DENPASAR, Balipolitika.com– Walau sudah dijelaskan para kurator, masyarakat Bali masih riuh bertanya alasan di balik ketidakikutsertaan seniman legendaris I Nyoman Subrata “Petruk” (76 tahun), Sang Ketut Arka alias Ajik Perak (70 tahun), dan Sang Made Juni Putra alias Blauk di Pesta Kesenian Bali XLVII Tahun 2025.
Menyikapi silang sengkarut opini yang berkembang di masyarakat, Ketua Paguyuban Peduli Seni Drama Gong Lawas, Anak Agung Gede Oka Aryana, SH.,M.Kn. menampik kondisi itu terjadi imbas politik.
Sembari menyesalkan tidak tampilnya Petruk Cs, Oka Aryana menegaskan bahwa tidak ada pesanan dari pihak manapun untuk melarang atau menjegal sang seniman.
“Tiang juga sangat menyesalkan tidak tampilnya Petruk Cs dikait-kaitkan sama politik. Demi Tuhan, itu tidak benar sama sekali,” ucap Oka Aryana kepada Redaksi Balipolitika.com.
“Kami tidak ada pesanan dari pihak manapun untuk melarang dan menjegal Petruk dan bukan hanya terhadap Petruk saja kami mengambil sikap seperti itu. Hal ini juga berlaku kepada semua seniman DGL (Drama Gong Lawas, red) yang melanggar komitmen dari DGL untuk ngajegang seni budaya Bali dan ikut sama-sama mengembalikan drama gong itu kepada pakemnya. Kami tidak suka politik. Apa adanya saja. Pure untuk melestarikan seni drama gong agar tetap ajeg dan lestari,” tegas Oka Aryana yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang notaris itu.
Diberitakan sebelumnya, kurator Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 menegaskan bahwa tidak ada larangan bagi seniman drama gong Petruk untuk tampil dalam ajang tahunan tersebut.
Penegasan ini disampaikan guna meluruskan informasi yang beredar terkait isu pelarangan penampilan salah satu tokoh kesenian tersebut.
“Tidak ada pelarangan terhadap Petruk atau sanggar manapun. Kami hanya mengingatkan seluruh peserta agar menjaga marwah PKB sebagai panggung seni budaya yang luhur,” tegas Prof. Dr. I Wayan Dibia, Kurator PKB, didampingi Prof. Dr. I Made Bandem, Prof. Komang Sudirga, dan I Gede Nala Antara usai Rapat Pleno PKB ke-47 di Kantor Gubernur Bali, Kamis, 5 Juni 2025.
Ia menjelaskan arahan dari kurator bersifat umum dan ditujukan kepada seluruh pengisi acara agar menghindari aksi-aksi yang bersifat jaruh (vulgar), buduh (bodoh), dan memisuh (mengumpat), yang dinilai tidak mencerminkan tontonan berkualitas.
“Drama gong di masa lalu tak pernah memisuh di panggung. Kita hanya mengingatkan agar seniman tetap bertanggung jawab atas karya yang ditampilkan. PKB adalah forum budaya, bukan sekadar hiburan kosong,” jelas Prof. Dibia.
Prof. Bandem menambahkan, kurator justru memberi ruang seluas-luasnya bagi para seniman untuk berkarya, selama tetap menjunjung nilai-nilai kesantunan dan adab budaya.
“Kami tak pernah menyebut satu nama untuk dilarang tampil. Ruang kreatif dibuka luas, tapi ada tanggung jawab moral yang harus dipegang,” tegas Prof. Bandem.
Sebagai contoh keberhasilan arahan kurator, mereka menyinggung penampilan joged bumbung yang kini dinilai lebih tertib dan santun di ajang PKB, meskipun di luar forum tersebut masih ditemukan aksi jaruh.
“PKB harus jadi tontonan yang juga memberikan tuntunan,” tutup Prof. Dibia. (bp/ken)