SISTEMATIS: Wacana dugaan politisasi hibah dan perangkat desa menjadi alat untuk memenangkan kontestasi Pilkada Serentak di Bali 2024. (Ilustrasi: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Tengah ramai menjadi perbincangan warganet adanya wacana politisasi hibah dan perangkat desa, diduga dilakukan para calon kepala daerah incumbent (petahana) sebagai salah satu trik jitu untuk memenangkan kontestasi Pilkada Serentak 2024 di Bali, semakin menarik perhatian penulis untuk merangkum sejumlah persepsi masyarakat, memandang fenomena ini identik dengan gaya politik menghalalkan segala cara, Kamis, 12 Desember 2024.
Menjadi catatan beberapa waktu lalu pasca pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Bali, sejumlah elemen masyarakat menyoroti adanya fenomena politisasi hibah atau Bantuan Sosial (Bansos) yang diduga dilakukan calon kepala daerah, tetap melakukan penyaluran hibah ini secara kontinyu ke masyarakat sehingga memicu publik beropini, menduga adanya penyalahgunaan hibah untuk kepentingan berpolitik praktis jelang Pilkada Serentak 2024.
Jika benar publik menduga adanya kepentingan politik dibalik penyaluran hibah tersebut, tentu hal ini telah bersebrangan dengan aturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), secara tegas melalui Surat Edaran (SE) kepada pemerintah daerah (pemda) mengatur penundaan distribusi bantuan sosial (bansos) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) menjelang Pilkada Serentak 2024.
Mengkritisi adanya fenomena politik hibah di Pilkada Serentak 2024 di Bali, sebagai seorang politisi, Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra akrab disapa Gus Adhi (AMP) mengatakan, haram hukumnya bagi calon kepala daerah memanfaatkan dana hibah atau Bansos (Bantuan Sosial) untuk kepentingan politik pribadi, Rabu, 11 Desember 2024.
“Jelas (Politisasi Hibah, red) haram hukumnya. Karena dalam Undang-Undang Pemilu sudah diatur soal itu, seseorang yang akan maju menjadi calon (kepala daerah, red), apalagi incumbent, tidak boleh lagi menjalankan kebijakan penyaluran hibah. Karena hibah tersebut sifatnya menjadi berbeda, menguntungkan dan merugikan masing-masing pihak yang ber kontestasi. Seharusnya Bawaslu jelang Pilkada sudah tahu soal aturan ini, jika benar ada faktanya calon incumbent masih menyalurkan hibah jelang kontestasi, atas nama hukum seharusnya yang bersangkutan batal sebagai calon,” sentil Gus Adhi kepada wartawan Balipolitika.com, melalui sambungan telepon.
Tak cukup hanya politisasi hibah, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Bali juga diwarnai adanya dugaan keterlibatan perangkat desa dan Aparatur Sipil Negara (ASN), menurut informasi sejumlah calon kepala daerah di Bali memanfaatkan aparat desa sebagai alat pemenangan, bahkan secara terang-terangan para oknum perangkat desa ini menggunakan kewenangannya untuk mengarahkan masyarakat memilih calon tertentu, hal ini diketahui berdasarkan adanya temuan masyarakat berupa surat edaran di sejumlah desa yang mengindikasikan adanya unsur politik praktis.
Munculnya wacana politisasi hibah dan perangkat desa menjadi sebuah dinamika yang mewarnai pesta demokrasi di Bali, tak sedikit kalangan menilai hal ini sebagai sebuah krisis demokrasi, masyarakat dipaksa untuk terbiasa akan hal-hal seperti ini, mungkin saja bagi mereka para “pelakunya” politik itu ya menghalalkan segala cara. Tetapi, di lain hal aturan main sudah jelas, ada regulasi yang seharusnya tidak boleh dilanggar para kontestan di Pilkada Serentak 2024.
Jika saat ini kabar yang beredar di masyarakat adanya politisasi hibah dan perangkat desa benar terjadi di Bali, seharusnya sejak awal sebelum dimulainya perhelatan akbar, sudah menjadi sebuah kewenangan dan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan upaya-upaya pencegahan hingga penindakan, terkait adanya potensi pelanggaran Pemilu tersebut di Bali.
“Ibarat ada asap pasti ada api. Jika di masyarakat sudah menjadi buah bibir, harusnya KPU dan Bawaslu itu yang berwewenang. Dari pra hingga pasca kontestasi seharusnya mereka tanggap soal masalah ini, kemana saja? Apa sudah lupa dengan aturannya? Jika memang ditemukan faktanya, sudah barang tentu calon yang melakukan harusnya batal atas nama hukum dan negara,” pungkas Gus Adhi.
Komentar juga datang dari seorang praktisi hukum B.A.R Law Office, I Gusti Ngurah Putu Alit Putra, pria yang akrab disapa Ngurah Alit itu mengatakan, adanya kebijakan hibah, BKK ataupun Bantuan Sosial (Bansos) pada hakekatnya sangat bermanfaat bagi masyarakat, tetapi selama pemanfaatan hibah itu sendiri sesuai dengan mekanisme dan tidak disusupi oleh kepentingan politik, ia meyakini kebijakan hibah bisa berdampak positif bagi masyarakat.
Ngurah Alit menilai, munculnya fenomena politisasi hibah, tak khayal telah berdampak negatif bagi masyarakat menjadikan mereka korban dari adanya kepentingan segelintir pihak di balik hibah itu sendiri.
“Kalau saya bagi saya hibah itu sebenarnya baik ya, positif sekali dan bisa membantu masyarakat. Tetapi beda cerita jika hibah itu dibalut kepentingan politik, masyarakat yang akan menjadi korban akibat dari politisasi hibah ini. Saya harap kedepan tidak ada lagi politisasi hibah, kalau bisa hibah ini benar-benar menyentuh masyarakat. Sesuaikan dengan regulasi yang ada, penyalurannya juga sesuai aturan jangan lagi asal seruduk demi kepentingan pribadi. Saya yakin hibah akan lebih bermanfaat bagi pembangunan di masyarakat, kalau saja pemerintah bisa memberikan contoh baik terkait hibah ini, tidak ada lagi itu niat-niat buruk untuk menyelewengkan,” sentil Ngurah Alit, saat dikonfirmasi melalui telepon, Jumat, 29 November 2024.
Lebih lanjut Ngurah Alit menambahkan, munculnya sejumlah kasus dugaan korupsi yang bersumber dari dana hibah atau Bantuan Keuangan Khusus (BKK) di Bali menurutnya merupakan sebab dari adanya politisasi hibah, seharusnya peristiwa ini bisa menjadi catatan bagi pemerintah untuk segera menyudahi era politik hibah (politisasi hibah) demi masa depan Bali yang lebih baik lagi. (bp/gk)