MENAFSIR RIWAYAT
Telah direnda bulan-bulan kesepian di lembar kalender
sabar wajahnya menengadah, matanya menjalar ke langit
ia sudah lama memesan harapan kepada waktu
kini, akhir tahun kembali lagi akan datang
tak juga ada kabar kapan dikirim pesanan itu
yang segera tiba hanya usia semakin bertambah di angka 63
di negeri ini rata-rata harapan hidup sampai lebih 79 tahun
lelaki tua menarik napas dalam-dalam
dijahitnya perca ingatan sambil menganyam kisah
Setiap akhir tahun selalu mengingatkan umur dan kematian
serupa kalender meniti waktunya dari satu hingga dua belas
Ia ingin menjadi paku di dinding tempat gantungan kalender
merawat nasib baik tanpa harus dilepaskan
menjadi paku menancap di antara bata hingga dalamnya nurani
adakah Tuhan di dinding yang lembab itu? Ia menengadahkan wajah
matanya menggambar musim di kanvas kilatan cahaya
badai akan lahir
Tafakur sambil merajut diam yang menyalami gemetar jarinya
akhir tahun segera tiba, gelisah ingatan bagai derit suara engsel pintu
berkarat menempel di rapuhnya kayu
tapi masih sempat melantunkan zikir melafalkan rubaiyat
duduk menelan sunyi, menafsir riwayat..
Parepare, 2024-2025
SAJAK MALAM
Sisa senja jadi bunga yang dironce
gelap mulai melipat waktu
laron-laron berputar di lampu jalanan
cahaya merkuri bias di pandangan
Malam serupa kuas mewarnai perjalanan
disapunya kanvas putih tulang sedikit debu
itu wajah diri tanpa riwayat
Tubuh menuliskan frasa bau peluh
baju, celana, topi, sandal yang lusuh
tentu punya cara untuk bercerita
bahkan mengukur syukur dari napas
malam biarkan saja membentang nasib baik
jemari hanya mampu mengurai tiap suara koak burung
bahkan hingga ujung menyentuh subuh
betapa hidup masih datar saja
tak ada yang tercatat, nasib masih memucat
sisa malam menumpuk bersama ampas kopi
di dasar cangkir.
Parepare, 2024-2025
ESKAPIS
Terlempar sudah ruang dan waktu
menuju negeri langit berawan lebih dari batu
orang berlari ingin menjadi mendung
menyiramkan gerimis di hati yang kabung
membasahkan cuaca di kepak-kepak burung
Sebab pelukan telah lari ke arah gerumbul pohon
pergi dari kisruh keinginan tanpa bermohon
menuju negeri sungai berarus hikayat
sambil menyalakan cinta di tanah ulayat
menggenggam bara batu untuk menulis riwayat
Tak juga di langit, di sungai pun tempat mengadu
karena mekar kembang telah diperas tanpa madu
berlari terus menjadi basah kuyup
amarah mulai meredup.
Parepare, 2024-2025
PERAHU MENEPI
Pantai ini menjadikan senja mulai temaram
tak ada anak-anak berlarian mencari lokan
serupa surut gelombang menuju dekapan ibu samudera
Perahu pun lelah melaut
seharian berburu nasib untuk isi perut
palka mulai rapuh mengabarkan usia
kenikmatan takdir hanya mampu disyukuri
Apa lagi harus diresahkan
sepanjang pantai masih mau menerima musim timur
perahu menepi untuk menggenapkan hari
masih ada tiang pancang dan tali
sebelum hanyut ke cakrawala.
Parepare, 2024-2025
SENJA BERLABUH
Cahayamu beringsut, perlambatlah
agar para perantau menemukan kehangatan
meski tak ingin melawan takdir
bahkan menyulap nasib menjadi kuning keemasan
Semuanya masih baik-baik saja
punggung senja masih sama seperti kemarin
Pulang dengan segenap hati tualang
tersisakan sedikit kenangan
para perantau ikhlas menerima angin musim
sebagai kenikmatan ingatan
senja mengantar gelombang ke tepian.
Parepare, 2024-2025
IKAN TARAWANI
Sedikit saja dicocol dengan sambal
agar ditemukan ingatan pada perih
di hangus tebal kulit ikan tarawani
Sambil menunggu bisik ombak di pesisir
lima ekor ikan tarawani di atas piring
bisa melupakan puisi sunyi tanpa makna
Semuanya diterjemahkan menjadi laut
seakan lima ekor tarawani terbang di gelombang
perih ini ikut di siripnya menukik ke dasar laut
masih mampu menerima arusnya
segala takdir menempel di lumut batu koral.
Parepare, 2024-2025
MATA GELOMBANG
Sejak berpuluh tahun kukenal mata itu
setiap pertemuan selalu dijaga badai
dayung membelokan buritan menuju barat
melawan arus dan angin kemarau
mungkin tak akan sampai di tepian puisi
Selalu menyalak mata gelombang mengangkat buih
melangit membuncah terhambur di kepala
haluan kehilangan arah menerima deras air
deburnya membisik kesunyian
Di balik mata gelombang masih ada angin
menawarkan jalur menuju pulang.
Parepare, 2024-2025
BIODATA
Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret, besar di Purbalingga, sekolah di Yogya dan menetap di Parepare, Sulawesi Selatan. Ada 11 buku puisi tunggal yang telah terbit, paling baru buku kumpulan puisi Melolong (Circa, Yogya 2024). Buku puisinya berjudul Hujan Meminang Badai mendapatkan Penghargaan dari Kemdikbud Tahun 2012, serta berbagai penghargaan lainnya. Puisinya termuat pada di banyak antologi puisi bersama di berbagai kota. Founder Rumah Puisi Parepare.