LITERASI KELUARGA: Sosok Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum., dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.
WALAUPUN memang sering dikritik bahwa tidak banyak perkembangan yang menarik dalam literasi keluarga, ketimbang literasi sekolah, namun masih ada keluarga-keluarga yang mengembangkan literasi dengan sangat kuat dan berkelanjutan. Mereka memiliki koleksi buku yang terpilih dan terus dikembangkan. Terjadi sirkulasi pengetahuan yang berhulu pada buku-buku koleksi tersebut. Koleksi buku di keluarga-keluarga itu terus bertambah mengikuti buku-buku baru yang terbit dan beredar di pasar. Kondisi ini memang belum mampu mengimbangi tuntutan budaya literasi. Namun demikian, menjadi sebuah keadaan yang sangat penting, bagaimana literasi tumbuh di tengah-tengah keluarga.
Keluarga-keluarga yang mengembangkan literasi secara mandiri biasanya keluarga-keluarga yang terdidik. Mereka memandang pengetahuan adalah hal yang sangat bernilai. Keberadaan keluarga literat di tengah-tengah, pada akhirnya memang sangat eksklusif. Mereka tidak bisa mengimbaskan pada lingkungan sekitar. Karena itulah literasi keluarga di tengah masyarakat cenderung eksklusif. Membaca buku untuk menggali pengetahuan masih dipandang secara massal sebagai gerakan yang hanya khusus bagi kalangan tertentu dengan prestise sosial tinggi. Kondisi itu berlangsung lama sampai pada akhirnya era kapitalisme cetak (print capitalism) yang telah berlangsung kurang lebih selama lima abad, tiba-tiba harus berhenti di tengah jalan dengan hadirnya digitalisme dalam segala kehidupan manusia.
Buku yang dicetak di atas kertas dengan tinta, disebarkan melalui jaringan jalan raya menggunakan alat transportasi seperti pesawat, kereta api, serta truk atau mobil, tiba-tiba digusur atau digantik oleh produk-produk pengetahuan yang dikemas dalam aneka warna media digital. Buku cetak tidak menarik dan karena itu diabaikan.
Terjadi pertentangan tajam antara buku dan layar digital. Digitalisme siap dengan teknologi dan sekaligus format dan kategorisasi konten pengetahuannya sendiri. Di dalam dunia digital media dan teknik berperan besar dalam produksi dan konsumsi pengetahuan. Hal itu akhirnya menjadikan buku yang menyimpan berbagai pengetahuan dan perkembangannya yang tidak terbatas sepanjang peradaban manusia, tidak diminati atau dipandang tidak praktis lagi. Dunia digital juga melahirkan generasinya sendiri dan mereka memiliki metode membangun dan mengkonsumsi pengetahuan itu. Membaca secara konvensional bukan lagi cara yang diminati di dalam digitalisme. Membaca hanya menjadi salah satu kegiatan kecil di dalam digitalisme yang atraktif dan multimoda.
Ditengarai bahwa pengetahuan-pengetahuan dalam dunia digital yang dikemas dalam media-media digital berbagai platform, tampak lebih instan ketimbang pengetahuan dalam dunia buku atau pustaka. Karena itulah yang paling terasa dalam produksi dan konsumsi pengetahuan dunia digital adalah kecepatan, kepraktisan, dan kebebasan. Komposisi, proporsi, atau polarisasi antara penulis, jurnalis, sastrawan dan masyarakat pembaca itu tidak ada. Juga tidak ada mediasi di antara produsen-produsen dan para konsumen pengetahuan itu sendiri, seperti lembaga penerbitan dan editor, kritikus, serta kurator pengetahuan manusia. Semuanya bisa saja memproduksi pengetahuan dan menyebarkannya tanpa melalui metode-metode produksi pengetahuan (epistemologi) yang pernah sangat dijunjung tinggi oleh filsafat ilmu dalam era kapitalisme cetak.
Pada era digital manusia sama sekali telah bebas mutlak dalam produksi dan konsumsi pengetahuan. Era digital juga telah memberikan definisi baru bagi pengetahuan itu sendiri, baik secara ontologi, epestemologi, dan aksiologi. Demikian pula halnya kandungan pengetahuan yang diproduksi secara massal dan dikonsumsi secara massal pula; tanpa adanya mediasi atas peranan-peranan editorial, kuratorial, dan kritikus di antara kutub produsen dan kutub konsumen pengetahuan.
Definisi-definisi kebenaran pun berubah dan terasa lebih longgar. Sementara itu konvensi pengetahuan dan metode untuk membangun pengetahuan itu sendiri yang telah teruji dan tersimpan dalam berbagai buku; terlambat melakukan migrasi dari dunia cetak ke dunia digital. Generasi digital memulai hidup baru juga dalam perkara membangun dan mengkonsumsi pengetahuan. Mereka tidak pernah berpikir bahwa sebelum era digital datang, dunia analog atau dunia cetak dan dunia buku atau perpustakaan memegang peranan penting bagi peradaban umat manusia. Generasi digital tidak memikirkan hal itu ada. Inilah salah satu bentuk disrupsi yang paling tragis.
Maka transmisi pengetahuan mengalami diskontinuitas. Kondisi ini berbeda dengan perpindahan pengetahuan dari dunia lisan ke dunia tulis pada masa lampau. Kala itu pengetahuan lisan secara penuh dan utuh memasuki peradaban tertulis ketika mesin cetak ditemukan dan terus dikembangkan menjadi teknologi penerbitan modern. Maka dunia tulis benar-benar menjadi persambungan pengetahuan antara dunia lisan dan dunia aksara atau dunia cetak. Di dalam transformasi dari lisan ke cetak atau ke tulisan tidak terjadi disrupsi pengetahuan karena pengetahuan-pengetahuan lisan itu memasuki kontainer baru yaitu buku. Peradaban buku kemudian menciptakan cara baru dalam menggali pengetahuan dan kegiatan belajar manusia, yaitu dengan cara membaca.
Tapi dunia digital tidak pernah menjadi kontainer pengetahuan dunia tulis. Di sini tidak ada lagi migrasi pengetahuan secara besar-besaran dari cetak ke digital. Ini merupakan hal yang paling krusial dalam transmisi pengetahuan yang revolusioner. Karena itu, para pecandu buku merasa tidak memiliki tempat lagi di dalam era digital. Buku-buku yang tersimpan agung di perpustakaan-perpustakaan rumah dan dulu pernah menjadi ukuran status sosial dan martabat, di mana keberaksaraan atau literasi itu adalah status atau prestise sosial yang tinggi karena melahirkan insan-insan yang berpengetahuan; namun kini, telah menjadi masa lalu. Tidak ada pewaris pengetahuan cetak karena generasi digital sudah sejak semula membangun dan mengkonsumsi pengetahuannya sendiri, sejalan dengan teknik-teknik digital yang membentuk kebiasaan mereka.
Generasi kultur digital tidak lagi membaca buku cetak dan mereka tidak perlu tahu apa isinya. Dunia digital benar-benar tidak pernah mengenalkan buku kepada generasinya sendiri. Dunia digital adalah dunia yang betul-betul nirkertas dan mereka hidup dalam layar sentuh yang selalu menyala dan terhubung tiada batas. Mereka juga mensubstitusi fungsi otak dengan drive–drive daring. Fungsi otak untuk mengingat, memaknai, dan memahami pengetahuan semakin dikurangi; digantikan oleh modus-modus digitalisme pengetahuan baru: screenshoot, salin, dan tempel!
Buku-buku dunia adalah peti kemas pengetahuan yang tengah terancam jika tidak dilakukan migrasi pengetahuan dari buku ke digital sebagai kontainer baru pengetahaun; untuk menyelamatkan dunia dari disrupsi dan diskontinyuitas pengetahuan! (*/bp)