MEMBACA Hari Minggu Bersamamu adalah membaca eksistensi penyair dalam mencari dan menemukan makna hidup. Pencarian itu dilakukan oleh Gody Usnaat melalui puisi-puisinya yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan dasar tentang makna hidup, keberadaan dirinya dengan Yang Ilahi, dan kebebasan pilihan dalam mencinta yang terkadang menyudutkan dirinya dalam absurditas. Menelisik dalam puisi-puisi para penyair Indonesia, Gody Usnaat adalah salah satu penyair Muda Indonesia yang mengeksplorasi tema-tema eksistensialisme dalam karyanya setelah sastrawan senior seperti Budi Darma dan Iwan Simatupang.
Pembacaan saya secara personal terhadap puisi-puisi Gody Usnaat membuka cakrawala berpikir kembali ke abad XX. Sebagai salah satu aliran filsafat yang berkembang di Jerman dan Prancis, eksistensialisme tumbuh sebagai reaksi terhadap aliran filsafat materialisme dan idealisme yang menganggap manusia sebagai bagian dari keseluruhan. Pada hakikatnya, aliran ini bertujuan mengembalikan keberadaan manusia sesuai dengan keadaan hidup yang asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Sosok yang menjadi pionir aliran eksistensialisme adalah Martin Heidegger (1889-1976) yang berakar pada metodologi fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938). Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme selanjutnya antara lain Soren Kierkegaard (1813-1855) Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980), dan para tokoh lainya.
Dalam kajian ini, aliran eksistensialisme yang digunakan untuk menganalisis puisi-puisi Gody Usnaat adalah aliran eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bagi Sartre, eksistensialisme adalah filsafat subjektif yang dipandang dari sudut pandang individu. Mengutip Dody Kristianto dalam Existentialism of The Main Character The Short Story Entitled Di Joyoboyo Penyair Berteman Sunyi, mengatakan bahwa bagi Sartre manusia adalah apa yang ada pada dirinya, pada saat ini, dan dia hanya di sana. Pernyataan ini mendeskripsikan bahwa eksistensi selalu mendahului esensi. Dalam filsafat eksistensialisme Sartre, setiap persona bertanggung jawab atas hidupnya sendiri terlepas dari apapun eksistensinya, apapun makna yang dilekatkan pada eksistensinya. Setiap persona menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah dan jelek.
Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre dikategorikan dalam dua konsep besar yakni berada pada dirinya (etre-en-soi) dan berada untuk dirinya (etre-pour-soi). Pada etre–en–soi (berada pada dirinya) merupakan ‘ada’ yang tidak berkesadaran atau “non-conscious being”. Etre–en–soi atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai being-in-self adalah ‘ada’ yang tidak dapat terpisah dari dirinya sendiri dan bersifat kontingen. Etre–en–soi tidaklah mempunyai tujuan, ia ‘ada’ begitu saja, tanpa dasar, tanpa diturunkan dari suatu yang lain. Sedangkan pada etre-pour-soi (berada untuk dirinya) adalah “ada” yang berkesadaran, dan itulah manusia yang berbeda dengan “ada” yang tidak berkesadaran. Manusia memiliki berbagai kesadaran-kesadaran. Dengan kesadarannya, manusia dapat bertanya mengenai apa saja dan berusaha mencari jawabannya. Ia dapat pula mencari makna mengenai segala sesuatu dengan menggunakan pikirannya yang sadar. Demikianlah, melalui etre-pour-soi, manusia menegaskan peran eksistensi sebagai subjek yang sadar akan adanya objek.
Melalui gagasan yang singkat, maka ulasan dari puisi-puisi Gody Usnaat akan bergerak dalam dua konsep eksistensialisme Sartre yakni berada pada dirinya (etre-en-soi) dan berada untuk dirinya (etre-pour-soi). Ulasan ini mungkin menjadi jalan alternatif dalam menginterpretasikan puisi-puisinya secara filosofis.
Berada Pada Dirinya (etre–en–soi)
Sartre memaknai berada pada dirinya sebagai keberadaan pada dirinya sendiri yang telah melekat pada dirinya dan tidak dapat diubah. Berada pada dirinya dipahami juga sebagai suatu kesadaran yang reflektif. Pada puisi Perempuan di Bulan September terdapat dialog internal, sebab Gody Usnaat menegaskan aku lirik sebagai sebuah permenungan subjektif. Pada larik “aku yang berkaca” merepresentasikan aku lirik yang berdialog dengan dirinya sendiri seperti sebuah cermin yang memantulkan bayangan saat melihat ke dalam cermin itu. Aku lirik sebagai subjek menemukan dirinya sendiri sebagai suatu refleksi atas apa yang ada pada dirinya. Maka aku lirik sadar akan keberadaanya sebagai manusia.
Lebih jauh, Gody Usnaat mengungkapkan pemikiran berada pada dirinya (etre-en-soi) dalam puisi
Sajak Rumah
Tanggalkan alamatmu
masuklah
rumahku beratap sunyi
berdinding nostalgia
Pada larik “rumahku beratap sunyi” aku lirik mendeskripsikan situasi dan kondisi eksistensialnya sebagai manusia. Diksi “rumahku” adalah representasi aku lirik sebagai dirinya sendiri sementara diksi “sunyi” pada larik tersebut adalah kondisi ketiadaan yang bisa dirasakan oleh semua manusia. Puisi Sajak Rumah berisi refleksi tentang perasaan jatuh cinta, namun aku lirik tetap berada pada dirinya sendiri. Aku lirik merasakan perasaan jatuh cinta, tetapi karena keberadaan pada dirinya, setiap persona yang lain diintervensi untuk meninggalkan segala sesuatu yang mungkin bisa mempengaruhinya. Hal demikian terlihat dalam larik pertama “tanggalkan alamatmu”. Di sini tersirat dialog horizontal dengan yang lain, dalam dialog itu, aku lirik menegaskan keberadaan dirinya sebagai persona yang mendefinisikan rasa cinta sebagai sesuatu yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, ia berada pada dirinya sendiri.
Di lain sisi, nuansa penolakan dan skeptis serta pesimis dalam berhadapan dengan Yang Ilahi atas realitas hidupnya agaknya tercermin dalam puisi 25 Desember.
Yesus yang kaya
selamat datang!
selamat menikmati dunia
dunia dan seisinya adalah kekayaan
tapi mengapa aku jadi pengemis di kota?
Larik “tapi mengapa aku jadi pengemis” adalah ungkapan terhadap ketidakberdayaan yang dialaminya. Dalam konsep eksistensialisme Sartre terdapat pandangan bahwa “pada akhirnya kita akan mempertanggungjawabkan atas apa yang kita perbuat”. Berdasarkan padangan ini, maka dapat diartikan bahwa seseorang apapun kondisinya ia memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada larik tersebut, lirik aku seolah memprotes dan menolak Yang Ilahi atas nasib yang diembannya. Protes dan penolakan itu mungkin saja dilandasi pada pengalaman dalam relasi dengan yang lain ketika dalam perjumpaan dengan pribadi yang memiliki status sosial terpandang. Keseluruhan larik dalam puisi 25 Desember mungkin mewakili perasaan objektif semua persona yang bernasib sama dengan aku lirik. Diksi “mengapa” pada larik terakhir adalah pertanyaan akan dirinya sendiri dalam hubunganya dengan Yang Ilahi. Inti jawaban akan kembali pada keberadaan dirinya sendiri. Ia akan tetap menjadi persona “pengemis” sejauh ia menegaskan dirinya dalam keberadaan pada dirinya (etre-en-soi) sebagai pengemis.
Beberapa larik dalam puisi-puisi Gody Usnaat jika dipandang dari sisi berada pada dirinya (etre-en-soi) maka kita menemukan puisi dialogis yang diisi dengan rasa penolakan, pesimis, dan afirmasi terhadap dirinya sendiri. Diksi-diksi eksistensial berada pada dirinya memperlihatkan betapa Gody Usnaat merenungi diri dari dunia modern dengan segala bentuk fenomenanya, hal inilah yang membuat larik-larik puisinya berbeda dengan larik puisi konvensional lainya.
Berada Untuk Dirinya (etre-pour-soi)
Berada untuk dirinya (etre-pour-soi) dipahami sebagai konsep ‘ada’ yang berkesadaran. Dalam hal ini manusia memiliki suatu kesadaran akan keberadaannya, sadar bahwa dirinya berada, dan kesadaran yang disadari olehnya dan menyadarinya. Konsep ini tercermin dalam puisi-puisi Gody Usnaat, misalnya dalam puisi Catatan Sepekan. Larik-larik pada puisi tersebut terdapat representasi dari sisi eksistensialis berada untuk dirinya.
Senin
setiap pagi hingga malam
ibu menjemur kesibukan di bawah naungan terik hari
Dan pada bait keenam
Sabtu ibu mengajak cermin berdandan di taman
merapikan rias-rias waktu pada wajah bunga
disaksikan bulan yang sabar
Pada kedua bait terdapat diksi “pagi”, “malam” “ibu” “taman” dan “waktu” Beberapa diksi tersebut adalah gambaran aku lirik yang menyadari keberadaan dirinya dalam ruang dan waktu dan keberadaannya dengan subjek yang lain. Aku lirik mengamati dan menyadari bahwa dirinya pernah dan selalu berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu itulah timbul kesadaran subjektif bahwa ada yang lain selain dirinya. Inilah sebuah kesadaran sosial, maksudnya ialah dalam kesadaran diri selalu ada jarak sehingga dalam kesadaran aku lirik terdapat ketiadaan yang membuat aku lirik selain menyadari bahwa ia ada pada dirinya (etre-en-soi) sekaligus juga ia menyadari bahwa ada yang lain, sehingga ada itu menjadi ada untuk dirinya (etre-pour-soi).
Yang paling progresif dari puisi-puisi Gody Usnaat dalam eksistensialisme ada untuk dirinya (etre-pour-soi), mungkin berlaku tesis Sartre bahwa neraka ada orang lain. Tesis ini tercermin dalam puisi Pukul 01:15. Pada bait pertama dan kedua terdapat larik:
aku menjumpaimu di sudut hari terakhir hidupku
tapi cuman sebentar
selebihnya: kau jadi kenangan aku jadi monumen.
Diksi “menjumpaimu” merupakan kesadaran aku lirik bahwa terdapat ruang perjumpaan dengan ada yang lain, namun kesadaran bahwa ada yang lain seolah membatasi kebebasan dari aku lirik, karena itu diksi “tapi cuman sebentar” seolah mempertegas aku lirik untuk tidak menjadi objek dari keberadaannya dengan yang lain. Dominasi akan pembatasan kebebasan dari aku lirik diungkapkan dengan lebih dominan dalam diksi “kau jadi kenangan, aku jadi monumen” merupakan kesadaran untuk dirinya bahwa setiap perjumpaan dengan yang lain akan melahirkan berbagai pengalaman yang mempengaruhi kebebasan dan otonomi dari aku lirik. Karena itu diksi terakhir sebagai afirmasi terhadap aku lirik bahwa perjumpaan imajiner adalah alternatif lain yang tidak menghalangi kebebasan dari aku lirik.
Demikianlah, jika dicermati secara luas, di dalam puisi-puisi Gody Usnaat terdapat kekayaan eksistensialisme yang diolah secara personal oleh penyair dengan fondasi dari pengalaman pribadinya maupun dari pengalaman relasi sosial dengan yang lain. Ulasan ini tentu saja tidak mampu mengeksplorasi semua keberagaman dalam Hari Minggu Bersamamu. Kenyataanya, saya hanya mengambil sedikit bagian dan mengulas beberapa aspek puisinya dalam tulisan ini. Hari Minggu Bersamamu memberikan harapan bahwa kesadaran subjektif dalam hubungan dengan diri dan dengan yang lain terus dipelihara dalam diri kepenyairan. Dalam konteks tulisan ini, tema eksistensialisme yang digarap oleh Gody Usnaat tidak saja untuk mewarnai khazanah puisi NTT dan Indonesia tetapi juga untuk menjaga si penyair agar tetap berada pada proses refleksi diri terus-menerus dengan itu daya kreatif penyair semakin tumbuh dengan lebih baik.
Sebagai penyair Muda Indonesia yang berhasil menjadi Nomine Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022) melalui buku puisi Bertemu Belalang dan buku puisi Mama Menganyam Noken yang masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019-2020, Gody Usnaat tentu telah memiliki rekam jejak kepenyairan yang panjang. Oleh karena itu, Hari Minggu Bersamamu menjadi puisi kesekian yang menurut saya bisa ditafsirkan secara multidimensi dan multitafsir oleh pembaca. Sebab Hari Minggu Bersamamu adalah puisi-puisi yang ditulis dengan segenap rindu, dijalankan dengan segenap syahdu, dan dihidupi dengan segenap dingin.
BIODATA
Dhery Ane bernama lengkap Aloisius Hestronius Deri. Alumnus dari Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2022. Ia menyukai dunia menulis, master of ceremony dan travelling. Ia menulis puisi dan artikel di media massa dan media cetak. Puisi-puisinya tersebar dalam belasan antologi nasional, seperti dalam Nasional Payakumbuh Poetry Festival, 2021 dan Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2020. Ia juga menulis dalam media-media massa seperti dalam Borobudur Writers & Cultural Festival, Mengeja Indonesia, Lingkar Studi Filsafat, dan berbagai media massa lainya. Kini ia bergiat di Komunitas Sastra Filokalia Kupang.