BALI, Balipolitika.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan seluruh pihak untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi cuaca yang masih dinamis dan berpotensi ekstrem di berbagai wilayah Indonesia.
Imbauan ini menjadi semakin penting, mengingat saat ini merupakan masa libur sekolah atau high season, di mana aktivitas masyarakat untuk berwisata dan bepergian ke luar kota mengalami peningkatan signifikan.
Meskipun sebagian wilayah telah memasuki musim kemarau, kondisi atmosfer dan laut masih sangat dinamis dan bisa berdampak pada keselamatan serta kelancaran aktivitas masyarakat.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa sesuai hasil prakiraan dan peringatan dini BMKG yang sepekan sebelumnya, selama sepekan terakhir telah terjadi berbagai kejadian cuaca ekstrem yang berdampak signifikan, seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, longsor, hingga kecelakaan transportasi.
Salah satunya adalah insiden Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di Selat Bali pada Rabu (2/7), serta sejumlah gangguan penerbangan akibat cuaca buruk.
“Kondisi ini nampaknya sesuai dengan peringatan dini yang sudah kami keluarkan sejak H-1 bahkan hingga sepekan sebelumnya, baik untuk sektor publik, pelayaran, maupun penerbangan. BMKG secara rutin memperbarui prakiraan cuaca dan potensi gangguan cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi,” ujar Dwikorita di Jakarta, Jumat (4/7).
Hingga akhir Juni 2025, BMKG mencatat bahwa sekitar 30 persen zona musim di Indonesia telah memasuki periode musim kemarau.
Angka ini masih jauh di bawah kondisi klimatologis normal, di mana pada akhir Juni biasanya lebih dari 60 persen wilayah telah mengalami musim kemarau.
Kondisi ini karena anomali curah hujan yang berada di atas normal sejak awal Mei dan terus berlanjut hingga saat ini.
Data BMKG menunjukkan, bahwa hujan kategori atas normal tercatat di sekitar 53 persen wilayah Indonesia, terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem sebesar 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat sebesar 103 mm,” papar Dwikorita.
Dwikorita mengimbau seluruh operator transportasi darat, laut, dan udara untuk secara aktif memantau dan mematuhi informasi cuaca dan peringatan dini yang BMKG keluarkan.
Dwikorita menekankan, bahwa kepatuhan terhadap informasi meteorologi harus menjadi bagian dari prosedur standar operasional transportasi, demi keselamatan jiwa dan kenyamanan masyarakat luas.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala,” tegas Dwikorita.
Selain itu, pemangku kepentingan di sektor pemerintahan, kebencanaan, pertanian, logistik, hingga pariwisata untuk menggunakan data cuaca sebagai dasar perencanaan kegiatan.
“Cuaca saat ini tidak bisa prediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah. Informasi cuaca lengkap dapat diakses melalui berbagai kanal komunikasi resmi BMKG,” demikian kata Kepala BMKG Dwikorita.
Lebih jauh Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto menjelaskan bahwa dinamika atmosfer yang memicu cuaca ekstrem saat ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor global dan regional.
Meskipun fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) berada di fase kurang aktif, kondisi atmosfer masih sangat labil akibat lemahnya Monsun Australia dan aktifnya gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.
“Hal ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau,” jelas Guswanto.
Menurut Guswanto, kondisi laut juga turut memperparah potensi cuaca ekstrem. Bibit siklon tropis 98W yang terpantau di sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung ke Indonesia, namun menyebabkan peningkatan kecepatan angin di Laut Cina Selatan.
Sementara itu, sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudera Pasifik utara Papua Nugini menciptakan zona konvergensi dan konfluensi di beberapa perairan Indonesia, seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan wilayah Maluku bagian utara.
“Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius bagi sektor pelayaran dan nelayan,” tegasnya.
Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani menambahkan, prakiraan cuaca mingguan periode 4 hingga 10 Juli 2025 menunjukkan potensi hujan lebat masih tinggi di berbagai wilayah.
Dalam periode 4 hinggq 6 Juli, wilayah yang perlu diwaspadai antara lain Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua Selatan untuk kategori siaga hujan lebat.
Sementara angin kencang berpotensi terjadi di Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, dan beberapa wilayah di Sulawesi dan Papua.
“Pada 7 hingga 10 Juli, potensi hujan sangat lebat bahkan diperkirakan di Papua Pegunungan, sementara wilayah Maluku masih masuk kategori siaga. Masyarakat harus tetap waspada, terutama terhadap banjir bandang, longsor, dan gangguan aktivitas harian,” jelas Andri. (BP/OKA)