menggema di dalam lengkungan batu,
seperti gumaman “Thank You For Hearing Me”
yang tertahan di antara gema.
Aku mencoba melihat apakah itu dia di ujung ruangan,
hanya pantulan, hanya biru samar di udara.
Tak ada yang berirama dalam kepergian,
tetapi tetap ada ruang bagi kita semua
untuk menggoyang kepala, menggumamkan namanya,
membiarkan suaranya melayang
seperti kain putih di jemuran,
tertiup angin, menuju sesuatu yang tak bisa kita jangkau.
Tangannya pernah menekan tuts kehidupan
seperti palu di piano yang nyaring,
menghantam dunia dalam warna merah dan emas,
seperti daun-daun yang jatuh di musim gugur,
melayang tak teratur sebelum akhirnya diam.
Sepuluh menit sebelum tengah malam,
aku melangkah ke luar, memanggil taksi dalam gerimis.
Aku akan menceritakan malam ini,
bagaimana seorang wanita bernama Sinead,
atau Shuhada’, atau hanya seorang ibu
yang kehilangan putranya,
menyanyikan duka dunia dengan suaranya yang lirih,
dan dalam tiap lirih nyanyiannya,
kita semua pun ikut bergetar.
2025
SARAN MENYENANGKAN UNTUK BLI JENGKI: DENGARKAN MONK LIMA KALI SEHARI
Bli Jengki, coba dengar ini,
‘Round Midnight’ lima kali sehari.
Bukan mantra, bukan kidung suci,
tapi jazz yang bikin hati lebih sakti.
Pagi-pagi sebelum nulis sajak,
biarkan Monk pelan ngetuk telapak.
Siang bolong saat kopi menunggu,
nada biru bikin pikiran gak layu.
Sore, saat Denpasar mulai teduh,
dengarkan jazz, biar gak mudah ngeluh.
Malam, waktu inspirasi berdansa,
piano Monk siap jadi teman setia.
Dan kalau dini hari belum ngantuk,
biarkan bebop ngalun tanpa ragu-ragu.
Karena puisi butuh sedikit kelana,
dan jazz tahu jalan ke sana.
2025
MENDENGARKAN ULANG ZERO TOLERANCE FOR SILENCE
: Phalayasa Sukmakarsa
Aku akan menuliskannya di seluruh ruang ini,
dengan gelombang yang tak mau surut:
serangan rekaman bertumpuk yang berlapis-lapis,
gema balik yang memanjang seperti kawat berkarat,
dengung putih yang menempel di dinding-dinding kamar,
gema senar yang mengeras seperti beton yang retak.
Katakan begini, dalam bahasa ini:
serangan petikan cepat tanpa belas kasih,
hantaman senar ke bawah sekuat mesin industri,
petikan bergantian yang terperangkap dalam gema panjang,
ratapan pedal distorsi yang mengiris batas nada,
melodi yang tak pernah lahir, hanya dentuman listrik
yang menolak direduksi jadi harmoni.
Katakan begini: ini bukan solo gitar,
tapi serangan bunyi, perusakan nada yang disengaja,
bukan sekadar uji coba, tapi pembongkaran struktur nada,
di mana tumpukan akor kacau saling berbenturan
tanpa memberi ruang untuk gema yang wajar.
Dari penyaring nada ke penguat suara,
dari penguat ke pengeras yang meraung kesakitan,
ratapan suara yang didorong hingga pecah sempurna,
denting kasar yang tak terkendali,
distorsi yang menjadikan gitar lebih mirip gergaji mesin
daripada alat musik.
Di titik ini, saat nada tinggi mulai menyayat telinga,
saat getaran nada rendah bergemuruh seperti tanah longsor,
saat gema kering menghantam batas suara,
aku sadar bahwa ini bukan sekadar album,
ini adalah bunyi tanpa batas,
di mana nol toleransi terhadap kesunyian bukan sekadar judul,
melainkan doktrin bunyi, perlawanan terhadap keteraturan,
sebuah pernyataan bahwa kebisingan adalah bahasa yang belum sepenuhnya dimengerti.
Yang tersisa hanyalah udara yang bergetar,
gema balik yang menggantung di ujung frekuensi,
dan kesadaran bahwa ini bukan sekadar Metheny
memainkan gitar—
ini adalah suara dunia yang sedang menggelegar.
2022-2025
BIODATA
IRZI ialah nom de plume Ikhsan Risfandi yang lahir di Jakarta, 1985. Ia sempat menjajal peruntungan sebagai gitaris Jazz kemudian banting gitar untuk fokus menempuh kepenulisan puisi Jess & Beatawi, sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara terbit pada 2019. Trivia Kampung Sawah terbit pada November 2024 di Velodrom sebagai bukunya yang kedua.
Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.