PUISI bukan sekadar rangkaian kata indah atau alat pengajaran dengan pesan tertentu. Ia adalah teknologi: cara berpikir, mekanisme kerja, dan sarana eksplorasi makna untuk menemukan kembali bahasa. Sebagai alat penemuan, puisi bekerja melalui metafora: jantung dari mesin kreatifnya.
Metafora menghubungkan yang konkret dengan yang abstrak, menciptakan relasi yang melampaui batas konvensi. Ia bukan sekadar ornamen retoris, melainkan perangkat untuk membongkar persepsi lama dan membangun cara pandang baru. Proses ini memungkinkan pemahaman dunia dengan cara yang lebih segar dan mendalam.
Bahasa, sebagai entitas dinamis, dapat stagnan karena pola-pola yang membelenggu. Metafora yang kuat mematahkan belenggu itu, memberi bentuk pada realitas yang sulit diungkapkan. Sebaliknya, metafora usang hanya mengulang tanpa daya penemuan, mereduksi fungsi puisi menjadi sekadar periuk kosong. Menjadi mesin yang berhenti bekerja.
Paul Ricoeur menyebut metafora sebagai revolusi dalam makna. Ia tidak hanya menyampaikan, tetapi menciptakan realitas baru. Dengan metafora, pengalaman yang tak terkatakan menemukan cara ungkapnya. Inilah kekuatan puisi, menghadirkan bahasa yang melampaui sistem komunikasi sehari-hari, membuka ruang untuk pengalaman-pengalaman yang awalnya tersembunyi.
Puisi sebagai teknologi juga menyiratkan bahwa ia bekerja dalam proses yang sistematis dan sadar, meskipun sering kali hasilnya tampak spontan. Penyair menjadi “insinyur” bahasa yang memadukan intuisi dengan keterampilan teknis, merancang kombinasi kata-kata yang mampu memantik rasa dan pikiran. Dalam proses ini, puisi tidak hanya membangun hubungan baru di antara kata-kata, tetapi juga mendekonstruksi persepsi realitas yang telah mapan.
Dalam dunia yang terus tumbuh, kompleks, dan kontradiktif, puisi menemukan relevansinya. Lewat metafora, ia membentuk sistem pemahaman baru, menghadapi realitas dengan keberanian untuk melampaui batas, sekaligus memperkaya cara kita melihat kemanusiaan. Kekuatan ini juga terletak pada kemampuan puisi untuk menyentuh dimensi waktu, menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan dalam satu tarikan imaji yang menyeluruh.
Selain itu, metafora adalah jembatan yang memungkinkan manusia menyentuh hal-hal yang tak kasatmata. Pengalaman batin yang sulit didefinisikan menemukan bentuknya dalam metafora, yang menjadikan puisi sebagai ruang mediasi antara yang nyata dan yang transenden. Dengan begitu, metafora dalam puisi bukan hanya alat, melainkan juga tujuan yang membuka horizon baru bagi pikiran manusia.
Metafora yang kuat selalu membuka kemungkinan baru, menawarkan jalan keluar dari batasan-batasan tradisional bahasa. Dalam kata lain, puisi menjadi lebih dari sekadar medium ekspresi; ia adalah revolusi kecil yang berlangsung dalam pikiran dan hati setiap orang yang menciptakan dan membacanya.
Jika kita memahami puisi sebagai teknologi, maka tugas kita adalah menciptakan metafora yang terus hidup dan relevan (metafora usang adalah metafora yang gagal jadi metafora!). Metafora harus terus diuji dan diperbarui, agar puisi tetap mampu menantang cara pandang lama. Dalam dunia yang semakin cepat berubah, puisi hadir sebagai pengingat bahwa bahasa—dan kita yang menggunakannya—selalu memiliki potensi untuk bertransformasi. (*/bp)
BIODATA
Kim Al Ghozali, penyair kelahiran Probolinggo, 12 Desember 1991, dan kini menetap di Surabaya.