SAYA mengajarkan sastra Indonesia di universitas. Paham kita tentang sastra adalah sastra yang ditulis di atas kertas atau sastra cetak. Intinya adalah karya sastra yang ditiru dari penjajah Belanda. Ini disebut dengan istilah sastra Indonesia modern. Sastra ini dibedakan secara demarkatif dengan khazanah sastra yang sudah ada di kepulauan Nusantara jauh sebelum penjajahan.
Menyadari bahwa ada tantangan tersendiri dalam pengajaran sastra. Apa tujuan pengajaran sastra di Universitas? Tiada lain adalah untuk menyiapkan guru bahasa yang telah memasuki pengalaman sastra bangsanya yang sangat kaya. Tapi mahasiswa saya adalah mahasiswa yang lahir dalam era digital. Mereka tidak membaca karya sastra bangsanya. Dan, di kelas saya tahu; dan dapat dibuktikan sendiri bahwa mereka sama sekali tidak mengenal karya sastra bangsanya. Karena saya tidak murni sebagai teoritisi atau pengajar dalam pengertian umum; karena saya juga adalah pengarang atau menulis karya sastra; jadi, saya tahu persoalan yang lebih mendasar dan lebih praktis.
Pengajaran pun diubah menjadi pengajaran yang mengenalkan mahasiswa secara langsung dengan karya sastra bangsanya. Sangat sulit memang karena mereka belum tahu sama sekali dan di sini yang dibutuhkan adalah memulai langkah yang sama sekali baru bahwa generasi Indonesia digital belum dan dalam kelas ini baru akan mengenal sastra bangsanya ketika mereka sudah berusia hampir 20 tahun. Tidak apa, ketimbang mereka buta sastra karena tidak bersentuhan sama sekali dengan karya sastra dan para sastrawan.
Ada tujuan yang lebih penting bahwa mengenalkan mahasiswa kepada sastra bangsa dalam mata kuliah sastra adalah untuk menyiapkan guru bahasa Indonesia yang memiliki budaya literasi sastra. Mulailah mereka diajak mengenal satu per satu sastrawan dan karyanya, lewat buku-buku yang direkomendasikan. Dan, sastrawan yang mereka kenalkan adalah nama yang asing. Yang paling mungkin dilakukan adalah mengarahkan mereka memilih salah satu dari sedemikian banyak sastrawan dan karyanya. Bukunya mereka bisa dapatkan di perpustakaan kampus atau mereka bisa membeli di toko buku toko buku online dan biasanya toko buku sungguh di luar dugaan mereka mendapatkan bukunya walaupun mereka belum beranjak dari halaman 1.
Ada catatan penting yang bisa ditulis dalam hubungan dengan pengalaman mengajar sastra pada generasi digital, yang belum mengenal khazanah sastra bangsa. Pengalaman penting itu adalah melihat kembali teks yang mereka konsumsi selama ini. Mahasiswa mengkonsumsi teks digital. Teks ini sepenuhnya ditawarkan oleh teknologi komunikasi yang melibas hidup mereka. Teks itu adalah teks yang tidak dikurasi dan tidak dipilih oleh pihak yang bertanggung jawab. Teks itu dibuat oleh siapapun. Karena itu, teks yang mereka nikmati adalah teks yang bermutu rendah. Teks yang bermutu rendah inilah yang biasanya sangat populer dan mudah dijangkau. Hal ini terjadi karena memang tingkat intelektualitas konsumen teks sangat di bawah rata-rata. Karena itu, mereka sejatinya tanpa disadari mengkonsumsi teks-teks toxic. Maka pengajaran sastra adalah memberikan mereka penawar teks toxic. Teks penawarnya adalah teks-teks yang sudah teruji dan dihasilkan oleh para pujangga bangsa yang malang–melintang dalam pengalaman hidup dan artistik.
Belajar dari pengalaman ini, mereka sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena pilihan teks toxic mereka. Semata-mata tidak tahu dan menganggap tidak ada jalan lain sehingga mereka terpaksa memakan teks-teks tercemar sepanjang hidupnya. Maka ini adalah saat bagi mahasiswa untuk membaca teks-teks penawar yang bermutu sastra tinggi. Teks-teks ini dihasilkan oleh para sastrawan bangsa yang sudah teruji baik di kalangan para kritikus maupun di kalangan para editor atau para redaktur buku susastra. Karya-karya tersebut telah melewati zaman dan mendapatkan pembaca secara kritis serta pada akhirnya mendapat pengakuan dan keagungan melintasi zaman dan generasi. Teks-teks inilah yang akan menjadi penawar teks-teks toxic yang mereka santap sehari-hari dari gawai mereka.
Jadi, apakah makna pengajaran sastra dan membaca di universitas bagi kaum/generasi teknologi digital. Maknanya adalah menemukan penawar teks toxic. Catatan penting lain dari pengalaman ini mereka bukannya sama sekali antiteks yang berkelas atau teks yang bereputasi tinggi. Bukan! Mereka tetap bisa menerima teks sastra bermutu tinggi namun mereka selama ini tidak diperhatikan dan tidak dikenalkan.
Inilah catatan penting untuk mengubah paradigma bahwa menyerahkan segalanya pada teks digital yang penuh racun adalah tindakan yang gegabah dan sebuah pesimisme; dengan satu alasan menganggap teknologi harus dipilih mentah-mentah dan tidak ada alternatif hidup yang lain. Paling tidak ada beberapa pengalaman di mana pengajaran sastra dengan pola tradisional berbasis pada buku bacaan kertas, sangat penting dan masih dibutuhkan. Mahasiswa masih bisa melakukannya dengan sangat baik. Pada kelas lain bacaan wajib diberikan yaitu sebuah novel terjemahan karya sastra Jepang yang berjudul Toto chan, Gadis Cilik di Jendela. Mereka membaca. Paling tidak novel ini mengisi dengan utuh hidup mereka dan menjadi pengalaman yang penting ketika mereka membaca teks dalam mode cetak, kertas, dan tinta. Rata-rata mereka mendapatkan kejutan yang artinya mereka masih menambahkan jalan literasi cetak.
Pengajaran sastra yang seperti ini saya sebut dengan pengajaran sastra dengan pendekatan literasi, diterapkan dalam model pembelajaran berbasis proyek. Proyek mereka adalah proyek membaca satu buku sastra bangsa. Lewat proyek ini mereka akan berlatih membaca secara mendalam, tekun, dan mendetail. Lewat proyek ini mereka tahu bagaimana cara mendapatkan bahan bacaan sastra dan di mana mendapatkannya. Yang berbeda adalah mereka tidak lagi mendapatkan di perpustakaan tetapi mereka mendapatkannya di toko buku–toko buku online. Dan, sungguh sangat mengherankan novel Rronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang dipilih menjadi buku wajib untuk semua kelas pada mata kuliah kritik sastra, ternyata harganya sangat murah hanya Rp 25.000 dan ini tanpa ongkos kirim. Ongkos kirim baru dikenai jika mereka membeli lebih dari tiga buku. Semula ada perasaan bersalah karena ada pemaksaan untuk mengembalikan mereka ke zaman kertas, zaman yang sebenarnya belum terlalu jauh mereka tinggalkan tetapi terasa sedemikian jauh dan asing karena gempuran dan dahsyatnya arus yang melibas: kultur digital.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana membaca; dan bagaimana membaca sastra; bagaimana aksara di atas permukaan kertas. Tidak ada cara lain harus ditempuh selain kembali kepada cara-cara membaca yang lebih awal dikenalkan di Indonesia oleh penjajah Belanda dan diteruskan oleh pendidikan era awal merdeka atau era Taman Siswa.
Ketika itu, buku belum banyak, maka membaca secara bergilir adalah jalan yang paling baik. Membaca secara bergilir atau membaca secara bersama-sama adalah mengutamakan bahwa dalam membaca tersebut ada nilai-nilai sosial.
Membaca secara individual menurut pengertian barat adalah membaca yang harus dikenalkan pada tahap kemudian. Maka latihan membaca adalah dimulai dengan halaman pertama novel yang dipilih.
Setiap mahasiswa akan mendapat giliran membaca satu paragraf. Dosen akan memberikan pandangan-pandangan seperlunya sehubungan dengan paragraf-paragraf tersebut.
Kegiatan itu berulang sampai ada kemungkinan bahwa mahasiswa akan bisa mengembangkan membaca mandiri di luar jam kuliah. M
aka literasi terbina untuk mengenalkan mahasiswa pada aktivitas membaca yang sejati; memang membutuhkan tindakan yang sangat khusus.
Mereka harus dilatihkan dengan cara yang sangat mendasar. Membaca bergilir dan membaca bersama atau kegiatan membaca yang mengembangkan nilai-nilai sosial dalam kelas adalah satu strategi menuju pembentukan minat baca individual.
Membaca yang sejati adalah melakukan kegiatan memasuki dunia aksara secara individual. Namun jika ini dianggap tindakan yang berat dan sunyi maka harus dilakukan kemudahan sehingga tidak menakutkan mahasiswa untuk memulai.
Dengan pendekatan ini mahasiswa akan mengembangkan keterampilan membaca yang sejati. Mahasiswa juga mengembangkan keterampilan berpikir ketika harus menanggapi pertanyaan-pertanyaan dosen atau temannya mengenai apa yang dibaca.
Mahasiswa juga berkesempatan memasuki rumah sastra bangsanya dan mengembangkan cara berpikir. Jadi, ada banyak sekali keterampilan atau teknik yang mereka bisa latih, kembangkan, kuasai dengan pendekatan literasi sastra perkuliahan berbasis proyek.
Dengan menggunakan model pembelajaran atau perkuliahan berbasis proyek yang berupa proyek membaca karya sastra bangsa, mahasiswa membangun suatu kegiatan literasi pada diri mereka masing-masing secara berkelanjutan paling tidak selama rentang perkuliahan ini. Selama itu adalah rentang atau jadwal pelaksanaan proyek. Selama proses proyek pembacaan itu maka mahasiswa akan menyiapkan dokumen-dokumen atau portofolio portofolio yang berkaitan dengan aktivitas membaca karya sastra mereka. Mereka akan membuat catatan-catatan sehubungan dengan area yang mereka baca. Catatan-catatan ini mungkin mereka olah menjadi esai, menjadi ilustrasi atau menjadi konten media sosial. Dengan demikian, pengajaran sastra dengan menggunakan pendekatan proyek dipadukan dengan literasi sastra adalah kegiatan belajar inovatif yang tampaknya kuno namun masih sangat dibutuhkan untuk mengisi kekosongan pengalaman mereka karena mereka adalah generasi yang dipaksa berloncat dan melakukan disrupsi oleh teknologi yang melanda.
Pandangan yang keliru menerima hadirnya teknologi digital yang bertentangan dengan teknologi analog dalam hal ini teknologi cetak adalah karena manusia terlalu percaya dengan teknologi digital seolah-olah teknologi sebelumnya sama sekali sudah tidak diperlukan lagi. Kuliah sastra ini menunjukkan bahwa teknologi digital menimbulkan kekosongan dan ini harus diisi dengan literasi kertas atau literasi bacaan cetak untuk menawar teks toxic dunia digital. (bp/*)