KARANGASEM, Balipolitika.com– Pernyataan kontroversial Perbekel Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, I Made Suryana, S.E., yang menyebut tidak akan menandatangani permohonan masyarakat jika “berbau” Partai Gerindra, menuai reaksi keras dari anggota Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Nyoman Suyasa.
Suyasa yang juga Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Karangasem mengecam keras pernyataan tersebut.
Ia menyebut sikap I Made Suryana sangat tendensius serta mencederai prinsip netralitas seorang kepala desa.
“Seorang kades tidak boleh berpolitik praktis. Harus independen, tidak boleh memihak, apalagi itu statemennya sudah terang-terangan sekali menyebut Partai Gerindra. Ini sangat tendensius sekali dan membuat kader-kader di bawah menjadi gerah,” tegas Suyasa.
Ia menambahkan, meskipun yang bersangkutan sudah menyampaikan permintaan maaf, proses hukum dan etik tetap harus berjalan.
“Walaupun katanya sudah minta maaf, tapi proses-proses yang lain harus dilanjutkan. Aparat penegak hukum, Bawaslu, KPU, ya harus turun untuk menindaklanjuti, mengusut tuntas oknum kades tersebut. Dan ke depan, hal-hal konyol seperti ini tidak terjadi lagi,” katanya.
“Jadi walaupun sudah minta maaf ya tetap harus diusut tuntas itu biar kejadian yang sama tidak terjadi lagi,” tegas Suyasa.
Dia menegaskan kader Gerindra di bawah sangat geram dengan pernyataan Perbekel Baturiti dan mendesak agar yang bersangkutan dilaporkan ke pihak kepolisian.
“Desakan dari bawah PAC ranting dan anak ranting agar kami melaporkan permasalahan tersebut ke pihak yang berwajib karena sudah sangat tendensius sekali kepada Partai Gerindra. Tapi kami masih koordinasi dan minta petunjuk kepada Ketua DPD Gerindra Bali terkait langkah-langkah selanjutnya,” beber Suyasa.
Menurut Suyasa, seorang kepala desa memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk bersikap netral, mengayomi seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang politik.
Ia menilai jika kepala desa justru menjadi partisan atau bahkan militan terhadap salah satu kekuatan politik, maka demokrasi di tingkat desa akan rusak.
“Kepala desa harus netral, tidak boleh berpolitik praktis. Ketika sudah menjadi kades, ya harus mengayomi semua masyarakat, bekerja untuk masyarakat, tidak boleh lagi memihak salah satu kekuatan politik. Rusak nanti demokrasi di desa tersebut,” ujarnya.
“Tidak boleh lagi kepala desa pasang badan atau militan membabi buta mendukung salah satu kekuatan politik yang lain,” tambah Suyasa yang juga Ketua Komisi III DPRD Bali itu.
Kontroversi bermula dari rekaman suara yang beredar luas di mana Made Suryana dalam sebuah pertemuan di hadapan masyarakat secara eksplisit menyampaikan bahwa dirinya enggan menandatangani permohonan warga jika terindikasi berasal dari pihak yang mendukung Partai Gerindra.
Rekaman suara itu diunggah oleh Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Bali, Made Muliawan Arya alias De Gadjah, pada Jumat, 6 Juni 2025.
Dalam rekaman tersebut, Suryana bahkan menantang masyarakat yang disebut sebagai pendukung pasangan calon I Nyoman Mulyadi dan I Nyoman Ardika alias Sengap (Semut) pada Pilkada Tabanan 2024.
Suryana bahkan menyindir keras kader Gerindra dan menegaskan bahwa bantuan sosial yang diterima masyarakat berasal dari perjuangan kader PDI Perjuangan, bukan dari Gerindra.
Suryana juga menyampaikan dengan lantang bahwa ia tidak akan menandatangani surat apa pun jika pengusulnya terafiliasi dengan Partai Gerindra.
Pernyataan dan sikap Perbekel Made Suryana ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas netralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh kepala desa sebagai pejabat publik.
Suyasa dan jajaran Partai Gerindra mendorong agar Bawaslu dan aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus ini secara serius dan tuntas.
“Jangan sampai kepala desa merasa kebal hukum dan bisa semena-mena membawa jabatan publik ke ranah politik praktis. Demokrasi harus dilindungi dari praktik-praktik semacam ini,” pungkas Suyasa. (bp/ken)