SALAH SEORANG yang suka mengangkat pedesaan di Bali sebagai contoh harmoni kehidupan adalah Emil Salim, ketika ia menjabat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978-1993).
Ekonom yang pernah mendapat banyak dukungan untuk jadi calon wapres ini, sering mengungkap kehidupan di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, sebagai contoh harmoni manusia dengan alam.
Dalam banyak seminar atau buku yang ditulisnya, Emil Salim senang sekali mengangkat kehidupan di Tenganan. Ia memuji desa itu karena warganya sangat teliti dan ketat sekali menjaga hutan desa di bukit sebelah timur dan utara. Masuk ke Desa Tenganan jelas sekali tampak hutan desa itu yang teduh rimbun oleh pohon-pohon besar. Berbeda dengan bukit-bukit yang dimiliki desa tetangganya: gundul dan gersang.
Tenganan Pegringsingan sudah memiliki awig-awig (aturan) khusus tentang hutan desa pada abad ke-11, jauh sebelum PBB menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup internasional pertama di Stockholm, Swedia, 5 Juni 1972. Awig-awig itu tertuang dalam sebuah “buku sakti” setebal 58 halaman, ditulis dalam bahasa Bali.
Sudah cukup banyak orang tahu, awig-awig itu memuat tentang larangan menebang pohon sesuka hati di hutan Tenganan. Ada jenis buah-buah tertentu yang tak boleh dipetik, hanya dinikmati jika sudah gugur. Memetik pisang hanya diperbolehkan setandan. Memetik sirih hanya diperkenankan segenggam. Dalam serumpun bambu warga Tenganan hanya diperbolehkan memotong sebatang. Jika sepasang pengantin baru hendak menebang pohon untuk membangun rumah, ia harus menyampaikan dalam rapat desa. Dan pohon yang ditebang pun paling tidak harus berusia 40 tahun.
Masyarakat Tenganan hidup dalam aturan lingkungan yang sangat ketat. Warga desa tak boleh sembarang menebang pohon. Mencari kayu bakar pun diatur. Ranting-ranting kering yang belum rontok ke bumi dilarang diambil. Dan warga menaati awig-awig dengan tertib. Kalau tidak, mereka bisa dikenai sanksi, mulai dari yang ringan seperti dilarang ke pura, disebut sikang; sapa sumaba, si pelanggar tak boleh disapa; sampai sanksi terberat, yakni dikeluarkan dari desa adat. Sanksi terberat ini disebut kesah.
Mungkin karena takut digebuk kesah, warga Tenganan tak berani menjual tanah adat. Mengontrakkan pun mereka takut setengah mati. Pasal 37 awig-awig mereka menyatakan, orang pendatang di Desa Tenganan Pegringsingan sama sekali dilarang membeli tanah atau mengontrak (menggadai) sawah, tegalan. Desa berhak menyita tanah yang dibeli atau digadai. Jika ada warga Tenganan menggadaikan atau menjual tanah, tanah itu pun disita dan si pelaku didenda sebanyak setengah dari harga tanah.
Sungguh menggembirakan, jika sampai sekarang awig-awig itu tetap dipatuhi. Tentu warga Tenganan bangga jadi contoh sebagai warga yang patuh terhadap warisan leluhur, sehingga hutan mereka lestari.
Tapi tak berarti awig-awig mereka itu sempurna. Kekurangannya adalah, tak satu pasal pun dalam awig-awig itu memuat anjuran menanam pohon. Yang dimuat di “buku sakti” itu hanyalah larangan menebang pohon, tak sedikit pun memuat anjuran menanam. Karena itu, jika kita berkeliling di halaman desa itu, sangat sedikit kita jumpai tanaman pekarangan. Di depan rumah tak ada pohon kembang. Selokan-selokan dengan air gemericik dikelilingi oleh natah (pekarangan) yang gersang.
Maka tak mengherankan jika ada pengunjung yang sempat berkeliling di Desa Tenganan berkomentar, orang Bali adalah masyarakat yang sangat taat pada aturan yang sudah ada. Mereka dengan mudah akan melakukan sesuatu jika aturan itu menganjurkan.
Ini tentu sebuah teori asal-asalan, karena dilontarkan hanya berdasarkan pengamatan sekilas pintas. Tapi bisa jadi ada benarnya. Contoh untuk itu bisa kita petik dari bagaimana orang Bali berkomunikasi dengan alam lingkungannya. Mereka melakukannya dengan sangat bagus melalui penghayatan spiritual dan fisik, bergiat dalam upacara untuk pohon-pohon, ternak hewan dan benda-benda. Namun mereka juga sering tak terlampau peduli jika menyaksikan perusakan lingkungan, yang sering dilakukan sengaja oleh manusia.
Tentu mencengangkan jika kemudian banyak orang mengeluhkan tentang bumi Bali yang semakin digerus kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Banyak orang mengecam, mengumpat, mengapa orang-orang Bali semakin jauh dari harkatnya untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Banyak orang berkomentar, semua itu karena uang. Itu artinya, karena tergiur mengejar kemewahan orang Bali dinilai tak lagi menggubris alam tempat mereka hidup dan beranak pinak.
Lalu mengapa warga Tenganan Pegringsingan kuasa menahan diri, sehingga mereka bisa mewariskan hutan dengan alam yang lestari? Apakah keistimewaan yang dimiliki warga Tenganan dibanding orang Bali lain? Kenapa orang-orang Bali umumnya, yang hidup di desa-desa dengan awig-awig adat tak hendak meniru awig-awig Desa Tenganan?
Ada yang berkomentar, Tenganan bisa mempertahankan aturan-aturan leluhur karena mereka sebuah komunitas alit, hanya ribuan jiwa, ratusan kepala keluarga. Sesuatu yang sulit jika diterapkan untuk sebuah komunitas dengan jutaan jiwa. Tentu, tak mesti seluruh isi awig-awig Tenganan itu harus dilahap. Yang mesti diserap adalah semangat yang menjiwainya.
Namun kini sungguh susah mencari semangat menahan diri, ketika banyak orang begitu mudah tergoda punya dengan cara mudah. Tenganan, sebuah desa yang kuat bertahan dari gempuran luar, justru sering dicibir kolot, ketinggalan zaman, dan dinilai pemalas, karena hidup statis. Yang mendapat tepuk riuh disanjung-sanjung kini adalah pencetus perubahan. Tak peduli itu dilakukan dengan membongkar, menimbun, menjual, dan membangun lagi. Tak peduli, semua itu akhirnya jadi milik orang lain, dan kita hanya sekrup atau baut. Yang penting sudah tercipta gemuruh membangun, dan dari situ dapat duit banyak.
Semestinya, soal menjaga kelestarian lingkungan, ke Tenganan kita berguru. Presiden Prabowo bersama menteri alangkah bagus berkunjung ke Tenganan, agar tidak gegabah menggunduli hutan, buat food estate atau kebun kelapa sawit. (*)
BIODATA
Gde Aryantha Soethama lahir di Klungkung, Bali, 15 Juli 1955. Ia menulis banyak esai dan cerpen yang tersebar di berbagai media massa dan buku. Kumpulan cerpennya, “Mandi Api”, meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2006. Esai-esainya dibukukan dalam Basa Basi Bali (2002), Bali Tikam Bali (2004), Dari Bule jadi Bali (2010), Jangan Mati di Bali (2011), Menitip Mayat di Bali (2016), dan lain-lain. Cerpen-cerpennya sering masuk dalam buku cerpen pilihan Kompas.